Opini
Ketegangan Dagang AS-UE dan Risiko Global

Pada Minggu di Morristown, New Jersey, Presiden Donald Trump mengumumkan penundaan tarif 50% pada barang Uni Eropa (UE) dari 1 Juni hingga 9 Juli 2025, setelah pembicaraan dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen (AP News, 2025). Keputusan ini memberi kelegaan sementara, namun menyisakan kegelisahan yang pekat. Dunia perdagangan global, yang sudah rapuh akibat ketegangan geopolitik, kini menghadapi ancaman baru.
Bagi UE—mitra dagang terbesar AS dengan nilai perdagangan mencapai $1,2 triliun pada 2023—tarif ini bukan sekadar perkara ekonomi, tetapi menyangkut keberlangsungan jutaan pekerjaan dan stabilitas regional. Indonesia, meski jauh secara geografis, tetap merasakan getarannya. Dampaknya terasa hingga ke sini—lalu, apa langkah kita?
Negosiasi di Ujung Waktu
Penundaan tarif bukan sinyal damai, melainkan taktik Trump untuk meningkatkan tekanan. Dalam unggahan di Truth Social, ia menyebut UE “sulit diajak bernegosiasi” dan mengeluhkan bahwa pembicaraan “tidak ke mana-mana” (AP News, 2025). Sementara itu, von der Leyen menegaskan kesiapan UE untuk “mempercepat pembicaraan secara tegas” (Euronews, 2025).
Tawaran “zero-for-zero”—penghapusan tarif timbal balik—tetap diusung, ditambah komitmen membeli lebih banyak LNG, teknologi, dan produk pertanian AS. Namun cukupkah itu? Dengan pendekatan “America First”, Trump tampaknya menginginkan lebih dari sekadar tawaran damai.
Negosiasi ini seperti lomba lari tanpa garis finis. Menurut laporan, AS telah memberlakukan tarif 25% pada baja, aluminium, dan mobil UE, serta 10% tarif menyeluruh atas semua impor dari kawasan tersebut (Euronews, 2025). Jika tarif 50% jadi diterapkan, harga mobil Jerman dan anggur Prancis di pasar AS akan meroket, merugikan konsumen dan eksportir secara bersamaan.
UE di Persimpangan Tekanan
Posisi UE semakin terjepit. Sanksi terhadap Rusia akibat konflik Ukraina telah memutus pasokan gas yang dulunya menyuplai 40% kebutuhan energi Eropa (IEA, 2023). Kini, UE sangat bergantung pada LNG dari AS, yang menyumbang 47% impor energi mereka pada 2024 (Eurostat, 2024).
Ancaman tarif Trump menambah tekanan, terutama bagi Jerman, yang mengekspor kendaraan bermotor senilai miliaran euro ke AS setiap tahun. “Kami siap bernegosiasi demi hasil yang saling menguntungkan,” kata von der Leyen. Namun UE juga tengah menyiapkan tarif balasan senilai €95 miliar, ditambah €21 miliar yang sebelumnya ditangguhkan (Euronews, 2025).
Ini sinyal bahwa Eropa tidak akan tunduk begitu saja. Namun di bawah bayang-bayang ketergantungan energi dan keamanan dari AS, daya tawar UE terasa goyah. Solidaritas antar-anggota akan kembali diuji—mampukah 27 negara bersatu dalam satu suara?
Bayang-Bayang Pecah-Belah
Trump, dengan naluri politiknya yang tajam, mungkin melihat peluang untuk memecah persatuan Eropa. Ia bisa menawarkan keringanan tarif kepada negara-negara tertentu demi membelah konsensus. Jerman mungkin digoda dengan perlindungan atas BMW dan Mercedes. Polandia, yang bergantung pada perlindungan militer AS, bisa jadi lebih lentur.
Laporan menyebut bahwa UE menolak pendekatan kesepakatan seperti AS-Inggris, di mana London menerima tarif dasar 10% demi menghindari beban lebih tinggi (Euronews, 2025). Tapi tekanan ekonomi bisa menggoyahkan prinsip. Hungaria, misalnya, yang memiliki kedekatan dengan China, bisa saja tergoda oleh tawaran bilateral.
Komisi Eropa, yang memegang otoritas eksklusif atas perundingan dagang, tengah diuji. “Kami tidak akan mengulangi kesalahan Brexit,” tegas juru bicara perdagangan UE Olof Gill. Namun jika satu negara goyah, efek domino bisa merobek pasar tunggal dari dalam.
Getaran ke Indonesia
Bagi Indonesia, ketegangan dagang antara dua kekuatan besar ini bukan sekadar catatan berita luar negeri. Ekspor sawit ke UE—tujuan terbesar kedua setelah India—mencapai $2,5 miliar pada 2023 (BPS, 2023). Jika konsumsi Eropa menurun akibat tekanan tarif dan ekonomi yang melemah, permintaan terhadap sawit dan turunannya bisa ikut surut, menghantam petani dari Sumatra hingga Kalimantan.
Hal serupa mengancam ekspor nikel, yang menjadi andalan dalam perdagangan dengan Eropa. Meski Indonesia telah mulai menggeser fokus ke Timur Tengah dan BRICS, seperti dalam kesepakatan dengan UEA untuk investasi infrastruktur (Kementerian Perdagangan RI, 2024), upaya diversifikasi tetap membutuhkan waktu dan stabilitas kebijakan.
Ketika Eropa kehilangan gas Rusia, harga energi global melonjak—dan Indonesia ikut merasakannya. Diversifikasi bukan lagi pilihan, tapi keharusan—dan waktunya hampir habis.
Melirik China, tapi dengan Hati-Hati
Di tengah tekanan dari AS dan ketergantungan energi, UE mulai melirik ke Timur. China, dengan nilai perdagangan mencapai €739 miliar pada 2023, menawarkan alternatif yang menggoda (Eurostat, 2023). Pasar China besar dan siap menampung mobil Jerman atau anggur Prancis. Namun di balik peluang, terselip tantangan serius.
China bukan mitra dagang biasa. Kompetisinya di sektor kendaraan listrik dan teknologi canggih mengintensifkan ketegangan. Defisit perdagangan UE dengan China—mencapai €291 miliar—serta perbedaan nilai soal demokrasi dan hak asasi membuat hubungan ini rumit. “Kami ingin kerja sama, bukan ketergantungan,” ujar Maroš Šefčovič, Komisioner Perdagangan UE (Euronews, 2025).
Indonesia juga telah meningkatkan ekspor ke China, tapi tetap waspada terhadap jebakan ketergantungan tunggal. Jika UE mulai mendekat ke China, Indonesia pun harus menentukan langkah: mempercepat hubungan dengan Timur, atau meracik keseimbangan baru bersama ASEAN dan India?
Solidaritas dan Diversifikasi adalah Kunci
UE harus bertahan dengan solidaritas internal dan memperkuat tawaran “zero-for-zero” dengan konsesi nyata, termasuk komitmen membeli LNG dan produk AS dalam jumlah signifikan. Tapi lebih dari itu, krisis ini adalah peringatan global: terlalu bergantung pada satu mitra dagang bisa berbahaya.
Bagi Indonesia, ini waktunya mempercepat perjanjian dagang strategis dengan ASEAN, India, dan Afrika. Kita juga harus belajar dari krisis UE—bahwa kekuatan kawasan terletak pada solidaritas dan ketahanan bersama. Trump mungkin ingin mengguncang dunia dengan tarifnya, tapi ini justru peluang untuk membangun ulang sistem yang lebih tangguh.
Jalan ke Depan yang Tak Pasti
Hingga Juli 2025, arah negosiasi akan menentukan: akankah UE dan AS mencapai kesepakatan baru atau malah terseret ke perang dagang besar? Jika tarif 50% diterapkan, UE akan membalas. Efeknya akan terasa secara global—harga mobil Eropa di AS melonjak, permintaan sawit Indonesia menurun, harga barang di pasar dunia terguncang.
Namun di tengah ancaman, selalu ada ruang harapan. UE telah bertahan dari Brexit dan tekanan Rusia. Solidaritas internal mereka belum padam. Indonesia pun telah berlatih mengelola risiko global melalui diversifikasi pasar.
Pertanyaannya kini: apakah dunia akan belajar dari kegelisahan ini, atau justru kembali terjebak dalam siklus konflik perdagangan yang melelahkan?
Bagi Indonesia, ini bukan saatnya menunggu badai reda. Inilah waktunya bertindak.