Connect with us

Opini

Ketika NATO Minta 400%, Siapa yang Bayar?

Published

on

Di sebuah ruang bergengsi di London, Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, akan berdiri di hadapan para hadirin Chatham House pada Senin kemarin. Ia diperkirakan akan menyampaikan sebuah pernyataan yang mengguncang: NATO membutuhkan peningkatan sebesar 400% dalam sistem pertahanan udara dan rudal. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah seruan mendesak di tengah dunia yang kian rapuh dan penuh ketidakpastian.

Bayangkan, peningkatan empat kali lipat—sebuah lompatan besar yang menuntut tidak hanya dana besar, tetapi juga komitmen dan pengorbanan dari 32 negara anggota. Di balik kata-katanya terpantul bayang-bayang perang Rusia-Ukraina, hujan rudal yang menyapu langit, dan kekhawatiran kolektif atas ancaman yang bisa datang kapan saja. Namun di sisi lain, masyarakat Eropa tengah dihimpit inflasi, lonjakan biaya hidup, dan impian kesejahteraan yang perlahan memudar. Kegelisahan ini nyata—bukan hanya bagi warga Eropa, tetapi juga bagi kita di Indonesia, yang mencermati dinamika global sembari bertanya: ke mana dunia sedang melangkah?

Dalam naskah pidato yang telah beredar, Rutte menekankan bahwa ancaman dari udara—seperti yang terjadi di Ukraina—menuntut perlindungan kolektif yang lebih kuat. “Kita melihat bagaimana Rusia menebar teror dari atas,” ucapnya, merujuk pada serangan rudal yang meluluhlantakkan kota-kota di Ukraina. Laporan dari Reuters menunjukkan bahwa NATO kini tengah berpacu dengan waktu, membidik target ambisius: alokasi anggaran pertahanan sebesar 3,5% dari GDP untuk kebutuhan militer, ditambah 1,5% untuk sektor keamanan lainnya. Ini adalah beban fiskal yang sangat besar.

Inggris, misalnya, baru berkomitmen menaikkan anggaran pertahanannya dari 2,3% menjadi 2,5% pada 2027, dan 3% pada tahun-tahun selanjutnya. Jerman bahkan menyebut kebutuhan akan tambahan 50.000 hingga 60.000 tentara guna memenuhi standar NATO. Namun, semua ini datang di tengah ekonomi Eropa yang lesu. Pertumbuhan Jerman melambat, inflasi tetap tinggi, dan tekanan terhadap anggaran negara semakin kuat. Dalam konteks itu, ambisi Rutte terasa seperti impian yang menjulang namun sulit digapai.

Dunia saat ini berada di persimpangan antara rasa takut dan kebutuhan. Perang di Ukraina menjadi cermin buram tentang apa yang bisa terjadi saat pertahanan lemah. Namun di sisi lain, warga Eropa bukanlah mesin yang hanya bisa diatur lewat narasi keamanan. Mereka adalah keluarga yang berjuang membayar listrik, pekerja yang takut kehilangan pekerjaan, dan generasi muda yang mulai kehilangan harapan.

Di Indonesia, kegelisahan itu memiliki pantulannya sendiri. Meski tak tergabung dalam NATO, kita merasakan gelombang dampaknya: harga energi global yang tak menentu, potensi gangguan rantai pasok, dan tekanan untuk memperkuat pertahanan nasional. Pada 2023, anggaran pertahanan Indonesia mencapai Rp135 triliun—sekitar 0,1% dari PDB—namun kita juga berhadapan dengan inflasi pangan dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Jika negara-negara Eropa saja kesulitan menyeimbangkan pertahanan dan kesejahteraan, bagaimana Indonesia dapat melayari badai yang sama?

Rutte menggunakan istilah “quantum leap”—lompatan kuantum—untuk menggambarkan kebutuhan akan peningkatan pertahanan kolektif. “Bahaya tidak akan lenyap, bahkan setelah perang di Ukraina berakhir,” katanya. Ini adalah pernyataan yang menggugah, namun juga menyisakan pertanyaan: apakah ancaman itu benar-benar nyata dan dekat, ataukah narasi ini dibentuk untuk membenarkan lonjakan pengeluaran militer?

Di Indonesia, kita juga terbiasa dengan narasi ancaman—dari Laut Tiongkok Selatan hingga isu terorisme domestik—yang acapkali digunakan untuk menjustifikasi belanja pertahanan. Namun seperti di Eropa, masyarakat kita pun bertanya-tanya: kapan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan subsidi BBM mendapat porsi perhatian yang layak?

Laporan Reuters menunjukkan bahwa tekanan dari pemerintahan Trump mendorong negara-negara Eropa untuk lebih mandiri dalam urusan pertahanan. Tapi langkah tersebut bukan tanpa risiko. Jika anggaran militer membengkak, pos lain seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur berisiko terpinggirkan. Ini dapat memicu ketidakpuasan sosial yang justru menjadi ancaman baru bagi stabilitas.

Bayangkan seorang pekerja di London, yang gajinya tak cukup menutupi sewa dan tagihan listrik, mendengar bahwa pemerintahnya akan menaikkan anggaran pertahanan. Atau bayangkan seorang petani di Jawa Tengah, yang kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau, melihat belanja militer Indonesia terus naik. Kegelisahan ini bersifat universal dan lintas benua.

Data Eurostat menunjukkan bahwa inflasi di zona euro masih berada di angka 2,6% pada awal 2025, sementara pertumbuhan ekonomi di beberapa negara besar stagnan di sekitar 0,8%. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik mencatat inflasi pangan menyentuh 6,2% pada 2024, menghantam daya beli masyarakat kecil. Ketika para pemimpin berbicara tentang “perisai langit” atau “lompatan kuantum,” warga biasa justru bertanya: bagaimana saya membayar tagihan besok?

Namun, narasi keamanan memang punya daya tarik kuat. Rutte memahaminya. Dengan menunjuk pada serangan rudal Rusia, ia membangun argumen yang sulit dibantah. Ketakutan adalah alat komunikasi yang sangat efektif. Di Indonesia, kita juga menyaksikan narasi serupa: pentingnya modernisasi alutsista untuk menjaga kedaulatan. Tetapi, ada garis tipis antara kewaspadaan dan rasa takut yang dimanipulasi.

Jika “hantu” Rusia terus dihidupkan tanpa batas waktu, masyarakat bisa terjebak dalam siklus pengorbanan ekonomi demi keamanan yang tak pernah terasa cukup. Pertanyaannya, apakah ancaman itu nyata dan mendesak, ataukah kita sedang dipaksa terus berlari di atas treadmill tanpa ujung?

Pertanyaan ini membawa kita pada refleksi yang lebih dalam: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan keamanan dengan tuntutan kesejahteraan? Laporan Reuters menyebut bahwa beberapa negara Eropa sudah mulai bergerak. Inggris menargetkan anggaran pertahanan 2,5% dari GDP, sementara Jerman sedang merancang rekrutmen militer dalam jumlah besar. Tapi semua langkah ini menuntut harga yang mahal.

Di Indonesia, kita menyaksikan pertarungan anggaran yang sama. Pembelian jet tempur atau kapal selam sering diumumkan dengan penuh kebanggaan. Namun, sekolah-sekolah di daerah terpencil masih kekurangan guru, dan layanan kesehatan di banyak wilayah belum merata. Solusi bukanlah memilih antara satu atau yang lain, melainkan mencari cara yang lebih efisien dan inklusif.

Eropa dapat belajar dari inisiatif PESCO, yang mendorong pembelian bersama peralatan militer guna menekan biaya. Indonesia pun bisa memperkuat industri pertahanan lokal, yang bukan hanya menopang kekuatan militer tetapi juga membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi.

Namun, di atas segalanya, ada kebutuhan akan kejujuran politik. Para pemimpin—baik di Eropa maupun di Indonesia—harus berani berkata jujur kepada rakyatnya: bahwa keamanan memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan. Narasi ancaman harus diimbangi dengan solusi ekonomi yang nyata. Jika tidak, kepercayaan publik bisa runtuh.

Kita, sebagai masyarakat, juga memiliki peran penting. Di Eropa, suara publik disuarakan lewat petisi dan aksi protes. Di Indonesia, media sosial dan forum-forum warga menjadi wadah untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah kita cukup peduli untuk bertanya ke mana uang publik mengalir, dan untuk kepentingan siapa?

Mark Rutte akan berbicara di London, namun gema ucapannya akan sampai jauh—hingga desa-desa di Ukraina, kota-kota di Eropa, bahkan kampung-kampung di Indonesia. Dunia ini saling terhubung, dan kegelisahan kita sering kali bersumber dari hal yang sama: bagaimana bisa hidup aman tanpa kehilangan harapan?

Mungkin, di tengah ancaman dan krisis global, kita perlu mengingat kembali bahwa keamanan sejati bukan hanya soal rudal, tank, atau radar, tetapi juga soal perut yang kenyang, atap yang melindungi, dan masa depan yang dapat diimpikan bersama. Bukankah itu yang sedang dicari oleh siapa pun, di mana pun ia berada?

 

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Eropa, Sanksi, dan Luka yang Diciptakannya Sendiri - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *