Opini
Ketegangan Baru AS-China: Dunia Masuk Zona Bahaya

Di awal Mei 2025, dunia menyaksikan secercah harapan ketika Presiden AS Donald Trump dan perwakilan dari Tiongkok duduk bersama di Jenewa. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan pada 12 Mei untuk menangguhkan tarif baru yang telah membebani dua raksasa ekonomi dunia itu sejak April. AS sebelumnya memberlakukan tarif sebesar 34% pada 2 April, yang langsung dibalas oleh Tiongkok dengan tindakan serupa. Kesepakatan tersebut menjanjikan jeda selama 90 hari, penurunan tarif secara bertahap sejak 8 April, serta komitmen bersama untuk menjaga tarif dasar pada level 10%.
Namun, harapan itu tampaknya hanya sekejap. Beberapa pekan setelah perjanjian Jenewa, tensi kembali meninggi. Trump, melalui platform Truth Social, menuding Tiongkok “sepenuhnya melanggar” kesepakatan tanpa memberikan rincian yang jelas. Sebaliknya, Kementerian Perdagangan Tiongkok menuduh AS melakukan pelanggaran serius terhadap konsensus yang telah dicapai. Dunia pun kembali dicekam ketidakpastian: apakah ini pertanda babak baru dalam perang dagang yang selama ini telah mengganggu kestabilan global?
Hanya sebulan sebelumnya, suasana di Jenewa sempat membawa angin segar. Kedua negara sepakat untuk melonggarkan hambatan non-tarif, termasuk kontrol ekspor yang seharusnya mulai diberlakukan sejak 14 Mei, disertai mekanisme konsultasi bilateral. Sebagai dua negara yang menyumbang hampir 40% dari total PDB global, kesediaan AS dan Tiongkok untuk meredakan ketegangan dipandang sebagai langkah penting menuju stabilitas ekonomi dunia.
Namun realitas berkata lain. Tuduhan saling terlontar. Trump menyebut bahwa Tiongkok tengah berada dalam “bahaya ekonomi serius” sebelum AS mengajukan tawaran “kesepakatan cepat.” Di sisi lain, Beijing menyoroti berbagai tindakan AS yang dianggap provokatif: larangan pengiriman perangkat lunak desain chip, pembatasan bahan kimia khusus, peringatan terhadap chip Huawei, hingga pembatalan visa pelajar asal Tiongkok. Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, menyatakan bahwa Tiongkok gagal menghapus hambatan non-tarif seperti yang dijanjikan. Sementara Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam wawancara dengan Fox News mengakui negosiasi memang mengalami hambatan, bahkan menyebut perlunya keterlibatan langsung dari Trump dan Presiden Xi Jinping. Apakah ini pertanda jalan buntu?
Tiongkok tentu tak tinggal diam. Pada 30 Mei 2025, Kementerian Perdagangan mereka mendesak AS untuk segera memperbaiki “tindakan keliru” dan menghentikan pembatasan yang dinilai diskriminatif. Pemerintah Tiongkok juga menegaskan pentingnya menjunjung konsensus Jenewa yang telah dicapai bersama. Mereka mengingatkan kembali pelanggaran terhadap kesepakatan awal antara Trump dan Xi di awal tahun. Dampak dari eskalasi ini pun nyata. Ekspor AS ke Tiongkok menurun drastis, sementara sektor teknologi di Tiongkok terpukul akibat pembatasan ekspor dari AS.
Tarif kedua negara kini melonjak tajam. AS meningkatkan tarif hingga 145%, yang langsung dibalas oleh Tiongkok dengan tarif balasan sebesar 125%. Eskalasi sejak 2 April itu kini mencakup lebih dari 90 negara mitra dagang. Pasar global pun ikut terguncang. Pada 4 April, indeks saham Wall Street anjlok lebih dari 5%, dan harga emas meroket hingga US\$2.802,96 per troy ons—sebuah sinyal bahwa para investor mulai melarikan asetnya ke instrumen yang dianggap lebih aman.
Kekhawatiran global semakin membesar. Di AS, para konsumen mulai merasakan beban langsung. Tarif impor sebesar 145% membuat harga barang-barang dari Tiongkok—seperti ponsel, laptop, hingga pakaian—melonjak tajam. CEO perusahaan ritel besar seperti Walmart, Target, dan Home Depot telah mengeluarkan peringatan: rakyat AS bisa kesulitan mengatasi kenaikan biaya hidup yang tidak terkendali. Inflasi mulai mengintip, daya beli menurun, dan sektor teknologi AS pun ikut terguncang. Perusahaan seperti Intel dan Qualcomm mengalami hambatan distribusi ke pasar Tiongkok, memperparah kekacauan rantai pasok akibat pembatasan ekspor perangkat lunak dan bahan kimia.
Ironisnya, niat awal Trump untuk menghidupkan kembali manufaktur domestik AS justru terancam. Produksi menurun, dan ancaman kehilangan lapangan pekerjaan semakin nyata. Meskipun ada harapan dari jeda 90 hari, kekhawatiran bahwa waktu tersebut tidak cukup untuk membalikkan keadaan tetap membayangi. Para pelaku pasar dan para pekerja kini sama-sama dihantui ketidakpastian.
Tiongkok pun mengalami tekanan yang tak kalah besar. Berdasarkan data historis, sekitar 20% dari ekspor Tiongkok ditujukan ke pasar AS. Tarif tinggi membuat jalur ekspor tersebut tersendat. Industri teknologi mereka terpukul oleh pembatasan ekspor chip dan perangkat lunak dari AS. Sebagai balasan, Tiongkok memperketat ekspor logam tanah jarang—komponen penting dalam industri elektronik global—yang selama ini mereka kuasai hingga 70% dari pasokan dunia. Kebijakan ini adalah senjata ekonomi yang kuat, tetapi juga mengandung risiko tinggi.
Dampaknya meluas. Lapangan pekerjaan di sektor manufaktur mulai terguncang, dan tekanan sosial di dalam negeri pun mulai terasa. Pemerintah Tiongkok kemungkinan akan menyuntikkan stimulus fiskal demi meredam dampak, namun hal ini dapat memperburuk kondisi utang nasional mereka. Di sisi lain, Tiongkok mulai mengarahkan strategi ekspor ke kawasan lain seperti Eropa, ASEAN, dan negara-negara mitra Belt and Road Initiative. Tapi pertanyaannya: mampukah pasar-pasar alternatif itu sepenuhnya menggantikan posisi strategis AS?
Sementara itu, dunia pun terkena imbas. Rantai pasok global menjadi kacau. Industri teknologi, otomotif, hingga barang-barang konsumsi di banyak negara mulai terganggu. Negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Jerman yang memiliki hubungan dagang kuat dengan kedua raksasa ini ikut terdampak. Indonesia pun merasakan getarannya. Harga elektronik meningkat, biaya impor dari Tiongkok melonjak, sementara ekspor komoditas seperti nikel dan CPO ke Tiongkok berpotensi menurun jika perekonomian mereka melambat.
Namun di tengah krisis, muncul juga peluang. Vietnam dan Indonesia, misalnya, bisa menjadi destinasi baru bagi relokasi perusahaan global yang ingin menghindari ketegangan AS-Tiongkok. Jika dimanfaatkan dengan bijak, momentum ini dapat mendorong pertumbuhan sektor industri domestik. Meski demikian, risiko tetap besar. Indeks saham global seperti MSCI World dan FTSE Asia Pacific mengalami tekanan, yuan melemah, dan nilai tukar rupiah pun ikut terguncang. Harga emas yang melonjak, serta fluktuasi harga minyak dan logam, menjadi cerminan kekhawatiran pasar terhadap stabilitas ekonomi global.
Apakah ini awal dari resesi global? Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperingatkan bahwa konflik dagang ini bisa memangkas PDB dunia hingga 0,5–1%. Dan jika eskalasi terus berlanjut, efeknya bisa lebih dalam dan meluas.
Lebih dari sekadar angka dan grafik, dampak konflik ini menyentuh sisi kemanusiaan. Petani di Indonesia khawatir harga komoditas anjlok. Buruh pabrik di AS dan Tiongkok takut kehilangan mata pencaharian. Keluarga-keluarga di seluruh dunia dihantui naiknya harga kebutuhan pokok. Bahkan masa depan teknologi dan transisi energi global ikut terancam. Kelangkaan chip menghambat produksi kendaraan listrik, dan perseteruan dua negara ini mempersulit kolaborasi dalam melawan krisis iklim.
Perang dagang ini tak lagi hanya soal tarif atau surplus dagang, melainkan soal kehidupan sehari-hari: impian anak-anak untuk memiliki laptop yang terjangkau, harapan buruh pabrik untuk gaji yang layak, dan ketenangan pedagang kecil yang berharap stabilitas harga.
Kesepakatan Jenewa yang lahir pada 12 Mei tampak seperti lentera kecil di tengah gelapnya konflik global. Namun lentera itu kini meredup. Trump menuding Tiongkok telah melanggar kesepakatan; Tiongkok balik menuduh AS telah merusak konsensus. Greer dan Bessent menggambarkan negosiasi yang tersendat. Beijing terus menekan Washington agar memperbaiki kebijakan mereka.
Masih ada secercah harapan dari jeda 90 hari. Mungkin, dialog langsung antara Trump dan Xi Jinping dapat menyelamatkan keadaan. Namun jika tensi terus meningkat, dunia akan menghadapi risiko yang lebih besar: pasar yang ambruk, harga yang melambung, dan jutaan pekerjaan yang hilang.
Indonesia, sebagai bagian penting di kawasan ASEAN, memiliki peluang untuk menjadi pemain yang lebih strategis dalam rantai pasok global. Tetapi itu memerlukan kesiapan infrastruktur, kebijakan yang cermat, dan ketahanan ekonomi domestik yang kuat.
Satu hal yang patut kita renungkan: ekonomi bukan sekadar angka di laporan keuangan, tapi napas dari jutaan kehidupan. Apakah dua kekuatan besar dunia ini akan menemukan jalan damai demi masa depan bersama? Ataukah kita hanya bisa menunggu datangnya badai yang lebih besar, dengan hati berdebar dan harapan menggantung? Waktu yang akan menjawabnya, tetapi dunia sudah menahan napas terlalu lama.