Opini
Kesepakatan Israel-Mesir di Atas Derita Gaza

Perusahaan energi Israeli, firm NewMed Energy baru saja meneken kesepakatan ekspor gas terbesar dalam sejarahnya: $35 miliar untuk memasok 130 miliar meter kubik gas ke Mesir hingga tahun 2040. Angka-angka itu tampak kokoh seperti mercusuar kapitalisme, berdiri gagah di atas ladang gas Leviathan yang menganga di dasar Laut Tengah. Di atas kertas, ini adalah lompatan strategis, langkah maju, buah dari “kemitraan regional yang kuat.” Tapi di balik angka itu, barangkali ada aroma yang jauh lebih menyengat daripada gas alam: bau amis kemunafikan.
Leviathan bukan nama yang biasa. Dalam mitologi Ibrani, ia adalah monster laut, lambang kekuatan destruktif yang tak terkendali. Sebuah pilihan nama yang nyaris profetik, karena gas yang diambil dari perutnya kini menjadi alat untuk mengikat, bukan sekadar memasok; membentuk ketergantungan, bukan sekadar kerja sama. Dari monster laut purba menjadi monster geopolitik modern. Dan Mesir, negara dengan sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme, kini memosisikan dirinya sebagai simpul utama dalam peta ekspor energi sang penjajah.
Mesir bukanlah korban yang tidak sadar. Negeri ini tahu persis dari siapa ia membeli gas. Ia juga tahu, setiap meter kubik gas dari Leviathan menyimpan konsekuensi moral: bahwa sebagian keuntungan dari perjanjian ini akan membiayai senjata, membayar tentara, dan menopang keberlangsungan mesin perang yang sedang menggiling Gaza. Tapi agaknya, di dunia modern, tragedi bisa ditunda jika ada cukup banyak digit dalam kontrak. Apalagi jika kontrak itu bisa menjinakkan krisis listrik dan menenangkan amarah publik yang sudah lelah dengan pemadaman bergilir dan harga roti yang melambung.
Ada paradoks yang menyakitkan di sini. Sementara Mesir membuka keran miliaran dolar untuk membeli gas dari zionis, di saat yang sama ia menutup rapat pintu perbatasan Rafah bagi warga Gaza yang terjepit antara maut dan reruntuhan. Tentu saja, pengecualian diberikan—selama mereka mampu membayar ribuan dolar untuk izin keluar. Komersialisasi penderitaan ini telah menjadi rahasia umum. Mereka yang bisa membayar, bisa selamat. Yang lain? Mereka tinggal untuk dikubur. Barangkali inilah bentuk baru dari embargo: bukan karena musuh, tapi karena tetangga yang mematok harga.
Dan ini bukan tuduhan kosong. Dalam berbagai laporan investigasi, praktik percaloan izin keluar dari Gaza melalui Rafah telah menjadi industri gelap yang menjijikkan. Nilai manusia ditakar berdasarkan rekening. Lalu, bagaimana kita harus menilai Mesir hari ini? Sebuah negara yang mengklaim solidaritas Arab namun membangun kekayaan dari perdagangan dengan penjajah, dan di saat yang sama memungut cukai atas pelarian dari genosida?
Tidak ada lagi yang mengejutkan dalam dunia di mana diplomasi digantikan oleh spreadsheet. Di mana peta moral dibentuk bukan oleh prinsip, tapi oleh pipa-pipa gas yang membentang di bawah laut dan jalur pipa yang sedang dirancang melalui Nitzana. Dunia ini, tampaknya, telah menghafal baik-baik logika neoliberalisme: bahwa nilai tertinggi bukanlah keadilan, melainkan efisiensi; bahwa kebenaran bisa dinegosiasikan, selama harganya cukup tinggi; bahwa Palestina boleh berdarah, asalkan Mesir bisa menyalakan AC.
Lebih ironis lagi, kesepakatan ini diumumkan tak lama setelah perang singkat 12 hari antara Israel dan Iran, di mana ekspor gas dari Leviathan sempat dihentikan karena alasan keamanan. Maka, begitu damai kembali (atau setidaknya hening), ekspor dilanjutkan, seolah-olah tak pernah ada darah yang tercecer. Inilah realitas di mana perang adalah jeda, bukan krisis. Ia hanya interupsi bagi arus uang, bukan tragedi manusia.
Mereka menyebut ini “kemitraan strategis,” tapi sejatinya ini adalah ketergantungan yang disfungsional. Mesir—dengan segala sejarah heroiknya, dari Nasser sampai gerakan intifada—kini berada dalam posisi di mana ia menukar simbolisme revolusionernya dengan stabilitas ilusi. Kebutuhan energi dijadikan pembenaran untuk bertransaksi dengan negara yang, dalam waktu bersamaan, membombardir tetangga satu umat, satu bahasa, satu luka.
Tentu saja, akan ada yang berkata: “Ini soal survival.” Bahwa Mesir harus menjaga ekonominya, menyelamatkan rakyatnya dari gelap gulita dan stagflasi. Tapi tidakkah kita belajar dari sejarah bahwa survival tanpa martabat adalah bentuk kelangsungan hidup yang paling menyedihkan? Apa artinya terang benderang lampu-lampu di Kairo jika cahaya itu diperoleh dengan menutup mata terhadap kehancuran Gaza?
Dan publik Mesir? Jangan kira mereka buta. Jajak pendapat dan demonstrasi yang dibungkam memperlihatkan penolakan yang kuat terhadap normalisasi hubungan dengan Israel. Tapi seperti halnya di banyak negara, suara rakyat tak lagi menjadi fondasi kebijakan, melainkan gangguan kecil yang harus diredam sebelum jam tayang utama. Rezim memilih diam, atau lebih buruk lagi, memilih berpura-pura tidak tahu.
Barangkali, inilah bentuk paling murni dari absurditas modern: ketika dua negara yang secara teknis pernah berperang kini berjabat tangan di atas reruntuhan bangsa ketiga yang terus dikorbankan. Dan dunia internasional? Sibuk mengukur cadangan energi dan proyeksi ekspor, sambil menutup mata terhadap kebusukan moral yang semakin membesar.
Ada satu adegan yang terus berputar di kepala saya. Seorang anak di Gaza duduk di antara puing-puing rumahnya, mengangkat wajah ke langit yang dihiasi pesawat tak berawak. Di waktu yang sama, di ruang rapat ber-AC, para eksekutif menandatangani dokumen, bersalaman, tersenyum, lalu berfoto. Di dalam kertas itu, ada angka: 130 miliar meter kubik gas. Di luar kertas itu, ada nyawa yang meninggal satu demi satu.
Kita hidup di zaman ketika perang bisa dipicu oleh algoritma, tapi perdamaian malah dipertaruhkan demi harga kilowatt-hour. Ketika ladang gas lebih diprioritaskan ketimbang ladang jagung di Rafah yang hancur oleh bom. Ketika kolaborasi ekonomi disanjung, tapi solidaritas kemanusiaan dilabeli “radikal” atau “subversif.”
Maka jangan heran jika banyak yang memilih diam. Diam karena lelah, atau karena sudah tahu bahwa dalam dunia ini, idealisme tak laku jika tak bisa dibeli. Namun diam juga bisa menjadi bentuk keterlibatan. Karena ketika semua orang tahu, tapi tak bersuara, maka kebusukan akan menjadi hal biasa. Dan itulah yang paling berbahaya dari semua: normalisasi atas yang tidak normal.
Dalam banyak hal, Mesir adalah cermin. Ia mencerminkan dilema dunia Arab hari ini: antara ketakutan dan kebutuhan, antara ideologi dan kenyataan. Tapi cermin itu juga menunjukkan betapa dalamnya kemerosotan kita, ketika uang bisa membeli segalanya—bahkan diamnya masjid, sunyinya khutbah, dan bisunya para pemimpin yang dulu berteriak tentang kemerdekaan dan keadilan.
Jadi, apakah ini hanya soal gas? Tidak. Ini soal harga diri. Soal apakah kita bersedia menukar prinsip dengan pasokan energi. Soal apakah Gaza hanya tinggal menjadi catatan kaki dalam kontrak multinasional, atau masih punya tempat dalam nurani umat. Atau jangan-jangan, nurani itu pun sudah diperdagangkan—seperti gas, seperti izin keluar, seperti segalanya yang bisa dihitung, dijual, dan dilupakan.