Opini
Ketika Israel–Ukraina Bersekutu Lawan Iran, Ada Apa?

Ketika Israel dan Ukraina tiba-tiba sepakat menyebut Iran sebagai ancaman global, pertanyaan pun menyeruak: ada apa sebenarnya di balik persekutuan ini? Apakah ini murni soal keamanan, atau justru tentang membangun musuh bersama yang strategis? Dunia memang gemar menyederhanakan konflik menjadi hitam dan putih. Tapi seperti biasa, kenyataan tidak pernah semudah palet warna di meja propaganda. Di Kyiv, Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, bertemu dengan rekan sejawatnya dari Ukraina, Andrii Sybiha. Mereka saling mengangguk, saling bicara, dan pada akhirnya saling menyepakati satu hal: Iran adalah bahaya bagi mereka berdua, dan bahkan bagi dunia.
Pernyataan itu terdengar tegas, nyaris dramatis. Saar menyebut akan ada “dialog strategis untuk menghadapi ancaman Iran.” Sybiha menambahkan bahwa Iran dan Rusia adalah “ancaman eksistensial” bagi Ukraina dan Israel sekaligus dunia. Kata “eksistensial” dipilih dengan hati-hati, seolah-olah kedua negara itu sedang menulis skrip film thriller politik. Tapi mari kita letakkan dramanya sebentar dan periksa kenyataannya. Iran, sejauh ini, belum pernah menyerang Ukraina. Iran tidak pernah mengirim pasukannya ke Kyiv. Bahkan ucapan pedas pun jarang terdengar dari Teheran soal Ukraina. Satu-satunya kaitan yang diulang-ulang adalah: Rusia menggunakan drone buatan Iran untuk menyerang Ukraina. Dan dari situlah segalanya ditarik, digelindingkan, lalu dipahat menjadi musuh bersama.
Di sinilah absurditas mulai terasa. Ukraina, negara yang sejak 2022 mengklaim sebagai korban brutalitas Rusia—yang memang benar adanya—tiba-tiba menjalin kedekatan dengan Israel, negara yang nyaris tak pernah absen dari daftar pelaku agresi militer di Timur Tengah. Apakah Ukraina lupa pada nilai-nilai yang mereka dengungkan sendiri: anti-penjajahan, hak atas kedaulatan, penghormatan pada hukum internasional? Ataukah nilai-nilai itu, sebagaimana sering terjadi dalam diplomasi, memang hanya berlaku selektif: untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain?
Israel tidak butuh pembelaan panjang. Catatannya sudah panjang sendiri. Dari pendudukan di Tepi Barat, blokade di Gaza, serangan ke Suriah, Lebanon, hingga pembunuhan ilmuwan Iran di tanah asing. Terakhir, Israel bahkan mengklaim telah menyerang fasilitas nuklir dan militer di Iran pada bulan Juni lalu—yang memicu perang singkat selama 12 hari. Tapi dalam wacana Barat, Israel tetap diposisikan sebagai “pembela diri”, bahkan ketika pelurunya menembus dada anak-anak. Kini, Ukraina ikut duduk di meja yang sama dengan Israel, bukan untuk membahas perdamaian, melainkan untuk menyusun langkah menghadapi Iran. Ini bukan sekadar pertemuan diplomatik. Ini adalah pernyataan sikap: kami di pihak yang sama, dan Iran di seberang sana.
Yang membuatnya lebih menggelitik adalah permintaan Israel kepada Presiden Zelensky untuk mendorong parlemen Ukraina melabeli IRGC—Garda Revolusi Iran—sebagai organisasi teroris. Langkah ini akan membawa Ukraina semakin dalam ke pusaran geopolitik Timur Tengah. Ukraina, yang sebelumnya tidak punya kepentingan langsung di kawasan itu, kini terlibat dalam narasi besar: pengucilan dan demonisasi Iran. Tapi untuk apa? Apakah Ukraina benar-benar percaya bahwa Iran adalah ancaman eksistensial bagi mereka? Ataukah ini hanya cara lain untuk tetap berada di dalam lingkaran strategis Barat dan mempertahankan simpati negara-negara kuat?
Ada pepatah lama yang mengatakan: “katakan padaku siapa temanmu, maka akan kutahu siapa dirimu.” Jika kita mengikuti pepatah itu, maka Ukraina hari ini sedang menunjukkan perubahan wajah yang mengejutkan. Dari negara yang memohon empati dunia sebagai korban agresi, menjadi negara yang mulai ikut-ikutan mencurigai, menuduh, bahkan mungkin nanti ikut menghukum, negara lain yang belum pernah menodainya secara langsung. Di mata dunia Islam, ini adalah transformasi yang mencederai solidaritas. Di mata Palestina, ini adalah pengkhianatan diam-diam.
Tentu, ada argumen pragmatis yang bisa dibela. Bahwa Ukraina membutuhkan teknologi pertahanan. Bahwa Israel punya sistem rudal canggih. Bahwa diplomasi itu soal kepentingan, bukan soal moral. Tapi ketika argumen itu digunakan oleh Ukraina, negara yang setiap hari mengingatkan dunia tentang nilai keadilan, tentang pentingnya melawan tirani, tentang kebebasan dan martabat manusia—maka semuanya terasa seperti sandiwara. Dan rakyat Gaza, rakyat Suriah, rakyat Iran yang terkena sanksi sepihak, tidak hidup di dalam panggung sandiwara.
Ada perbedaan besar antara memahami realitas geopolitik dan membenarkannya. Memahami bahwa Ukraina ingin bertahan dari invasi Rusia adalah satu hal. Tapi membenarkan bahwa karena itu Ukraina boleh ikut-ikutan menekan Iran, menuduh tanpa dasar, dan menutup mata terhadap kejahatan Israel—itu adalah hal lain. Ini bukan sekadar perubahan kebijakan luar negeri, ini adalah transformasi moral yang menyakitkan.
Di Indonesia, kita masih diajarkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Konstitusi kita mengutuk ketidakadilan dan mendukung kemerdekaan tiap bangsa. Kita diajarkan untuk berpihak pada yang tertindas, bukan kepada yang kuat. Maka ketika melihat Ukraina—negara yang selama ini didukung karena dianggap sebagai korban penindasan—berjalan beriringan dengan Israel dalam membangun poros anti-Iran, sulit untuk tidak merasa kecewa. Bahkan getir. Ini seperti melihat korban bully sekolah yang akhirnya bergabung dengan geng pembuli, hanya karena ingin merasa aman.
Bayangkan jika Iran diserang secara multilateral. Bayangkan jika sanksi diperketat dan Ukraina jadi bagian dari koalisi yang menyetujui itu semua. Akan seperti apa wajah Ukraina di mata dunia Global South? Negara-negara yang selama ini bersimpati pada penderitaannya bisa dengan mudah berubah menjadi sinis. Karena pada akhirnya, kesetiaan pada prinsip lebih dihargai daripada sekadar menjadi pion dalam permainan kekuasaan.
Ukraina mungkin tak merasa dirinya sedang menjadi pion. Tapi dunia melihat arah geraknya, dan peta diplomasi bicara lebih keras daripada pernyataan pers. Saat Iran dijadikan musuh bersama oleh mereka yang dulu mengklaim diri sebagai korban, maka kita harus bertanya ulang: apakah penderitaan benar-benar mengajarkan empati? Atau justru mengasah keterampilan bertahan dalam arena kekuasaan yang dingin?
Ironinya, Iran sendiri tak menganggap Ukraina sebagai musuh. Tak ada retorika tajam, tak ada ancaman, tak ada pasukan atau peluru yang dikirimkan ke Kyiv. Tapi entah kenapa, Iran harus masuk daftar hitam—hanya karena drone. Di sisi lain, Israel bisa menjatuhkan bom ke sekolah-sekolah dan rumah sakit, dan tetap disebut “rekan strategis.” Ini bukan dunia yang adil, dan Ukraina seharusnya tahu itu lebih dari siapa pun.
Sejarah akan mencatat banyak hal. Tapi yang akan diingat paling kuat bukanlah jumlah senjata yang digunakan, melainkan pilihan moral yang diambil. Ukraina bisa bertahan tanpa harus menjilat penjajah. Bisa membangun aliansi tanpa mengorbankan prinsip. Tapi jika memilih untuk menyatu dengan kekuatan yang terus-menerus merampas hak bangsa lain, maka ia sedang berjalan ke arah yang sama dengan musuh-musuh yang dulu ia kutuk. Dan pada akhirnya, itu bukan kemenangan. Itu adalah kekalahan jiwa.