Opini
Jerman dan Impian 260 Ribu Tentara

Lebih dari 13.700 orang mendaftar sebagai tentara Jerman sejak Januari hingga akhir Juli 2025. Jumlah itu meningkat 28 persen dari periode yang sama tahun lalu—angka yang, di atas kertas, tampak seperti keberhasilan kampanye perekrutan Bundeswehr. Tapi seperti statistik lainnya, angka itu menyimpan jebakan: ia tampak meyakinkan, sampai kita bertanya, “Lalu, siapa mereka?” dan “Apa yang sebenarnya membuat mereka mendaftar?”
Berlin menyebut lonjakan itu sebagai bagian dari strategi menghadapi “ancaman” dari Rusia. Tentu, ancaman adalah kata kunci paling mujarab dalam politik. Ia bisa membuka anggaran yang semula dikunci rapat oleh parlemen, memompa semangat nasionalisme yang menguap bersama liberalisme pasar, dan—paling penting—memancing rasa takut. Di zaman ketika drama Netflix tak cukup menegangkan, ancaman militer dari timur menjadi hiburan sekaligus alasan untuk menghidupkan kembali mimpi kekuatan militer Eropa. Tapi tunggu dulu. Bukankah Jerman pernah bermimpi hal yang serupa?
Bundeswehr saat ini memiliki sekitar 182.000 tentara aktif. Angka yang tampak besar, sampai kita bandingkan dengan target ambisius: 260.000 personel aktif pada 2035. Dua ratus enam puluh ribu. Di negara dengan populasi yang menua, pasar kerja yang sehat, dan generasi muda yang lebih akrab dengan algoritma daripada amunisi. Di tanah tempat sarapan adalah ritual, jam kerja fleksibel adalah hak asasi, dan lumpur hanya pantas dilihat saat festival musik musim panas, impian merekrut puluhan ribu pemuda untuk menggenggam senjata dan berbaris di lapangan bukan hanya sulit—itu nyaris parodikal.
Barangkali ini sebabnya ide wajib militer kembali dilirik. Seperti album lama yang berdebu, ide itu ditarik dari rak sejarah: “Jika rakyat tak ingin bertempur, mari kita paksa dengan undang-undang.” Mereka bilang ini langkah pragmatis. Tapi bukankah Jerman pernah membubarkan wajib militer karena menganggapnya usang, tidak relevan di era damai Eropa pasca-Perang Dingin? Kini, bayang-bayang ketegangan geopolitik membuat mereka menghapus ingatan itu dengan penghapus yang sama digunakan para birokrat: ancaman eksternal.
Kremlin, seperti biasa, menolak semua tudingan. Rusia menyebut anggapan bahwa mereka akan menyerang negara-negara NATO sebagai “omong kosong.” Tapi siapa yang peduli? Dalam politik, kebenaran bukan soal bukti, melainkan soal narasi yang diulang. Dan Berlin, seperti Paris dan Warsawa, tampaknya lebih nyaman hidup dalam narasi ketakutan ketimbang kenyataan diplomatik yang membosankan. Lebih mudah meyakinkan rakyat bahwa bayang-bayang tentara Rusia akan tiba di Brandenburg, ketimbang menjelaskan mengapa Jerman masih bergantung pada industri energi fosil atau gagal mengendalikan inflasi harga pangan.
Maka dipompa lagi anggaran militer. Kanselir Friedrich Merz—dengan nada tegas dan wajah yang dibuat tegang—berjanji akan menjadikan Jerman sebagai kekuatan militer konvensional terkuat di Eropa. Target belanja pertahanan ditetapkan 3,5 persen dari PDB pada 2029. Jumlah yang mencolok, apalagi bagi bangsa yang selama ini dikenal lebih suka bicara soal stabilitas fiskal dan ekspor mobil listrik ketimbang soal peluru dan rudal.
Tapi ambisi tak selalu seiring dengan realitas. Realitasnya: pemuda Jerman tidak tertarik jadi tentara. Mereka lebih tertarik jadi programmer, ahli data, aktivis lingkungan, atau influencer kebugaran. Dalam banyak hal, Jerman adalah representasi dari kemajuan sosial—dan sekaligus keterasingan dari ide perang konvensional. Bahkan dalam sejumlah survei, banyak warga menganggap militer sebagai profesi “tidak relevan” dalam hidup mereka.
Dan ini bukan cuma soal idealisme generasi muda. Ini soal kultur kerja dan hidup. Bundeswehr—dengan semua barak dan ransum dinginnya—bersaing langsung dengan perusahaan startup yang menjanjikan remote working, coffee corner, dan cuti berbayar untuk kesehatan mental. Di antara dua pilihan ini, tentu saja, hanya satu yang menawarkan masa depan tanpa risiko ditembak.
Tapi Jerman tak sendiri. Seluruh Eropa sedang kembali ke mimpi lama. Sebuah mimpi yang menganggap kekuatan militer adalah simbol kehormatan negara, bahwa keberadaan tank dan jet tempur akan mengamankan perbatasan dan martabat nasional. Padahal justru impian seperti inilah yang membuat benua ini dulu terbakar dua kali dalam setengah abad. Ironisnya, hari ini, ketika invasi ke Ukraina menjadi dalih utama untuk semua kebijakan agresif, banyak yang lupa bahwa ketegangan tak pernah lahir sepihak. Eropa dan NATO pun tak absen dari permainan ini.
Rusia, dengan segala kebrutalannya di Ukraina, tentu tidak bisa dibela. Tapi membesarkan militer bukanlah satu-satunya atau bahkan bukan cara paling cerdas untuk menjamin perdamaian. Apalagi jika ambisinya datang dari negara yang kesulitan merekrut tentara dan justru mempertimbangkan wajib militer sebagai solusi. Sebuah logika yang aneh: karena rakyat tak mau perang, maka negara harus memaksa mereka bersiap untuk itu.
Dari kejauhan, dari negeri seperti Indonesia yang selama bertahun-tahun juga berjuang menjaga keseimbangan antara pertahanan dan kesejahteraan, kita bisa melihat ironi ini dengan lebih jernih. Kita tahu bahwa kekuatan sejati suatu negara bukan hanya jumlah tentaranya, tapi kemampuannya mencegah perang. Dan dalam hal itu, Eropa—termasuk Jerman—tampaknya mulai melupakan pelajaran terpenting dari sejarahnya sendiri.
Seandainya Bundeswehr berhasil mencapai target 260 ribu tentara pada 2035—dan itu jika berhasil—apa yang akan mereka hadapi? Perang besar? Atau hanya parade militer, sebagai tontonan simbolis untuk pemilih yang gelisah? Dunia berubah, tapi kadang pemimpinnya justru terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.
Di penghujung narasi ini, kita bisa bayangkan sebuah barisan tentara di Berlin, berbaris rapi di bawah langit mendung, dengan bendera hitam-merah-emas berkibar pelan. Kamera menyorot wajah-wajah muda—sebagian tampak bingung, sebagian mungkin sedang berpikir soal cicilan rumah. Di layar kaca, itu mungkin terlihat megah. Tapi di balik layar, kita tahu: impian 260 ribu tentara itu bukan hanya tentang keamanan. Itu tentang ketakutan yang dimasak rapi, tentang keinginan menjadi kuat tanpa tahu kepada siapa kekuatan itu akan diarahkan. Dan tentang sebuah bangsa yang kini menatap masa depan dengan kaca mata masa lalu.