Opini
Kala Suriah – Israel Mulai Mesra

Di tengah bayang-bayang perang yang belum sepenuhnya pudar dari tanah Suriah, sebuah peristiwa yang dulu terasa mustahil kini menjadi kenyataan: perwakilan dari pemerintahan baru Suriah duduk bersama dengan Israel, musuh lama yang selama puluhan tahun menjadi simbol konflik dan permusuhan. Laporan dari Financial Times menyebutkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, kedua pihak mengadakan pertemuan di Quneitra—sebuah kota perbatasan yang menyimpan jejak sejarah penuh luka. Tujuan pertemuan ini bukanlah untuk menandatangani perdamaian, melainkan mencegah potensi pecahnya konflik bersenjata yang bisa meletus kapan saja.
Langkah ini menandai sebuah babak baru, bukan hanya bagi Suriah yang tengah mencoba bangkit dari puing-puing perang saudara lebih dari satu dekade, tetapi juga bagi Israel yang terus memperkuat kendali militernya di kawasan tersebut. Dua negara yang selama ini saling menuding—“penjajah” di satu sisi dan “teroris” di sisi lain—dipaksa oleh realitas geopolitik untuk membuka jalur komunikasi. Inilah realisme politik dalam bentuknya yang paling gamblang: dialog antara dua musuh yang tak lagi bisa saling menghindar.
Setelah 13 tahun konflik berdarah yang meluluhlantakkan infrastruktur dan mengoyak tatanan sosial, Bashar al-Assad terguling pada Desember 2024 akibat pemberontakan yang dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Penggantinya, Ahmad al-Sharaa, dihadapkan pada tantangan besar: memulihkan negara yang nyaris lumpuh, membangkitkan ekonomi yang kolaps, dan meredakan kegelisahan rakyat yang sudah sangat letih. Di tengah upaya rekonstruksi, wilayah perbatasan menjadi titik rawan, terutama karena sejak tumbangnya Assad, Israel semakin gencar melancarkan serangan udara ke wilayah Suriah dan memperketat penguasaannya atas zona penyangga yang dibentuk sejak 1974.
Bagi Suriah, serangan-serangan Israel merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara. Sebaliknya, Israel berdalih bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari upaya melindungi diri dari potensi ancaman lintas batas. Ketegangan yang kian meningkat akhirnya memaksa kedua pihak untuk membuka ruang negosiasi, meski dimulai secara diam-diam.
Negosiasi yang digelar di Quneitra dipimpin oleh Ahmed al-Dalati, gubernur provinsi strategis yang berbatasan langsung dengan Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki Israel sejak 1967. Fokus utama pembicaraan adalah mencegah eskalasi militer, menuntut penarikan pasukan Israel dari zona penyangga, serta mengembalikan situasi ke status quo sesuai kesepakatan gencatan senjata 1974. Tidak ada semangat romantik dalam proses ini. Bagi Suriah, dialog ini merupakan kebutuhan mendesak demi menciptakan stabilitas dan memungkinkan proses rekonstruksi berjalan.
Ahmad al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh oposisi garis keras, kini mencoba memosisikan diri sebagai seorang negarawan. Ia menghentikan dukungan terhadap kelompok pejuang Palestina, membangun komunikasi dengan komunitas Yahudi Suriah yang tersisa, dan menghindari retorika konfrontatif yang menjadi ciri khas pemerintahan Assad. Lalu muncul pertanyaan: apakah ini sinyal pelunakan politik Suriah, atau hanya strategi bertahan dalam tekanan yang luar biasa besar?
Untuk memahami konteks yang lebih luas, kita perlu menengok ke peran para aktor regional. Uni Emirat Arab, yang memosisikan diri sebagai fasilitator dialog di Timur Tengah, telah memainkan peran penting sebagai penghubung antara Suriah dan Israel sejak awal 2025. Pertemuan tak langsung yang dimediasi oleh UEA membuka jalan bagi komunikasi lebih terbuka. Bahkan, Presiden AS Donald Trump disebut-sebut bertemu dengan al-Sharaa di Riyadh, membahas kemungkinan normalisasi hubungan dalam kerangka Abraham Accords.
Trump menyebut al-Sharaa sebagai sosok yang “terbuka terhadap perdamaian.” Namun, al-Sharaa tetap menegaskan pentingnya penegakan kembali kesepakatan gencatan senjata 1974. Sikap ini memperlihatkan bahwa Suriah mengambil langkah kecil dan realistis, sementara kekuatan besar seperti AS mendorong narasi perdamaian yang lebih luas dan ambisius.
Di mata rakyat Suriah, langkah ini bukan tanpa konsekuensi psikologis. Di tengah pasar Damaskus yang senyap dan pasokan listrik yang tak menentu, banyak warga bertanya-tanya: “Dulu kita perangi Israel, sekarang bicara baik-baik?” Perubahan arah ini sulit diterima begitu saja. Sebab selama bertahun-tahun, Suriah dikenal sebagai negara Arab yang paling vokal dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Kini, al-Sharaa menghentikan aktivitas kelompok seperti Hamas dan Jihad Islam, sebagai sinyal bahwa Suriah berusaha mengambil posisi lebih netral. Namun di balik sikap netral itu, pesan simbolik tetap disuarakan: Dataran Tinggi Golan tetap menjadi isu penting. Diplomasi bukan berarti melupakan sejarah, tapi mencari cara untuk menegosiasikan masa depan dalam keterbatasan yang ada.
Israel pun menghadapi situasi yang tak kalah kompleks. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu masih menyebut pemerintahan al-Sharaa sebagai “rezim teroris,” namun di saat yang sama, militer Israel tetap melanjutkan operasinya di wilayah Suriah, bahkan hingga dekat kompleks istana presiden. Ini adalah kontradiksi yang mencerminkan sikap ambigu: membuka ruang bicara sembari tetap menjaga dominasi militer.
Kekhawatiran utama Israel adalah kemungkinan bahwa Suriah, di bawah al-Sharaa, akan menjadi tempat berkembangnya kelompok militan baru, apalagi dengan latar belakang HTS yang melekat pada sang presiden. Maka dari itu, proses diplomasi dilakukan dengan sikap waspada, sembari menjaga tekanan ekonomi dan politik tetap berjalan.
Di sisi lain, wilayah Druze seperti Sweida menambah lapisan kompleksitas. Bentrokan antarfaksi di daerah ini—yang sebagian diduga mendapat dukungan dari Israel—menimbulkan kekhawatiran baru. Bahkan Israel sempat mengancam akan meningkatkan serangan jika komunitas Druze mereka merasa terancam. Untuk meredakan situasi, al-Sharaa menugaskan al-Dalati untuk menangani krisis tersebut, menunjukkan upaya serius untuk menjaga stabilitas.
Suriah kini berada di titik yang sangat rapuh. Pemerintah perlu menunjukkan komitmen dalam menjaga ketertiban domestik serta menjawab tekanan diplomatik dari luar. Namun, mereka juga harus tetap menjaga kepercayaan publik yang masih menyimpan luka dan kecurigaan akibat perang panjang.
Apa artinya semua ini? Pertemuan di Quneitra adalah langkah bersejarah, tapi bukan akhir cerita. Suriah tak mau lagi bertahan dengan retorika perang, membela Palestina ala Assad; mereka mementingkan duit, stabilitas, dan pengakuan dunia. Israel, dengan paranoia keamanannya, tak akan lepas Golan begitu saja. Normalisasi mungkin di depan mata, tapi jalan ke sana penuh ranjau: dari sentimen anti-Israel di Suriah, isu Palestina, sampai tekanan regional. Kita di Indonesia mungkin cuma bisa menggeleng, tanya dalam hati: “Bisa nggak sih musuh lama jadi temen?” Mungkin, tapi butuh lebih dari secangkir kopi dan jabat tangan kaku.