Opini
Ketika ASEAN Jadi Panggung Baru Geopolitik Dunia

Di sela-sela pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Kuala Lumpur, Marco Rubio, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, berbicara dengan nada lelah namun penuh tekanan. Dalam pertemuan selama 50 menit dengan Sergey Lavrov, menlu Rusia, ia menyampaikan frustrasi Amerika: perang di Ukraina yang terus berlarut-larut. Frustrasi itu bukan hanya milik diplomat, tapi juga gambaran dari dunia yang semakin letih melihat konflik yang tak kunjung berakhir, dan solusi yang selalu datang terlambat.
Rubio menyampaikan hal yang telah berulang kali dikatakan Presiden Trump di publik—bahwa Rusia tidak menunjukkan fleksibilitas yang cukup untuk mengakhiri perang. Tapi pernyataan itu tampak kontras dengan realitas di lapangan. Di hari yang sama, drone dan rudal Rusia menghujani Kyiv. Sekitar 400 drone dan 18 rudal diluncurkan hanya dalam satu malam. Rakyat Ukraina kembali bersembunyi di tempat perlindungan, menggigil di bawah tanah, menunggu bunyi ledakan terakhir yang entah kapan akan tiba.
Sementara di atas kertas Trump berjanji mengakhiri perang dengan cepat, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Ia bahkan telah menyetujui pengiriman senjata defensif ke Ukraina dan mempertimbangkan sanksi keras terhadap Rusia—termasuk tarif 500% untuk negara-negara yang membeli minyak, gas, atau uranium dari Moskow. Janji cepat menjadi langkah lambat. Retorika keras berbalik menjadi permainan ancaman ekonomi. Trump, dalam ironi yang khas, justru makin memperumit peta diplomasi yang ia klaim ingin disederhanakan.
Yang lebih mencemaskan, dalam pertemuan yang sama, Lavrov juga berbincang dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi. Dari percakapan itu muncul nada yang sangat berbeda: menyerukan koordinasi strategis, menolak militerisasi kawasan, dan mengedepankan diplomasi sebagai jalan damai. “Perdamaian tidak akan lahir dari tekanan,” kata Wang Yi, menyindir model pendekatan ala Barat yang gemar mengancam lalu mengintervensi. Mereka menyuarakan solusi diplomatik untuk isu nuklir Iran, dan bahkan menawarkan diri sebagai penengah dalam konflik Timur Tengah.
Kontras itu menjadi sorotan penting: ketika AS datang ke Asia dengan retorika tekanan dan frustrasi, China dan Rusia hadir dengan tawaran koordinasi dan dialog. ASEAN menjadi titik temu. Atau tepatnya, medan perebutan pengaruh. Bukan kebetulan bahwa pertemuan ini diadakan di Kuala Lumpur, bukan di Washington atau Moskow. Asia Tenggara, yang selama ini cenderung netral dan adem, kini mulai hangat. Bahkan mungkin panas. Dan pertanyaannya: seberapa siap kita menghadapi itu?
Dulu, yang menjadi panggung utama konflik global adalah Timur Tengah. Di sanalah narasi besar kekuasaan saling berbenturan, dengan darah, minyak, dan agama sebagai bahan bakarnya. Tapi panggung itu sekarang mulai meluas. Dan ASEAN, yang selama ini dikenal dengan pendekatan “non-konfrontatif”, perlahan-lahan menjadi pentas baru. Tentu saja bukan karena ASEAN menginginkannya, melainkan karena kekuatan besar kini melihat kawasan ini sebagai “ruang kosong” yang bisa diisi. Di sinilah perang narasi dimulai.
Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan ini, tak mungkin berpura-pura netral sepenuhnya. Posisi kita strategis, baik secara geografis maupun geopolitik. Tapi kesiapan kita masih jauh dari ideal. Diplomasi kita sering kali normatif: menyerukan perdamaian tanpa peta jalan yang konkret. Militer kita masih tertinggal dari segi teknologi dan daya gempur. Dan yang paling mengkhawatirkan: polarisasi politik dalam negeri membuat setiap sikap luar negeri mudah diseret ke dalam kepentingan domestik yang sempit.
Belajar dari Timur Tengah, kita tahu satu hal: panggung yang diperebutkan bisa terbakar. Ketika negara-negara mulai dijadikan alat tawar-menawar, ketika militerisasi dipaksakan dari luar, dan ketika perang informasi membanjiri ruang publik, maka kekacauan tinggal menunggu momentum. Irak, Suriah, dan Yaman adalah bukti konkret bagaimana kekuatan global bermain-main dengan kedaulatan negara kecil hingga runtuh total. Kita tidak ingin itu terjadi di ASEAN. Tapi keinginan saja tidak cukup. Kita harus aktif membentuk panggung itu sebelum orang lain mengatur sandiwara atas nama kita.
Iran adalah contoh mutakhir dari kegagalan diplomasi yang disusupi tipu daya. Dalam laporan yang sama, terungkap bagaimana AS dan Israel melancarkan serangan mendadak ke tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—pada 22 Juni, tepat ketika Iran mengira sedang membuka jalur negosiasi. Bahkan menurut laporan Times of Israel, Trump sendiri terlibat dalam “operasi penipuan” untuk membuat Iran lengah. Hasilnya tragis: lebih dari 1.000 korban jiwa di Iran, dan kepercayaan yang makin rusak terhadap proses diplomasi global.
Apa pelajaran dari sana? Bahwa diplomasi yang tidak tulus bisa lebih mematikan dari perang. Bahwa kata-kata damai bisa berubah jadi peluru, jika diucapkan oleh pihak yang berniat menyusupkan serangan. Dan bahwa kekuatan besar tidak selalu bermain adil, bahkan di meja perundingan. Jika Iran bisa menjadi korban manipulasi, maka negara-negara ASEAN pun tak kebal dari risiko yang sama. Apalagi jika kita terlalu percaya pada janji tanpa verifikasi.
ASEAN sedang berdiri di tengah pusaran. Di satu sisi, tekanan AS dan NATO untuk membentuk blok keamanan di Asia Pasifik. Di sisi lain, dorongan China dan Rusia untuk membangun tatanan multipolar yang lebih adil. Tapi pilihan bukan hanya antara dua kutub itu. ASEAN bisa dan harus memilih jalan ketiga: jalan strategis yang berbasis kepentingan kawasan, bukan sekadar aliansi.
Untuk itu, Indonesia harus bangkit sebagai pemimpin narasi, bukan sekadar pengikut suara keras. Kita harus punya sikap yang jelas, tapi tidak kaku. Tegas, tapi tidak memprovokasi. Kita harus berani menyuarakan hak kita atas kedaulatan dan netralitas aktif—dan yang lebih penting, kita harus siap secara ekonomi, militer, dan politik untuk mempertahankan sikap itu jika diuji.
Sebab jika tidak, panggung ini bukan hanya akan diperebutkan. Ia bisa dibakar. Dan kita yang akan jadi abunya.
Sumber:
- https://www.reuters.com/world/asia-pacific/rubio-meet-russias-lavrov-kuala-lumpur-us-official-says-2025-07-10/
- https://thecradle.co/articles/china-russia-vow-strategic-coordination-to-promote-peace-in-west-asia