Connect with us

Opini

Ketika Trump Teriak “Tarif!” dan Dunia Menyimak Dengan Dingin

Published

on

“BRICS sedang merosot dengan cepat,” kata Donald Trump, penuh keyakinan, dari mimbar megah di Gedung Putih. Seolah-olah ia baru saja menyampaikan fakta tak terbantahkan, bukan sebuah siaran penghibur untuk dirinya sendiri. Ia bahkan tak segan menyamakan kehilangan dominasi dolar dengan kalah dalam perang dunia—analogi yang dramatis, tentu, tapi juga menyiratkan sesuatu yang lebih dalam: kecemasan laten seorang pemimpin adidaya yang merasa tahtanya mulai goyah.

Trump mungkin membayangkan dirinya masih di acara realitas, lengkap dengan panel juri dan efek suara tepuk tangan setiap kali ia mengancam tarif 10 persen untuk “siapa saja yang berani menantang dolar.” Namun dunia tidak lagi penonton pasif. Negara-negara BRICS—Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—plus undangan baru seperti Indonesia, Iran, dan Ethiopia, bukan sekadar figur pendukung dalam panggung ekonomi global. Mereka adalah aktor dengan naskah sendiri, dan lebih buruk lagi bagi Trump, naskah itu tak lagi ditulis dalam dolar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ada absurditas nyata dalam klaim bahwa ancaman tarif Trump telah “menghancurkan” KTT BRICS di Rio de Janeiro. Katanya, “mereka punya rapat keesokan harinya, dan hampir tak ada yang datang.” Ah, sungguh narasi yang nikmat bagi para pemuja nasionalisme instan. Masalahnya, ini hanyalah dongeng. Faktanya, hampir seluruh kepala negara hadir—termasuk Presiden Brasil, PM India, Presiden Afrika Selatan, dan bahkan Presiden Indonesia yang belum resmi masuk klub. Tiongkok pun hadir lewat Perdana Menteri. Rusia? Ya, hadir lewat layar, tapi tetap berbicara lantang.

Trump mungkin berharap dunia ini seperti reality show. Sayangnya, ekonomi global tak bisa diedit ulang agar dramanya lebih cocok dengan narasinya. Ia mengangkat tarif seperti pahlawan koboi dari film lama, menodongkan pistol ke udara dan berharap kerumunan ketakutan. Tapi kerumunan itu—yang sekarang mencakup dua per tiga populasi dunia—tak lagi terkesima dengan gertakan tua. Dunia tak lagi menari mengikuti irama dolar.

Apa yang sebenarnya terjadi bukanlah “kepanikan global menghadapi Trump,” tapi sebaliknya—panik strategis dari Washington menghadapi kenyataan bahwa zaman telah bergeser. BRICS bukan lagi klub eksotis dari negara-negara Selatan yang bisa dikucilkan dengan sanksi. Ia adalah simbol kegelisahan global atas ketimpangan sistem keuangan internasional. Simbol dari keinginan untuk bernapas tanpa diawasi SWIFT, untuk berdagang tanpa takut dibekukan oleh Departemen Keuangan AS.

Dolar selama ini bukan sekadar alat tukar. Ia adalah cambuk dan tali kendali. Tapi saat 65% perdagangan BRICS kini berlangsung dengan mata uang nasional, dan dolar serta euro tinggal menyisakan 30%, itu bukan sekadar statistik. Itu adalah bunyi pelan dari rantai dominasi yang satu per satu mulai terlepas.

Trump tentu tahu ini. Tapi alih-alih beradaptasi, ia memilih menggertak. Alih-alih menyusun strategi jangka panjang, ia memilih menyerang dari podium, seakan ancaman bisa menggantikan visi. Dalam pikirannya, dunia masih bisa dibentak agar kembali ke barisan. Ia tampaknya lupa bahwa bahkan boneka pun bisa memotong talinya ketika tuan rumah terlalu sering memainkan drama yang sama.

Kita menyaksikan seorang mantan presiden yang tak lagi percaya pada kekuatan diplomasi, tapi memilih menggantinya dengan dramaturgi tarif. Dulu ia memotret dirinya sebagai negosiator ulung. Kini, yang tersisa hanyalah pemarah dengan kalkulator tarif, melempar angka sembari berharap dunia tunduk. Kalau ini strategi, maka ini strategi dari era yang bahkan Netflix pun sudah tinggalkan.

Lucunya, ia menyamakan kehilangan status dolar sebagai mata uang cadangan dunia dengan kalah perang dunia. Tapi bukankah perang dunia justru meletus karena keengganan menerima tatanan baru? Trump seolah mengutip sejarah tapi membacanya dari halaman belakang majalah gosip, bukan dari buku teks.

Apa yang tak ia sadari, atau pura-pura tak sadari, adalah bahwa dunia berubah bukan karena BRICS ingin menggulingkan AS, tapi karena sistem yang dikendalikan AS sudah tak adil. Ia mengutuk “permainan” yang dimainkan negara-negara BRICS, tapi lupa bahwa AS-lah selama ini yang menulis aturannya—dan kerap mengubahnya sesuka hati. Kini ketika negara-negara lain mulai menyusun peraturan mereka sendiri, Trump marah seperti anak kecil yang mainannya diambil.

Indonesia pun ada di dalam narasi ini. Meski belum resmi jadi anggota BRICS, kehadiran Presiden Prabowo dalam KTT menunjukkan bahwa negara-negara seperti kita tak lagi mau cuma jadi penonton. Kita, yang dulu diajak masuk hanya sebagai pasar, sekarang mulai bicara tentang mata uang sendiri, kedaulatan energi, dan posisi tawar.

Pertanyaannya: sampai kapan Amerika Serikat—atau lebih tepatnya, elite-elite seperti Trump—terus meneriakkan “ancaman” kepada dunia yang sudah tak takut lagi? Sampai kapan kata “tarif” digunakan seperti jampi-jampi untuk mengusir perubahan?

Sebetulnya, ini saatnya AS mengambil jalan lain: merancang ulang perannya di dunia, bukan memaksakan ulang hegemoninya. Dunia yang semakin terhubung tak bisa dikendalikan dengan tarif, apalagi gertakan kampanye. Tapi mungkin Trump terlalu sibuk mempersiapkan poster kampanye dan memilih topi merah yang tepat, sampai lupa bahwa dunia bukan lagi seperti 2016.

Pada akhirnya, mungkin kita memang harus berterima kasih pada Trump. Ia, dengan gaya teatrikal dan ancaman prematurnya, justru mempercepat kebangkitan kesadaran global. Dunia tidak lagi ingin tunduk. Dunia ingin duduk sejajar. Dan seperti biasa, mereka yang paling keras menjerit adalah mereka yang paling takut ditinggal.

Jadi biarlah Trump terus menggertak, sambil berharap panggung masih miliknya. Sementara itu, dunia perlahan membangun panggung baru—tanpa sutradara tunggal, tanpa aktor utama tunggal, dan—yang paling penting—tanpa ancaman tarif dari mulut tua yang tak lagi menggigit.

Dan di tanah ini, di negeri yang konon pernah dijadikan contoh negara “yang akan dikenai tarif” jika terlalu akrab dengan BRICS, kita bisa tersenyum tipis sambil berkata: lebih baik duduk bersama dunia yang bangkit, daripada terus berdiri di balik bayang-bayang yang gentar.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer