Opini
Ketika Doa Jadi Kebijakan Energi Nasional

Di tengah gemuruh perang Iran dan zionis Israel, ketika dunia menahan napas menatap Timur Tengah yang seperti dapur minyak dunia yang kebakaran, kita di Tanah Air justru diminta satu hal sederhana oleh seorang menteri: berdoa saja. Bukan siaran darurat, bukan penegasan strategi nasional energi, bukan pula paparan kesiapan APBN. Hanya itu—doa. Seolah negara ini adalah mushalla besar yang cukup dijaga dengan dzikir berjamaah di setiap kementerian.
Pernyataan itu datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, dalam forum resmi di Jakarta. Ia menyampaikan dengan ringan bahwa satu-satunya jalan menghadapi ancaman kenaikan harga minyak akibat perang besar adalah doa. Doa dan ikhtiar internal, katanya. Dan sisanya? Terserah keadaan. Bahkan saat ditanya soal asumsi harga minyak dalam APBN 2025 yang dipatok di angka US $82 per barel, ia menyambut dengan pasrah. “Saya katakan berdoa saja,” ujarnya. Enteng, seperti membalas pesan WhatsApp yang lupa diarsip.
Tentu, tak ada yang salah dengan berdoa. Tapi ketika doa menggantikan perencanaan darurat, itu bukan spiritualitas—itu adalah kelambanan yang disulap jadi kesalehan. Ini bukan soal menyepelekan religiusitas, melainkan mempertanyakan ke mana perginya fungsi negara sebagai pengelola risiko dan penyedia jaring pengaman publik. Karena, mari jujur: siapa yang paling dulu merasakan dampak dari naiknya harga minyak dunia? Siapa yang antre di pom bensin dengan dompet pas-pasan? Rakyat kecil. Bukan para penyusun asumsi makroekonomi yang duduk di kursi empuk ber-AC.
Ironisnya, Bahlil juga menyebut bahwa saat ini harga minyak justru di angka US $67, lebih rendah dari asumsi APBN. Ia menyampaikan ini seolah-olah itu adalah hasil dari keberkahan doa kita bersama, bukan karena dinamika pasar global yang tengah mencoba menstabilkan diri. Ia mengatakan ini sambil mengingatkan bahwa kondisi bisa berubah sewaktu-waktu, “naik turun, naik turun,” katanya, seperti sedang bicara tentang mood personal, bukan harga komoditas vital dunia.
Yang paling mengusik dari pernyataan ini bukan hanya karena terlalu ringan dan tidak strategis, melainkan karena mengingatkan kita pada satu pola lama: ketiadaan kesiapan yang dibungkus dengan narasi fatalisme nasional. Dulu, saat pandemi COVID-19 mulai melanda dunia, beberapa pejabat kita juga berkata santai. Ada yang bilang virusnya tidak akan masuk karena negara ini penuh doa, ada yang berujar udara tropis akan membuat virus ogah mampir. Nyatanya, kita tahu, yang datang bukan hanya virus, tapi gelombang kematian dan krisis kesehatan. Dan rakyat kembali yang menanggung beban.
Kini, ketika risiko krisis energi global ada di depan mata—karena perang antara dua aktor besar di kawasan produsen minyak dunia—kita justru kembali pada reflek lama: berharap pada langit, bukan pada langkah. Sementara Goldman Sachs telah memproyeksikan harga minyak Brent bisa tembus US $110 per barel jika Selat Hormuz ditutup, dan kemungkinan penurunan pasokan dari Iran bisa menyebabkan defisit 1,75 juta barel per hari, pemerintah kita masih sibuk merapikan kalimat doa, bukan strategi mitigasi. Kalau nanti BBM naik dan rakyat protes, apakah jawabannya akan tetap sama? “Kurang khusyuk doanya”?
Dan mari tidak menutup mata: ini bukan sekadar salah ucap atau kecelakaan retorika. Ini adalah potret yang berulang. Menteri Bahlil bukan kali ini saja membuat blunder. Dari pernyataannya soal demokrasi yang dianggap tak cocok untuk investasi, sampai urusan perizinan tambang yang penuh kontroversi, ia telah menunjukkan satu pola: keengganan untuk berbicara sebagai negarawan, dan kecenderungan berucap sebagai pebisnis yang sedang mencoba jadi tokoh publik. Maka wajar jika banyak yang kini bertanya: apakah Presiden Prabowo berani mengevaluasi kinerja seperti ini, atau kita akan membiarkannya terus menambal komunikasi buruk dengan karisma seadanya?
Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya harga BBM, tapi juga martabat akal sehat kita sebagai bangsa. Tidak semua orang bisa membaca laporan APBN atau mengikuti fluktuasi harga Brent per barel, tapi semua orang paham betapa mahalnya hidup ketika harga naik dan upah tetap. Yang dibutuhkan rakyat bukan penghiburan spiritual dari seorang menteri, melainkan jaminan bahwa negara tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam negara modern, kebijakan adalah bentuk tertinggi dari doa. Ia adalah doa yang dijelmakan menjadi kerja, perencanaan, dan kesiapan. Maka ketika seorang pejabat publik mengganti kebijakan dengan doa kosong, sesungguhnya ia sedang mengaburkan peran negara dan menjadikan nasib rakyat sebagai eksperimen takdir. Seolah jika semua gagal, bukan salah perencanaan, tapi salah iman.
Di negeri ini, rakyat terlalu sering diminta sabar, ikhlas, dan berdoa. Padahal mereka sudah menjalani itu setiap hari, bahkan sebelum diminta. Yang belum dijalani dengan baik adalah tugas negara untuk menyiapkan diri dan tidak menjadikan rakyat sebagai tameng dari ketidaksiapan struktural. Ketika perang meletus di luar sana, kita tak bisa hanya menunduk dan berharap badai berlalu. Kita perlu bertanya: adakah yang sedang mengemudikan kapal ini, ataukah kita semua hanya penumpang yang diminta bershalawat di tengah gelombang?
Di antara kebisingan analisis geopolitik dan ramalan pasar, suara rakyat kecil sering kali teredam. Tapi jangan lupa, merekalah yang membayar semua ini dengan harga gas melon, ongkos ojol, dan tarif angkutan umum. Maka ketika mereka mendengar bahwa solusi negara terhadap krisis energi global adalah “berdoa saja”, jangan heran kalau yang mereka lakukan bukan mengangkat tangan ke langit, tapi mengangkat alis sambil tersenyum getir—karena mereka tahu, di negeri ini, doa kadang dijadikan pengganti kerja.
Sumber:
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250624140348-85-1243255/bahlil-minta-rakyat-doa-agar-bbm-tak-naik-imbas-perang-iran-israel
- https://www.kompas.tv/nasional/601438/bahlil-soal-potensi-harga-minyak-naik-akibat-perang-israel-iran-berdoa-saja-doa-menyelamatkan-kita