Opini
Kepanikan di Langit Tertutup: Warga Israel Terlantar dan Rasa Ditinggalkan

Sekitar 150.000 warga Israel kini terlantar di berbagai penjuru dunia. Mereka terjebak di bandara-bandara asing, tinggal di hotel-hotel yang perlahan berubah menjadi ruang isolasi emosional. Semua ini terjadi karena perang Tel Aviv melawan Iran telah menutup seluruh penerbangan dari dan menuju Israel. Serangan rudal balasan Iran yang menghantam Haifa dan Tel Aviv membuat ruang udara Israel terkunci total. Bayangkan kegelisahan mereka: jauh dari rumah, tanpa kepastian kapan bisa pulang, sementara berita tentang korban jiwa—puluhan tewas, 600 luka—terus berdentang di ponsel mereka. Ini bukan sekadar data dari The Cradle, tapi cerminan ketakutan nyata yang kini menyelimuti warga Israel, baik yang terdampar di luar negeri maupun yang masih bertahan di dalam negeri.
Krisis ini tak sekadar urusan logistik, tapi juga cermin dari rapuhnya kepercayaan publik. Pemerintah Israel di bawah Benjamin Netanyahu telah mengumumkan “Operasi Pulang Aman”, namun janji itu terdengar seperti bayangan yang tak kunjung menjadi nyata. Uri Sirkis, CEO Israir, menyatakan bahwa penerbangan penyelamatan mungkin baru bisa dimulai pada 19 Juni, atau bahkan lebih lama, karena mereka masih harus “mempelajari ancaman”. Ini bukan hanya penundaan administratif—ini sinyal ketidaksiapan. Bahkan Oz Berlowitz dari Arkia lebih gamblang menyebutkan bahwa proses repatriasi bisa memakan waktu berminggu-minggu, tanpa kepastian nyata. Di tengah ketidakjelasan ini, warga yang terlantar—mungkin sudah kehabisan dana atau harapan—berhak bertanya: mengapa kami dibiarkan?
Bagi pembaca Indonesia, situasi ini bisa mengingatkan pada krisis repatriasi WNI saat pandemi COVID-19. Ribuan pekerja migran kita saat itu terjebak di Malaysia, Arab Saudi, dan negara lain, menunggu janji kepulangan yang tertunda. Rasa ditinggalkan, di mana pun ia muncul, selalu meninggalkan luka yang sama. Ketika negara tak mampu hadir saat rakyatnya genting, kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun bisa runtuh dalam hitungan hari.
Sementara itu, di dalam negeri Israel sendiri, suasana semakin tegang. Laporan dari Haaretz mencatat fenomena mencengangkan: warga di wilayah pendudukan Palestina kini berbondong-bondong menyewa kapal pesiar dari marina Herzliya, Haifa, dan Askalan untuk melarikan diri ke Siprus. Biayanya? Hingga 6.000 shekel per orang—sekitar Rp24 juta. Bagi yang punya uang, ini adalah tiket menuju ketenangan. Tapi bagi mayoritas lainnya, itu hanya harapan di cakrawala. Herzliya bahkan dilaporkan berubah menjadi “terminal keberangkatan mini”, tempat orang berebut tempat di kapal-kapal kecil, tanpa pengawasan pemerintah. Ini bukan sekadar eksodus, tapi potret keputusasaan yang telanjang. Warga tak lagi menunggu instruksi resmi; mereka bertindak sendiri, didorong rasa takut. Peringatan Iran bahwa wilayah pendudukan “akan segera tidak dapat dihuni” tidak lagi dianggap sebagai retorika semata—ia kini diyakini sebagai kemungkinan nyata.
Kepanikan ini punya dasar yang kuat. Iran, melalui Korps Garda Revolusi Islam, telah menyampaikan peringatan serius bahwa serangan berikutnya akan “menghancurkan semua titik vital” di Israel. Al Mayadeen melaporkan puluhan korban tewas dan ratusan luka dalam serangan rudal ke Haifa dan Tel Aviv. Meski angka ini belum dikonfirmasi oleh media besar seperti Reuters atau The Times of Israel, kepanikan di lapangan tak bisa disangkal. Ini mengingatkan kita bahwa rasa takut sering kali muncul bukan dari statistik, tapi dari pengalaman langsung dan ancaman yang terasa dekat.
Di Indonesia, kita juga pernah melihat bagaimana berita konflik, meski terjadi di negeri jauh, tetap berdampak pada kehidupan sehari-hari. Ketika ketegangan di Laut China Selatan meningkat, misalnya, nelayan di Natuna hidup dalam ketidakpastian. Mereka takut, bukan karena perang telah meletus, tapi karena kemungkinan itu terasa nyata. Ketakutan seperti ini bersifat universal—dan di Israel saat ini, skalanya jauh lebih mendesak.
Di balik semua ini, muncul krisis kepercayaan yang semakin dalam terhadap pemerintahan Netanyahu. Larangan warga meninggalkan Israel, yang diberlakukan bersamaan dengan rencana repatriasi, terasa seperti jebakan bagi sebagian warga. Menteri Transportasi Miri Regev boleh saja mengatakan “tak ada yang perlu dikhawatirkan”, tapi pernyataan itu terdengar hampa di tengah gelombang pelarian warga. Ketika CEO maskapai sendiri menyebut rencana pemerintah “tak memadai”, itu menandakan ada sesuatu yang lebih serius: negara tak lagi mampu meyakinkan rakyatnya.
Di Indonesia, kita mengenal situasi serupa. Penanganan banjir besar di Jakarta, atau lambannya respons terhadap erupsi Gunung Merapi, pernah menjadi pemicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah maupun pusat. Di Israel, konteksnya lebih kritis—karena yang dihadapi bukan bencana alam, melainkan perang terbuka yang bisa menghantam rumah siapa saja dalam hitungan menit.
Pertanyaannya: apa yang akan terjadi jika ketidakpercayaan ini terus tumbuh? Kemungkinan besar, warga yang merasa ditelantarkan—baik yang di luar negeri maupun di dalam negeri—akan mulai menyuarakan kekecewaan mereka secara terbuka. Haaretz bahkan menyebut pelarian lewat laut sebagai bentuk “protes diam-diam” terhadap pemerintah yang gagal melindungi. Ketika hanya warga berduit yang bisa menyelamatkan diri, ketimpangan sosial makin terasa. Dan dari sanalah, api kemarahan bisa menyala.
Israel bukan asing terhadap aksi massa. Pada tahun 2023, ratusan ribu warga turun ke jalan memprotes rencana reformasi yudisial. Kini, dengan ancaman rudal dan krisis logistik yang nyata, protes serupa bisa lebih ganas. Pertanyaannya kini bukan hanya soal pulang, tapi soal siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Akankah publik menuntut Netanyahu lengser?
Refleksi dari situasi ini patut menjadi cermin bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Kita mungkin tidak hidup di bawah ancaman rudal, tapi kita tahu betul bagaimana ketidakpastian—baik akibat bencana, krisis ekonomi, atau konflik politik—dapat mendorong masyarakat pada titik nadir. Ketika pemerintah gagal hadir, warga mencari jalan sendiri. Namun, jika jalan alternatif itu pun buntu, frustrasi bisa berubah menjadi amarah sosial. Di Israel, warga yang tak bisa lari mungkin merasa seperti tahanan di rumah mereka sendiri.
Tuduhan Iran bahwa Netanyahu menggunakan rakyat sebagai “tameng manusia” bisa saja dianggap propaganda. Namun bagi warga yang merasa ditinggalkan, narasi semacam itu bisa terasa masuk akal. Apalagi ketika realitas di lapangan memperlihatkan bahwa keselamatan rakyat tidak menjadi prioritas utama. Dalam kondisi seperti itu, pertanyaan paling mendasar mulai muncul: sampai kapan mereka harus menunggu? Sampai berapa lama mereka bisa bertahan dalam ketakutan yang terus-menerus?
Kita tahu, dalam sejarah banyak bangsa, krisis sering menjadi titik balik. Di Indonesia, Reformasi 1998 tidak akan terjadi tanpa krisis ekonomi yang menghancurkan dan ketidakpercayaan luas terhadap rezim Orde Baru. Israel tentu berbeda dalam banyak hal, namun dinamika sosial dasar tetap sama: ketakutan, ketidakpastian, dan rasa ditinggalkan bisa menjadi bahan bakar perubahan besar.
Meski begitu, ada hambatan psikologis yang besar. Dalam masa perang, warga cenderung bersatu melawan musuh luar. Netanyahu, yang piawai memainkan isu “keamanan nasional”, masih bisa menahan tekanan dengan retorika itu. Namun, solidaritas nasional bisa runtuh jika rakyat merasa mereka dijadikan korban demi kepentingan politik elit.
Data dari berbagai kanal daring, termasuk X, menunjukkan persepsi publik yang mulai terbelah. Ada yang menyebut serangan Iran tidak separah yang diberitakan, namun mayoritas mengakui: kepanikan nyata. Dan dalam situasi perang, persepsi bisa sama kuatnya dengan kenyataan.
Pertanyaan akhirnya bukan sekadar tentang perang atau politik. Ini tentang kemanusiaan. Berapa lama warga Israel bisa hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian? Bagi 150.000 orang yang terlantar, setiap hari adalah ujian. Bagi mereka yang tetap tinggal, setiap sirene rudal adalah pengingat bahwa rumah tak lagi aman. Kita di Indonesia mungkin hanya bisa menyaksikan dari jauh, tapi tak ada salahnya bertanya: bagaimana sebuah negara yang mengklaim diri kuat bisa sampai pada titik ini?
Dan yang lebih penting, apa yang bisa kita pelajari dari krisis ini—tentang kepercayaan, kepemimpinan, dan daya tahan suatu bangsa? Karena saat keamanan runtuh, manusia akan mencari jalan keluar. Entah lewat kapal kecil menuju Siprus, atau lewat suara yang akhirnya menuntut perubahan.