Opini
Jebakan Tikus: Kejahatan Terencana Israel di Gaza

Kelaparan yang melanda Gaza hari ini bukanlah bencana alam, melainkan senjata yang sengaja digunakan secara sistematis. Blokade Israel selama lebih dari dua bulan telah mencekik lebih dari dua juta penduduk Gaza. Menurut PBB, wilayah ini kini berada di ambang kelaparan massal. Setiap malam, ribuan warga berjalan kaki puluhan kilometer ke titik distribusi bantuan dari Gaza Humanitarian Foundation (GHF), berharap bisa membawa pulang setetes minyak atau sekaleng makanan. Namun, yang mereka temui bukan sekadar antrean panjang atau gudang kosong, melainkan peluru, gas air mata, dan drone mematikan.
Kekerasan ini terjadi berulang kali. Tembakan dilepaskan tepat di sekitar zona distribusi bantuan. Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, dua hari paling mematikan—Minggu dan Selasa—menyebabkan masing-masing 35 dan 27 orang gugur syahid, sementara ratusan lainnya mengalami luka-luka. Palang Merah di Rafah bahkan harus merawat hingga 180 pasien per hari, sebagian besar akibat luka tembak. Seorang saksi mata menggambarkan situasinya: “Tidak ada gerbang. Tembakan itu sendiri gerbangnya.”
Kekejaman ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Israel berdalih hanya menembak peringatan atau menyasar mereka yang dianggap menyimpang dari jalur. Namun, kesaksian warga dan bukti di lapangan menolak klaim tersebut. Drone quadcopter, penembak jitu, gas air mata, hingga granat suara—semuanya digunakan bukan untuk mengamankan distribusi, tetapi sebagai alat teror. Banyak warga, termasuk anak-anak, tertembak bahkan sebelum mencapai titik distribusi. Mereka tidak membawa senjata, hanya lapar dan harapan.
Kecurigaan bahwa bantuan digunakan sebagai umpan bukanlah asumsi kosong. Ungkapan “perangkap tikus” dari salah satu penyintas mengisyaratkan adanya skenario mengerikan: Israel membiarkan bantuan masuk, lalu menembaki warga yang datang untuk mengambilnya. Gaza Humanitarian Foundation—lembaga yang didukung AS—membantah terjadinya kekerasan di dalam zona distribusi mereka. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa penembakan dan intimidasi kerap terjadi di area yang berada di bawah kontrol penuh militer Israel, hanya beberapa meter dari titik distribusi. Ini mengindikasikan adanya desain sistematis yang membuka ruang lebar untuk pelanggaran.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pun menolak bekerja sama dengan GHF, mempertanyakan netralitas mereka. Penutupan pusat bantuan pada Jumat, setelah menewaskan 110 orang, membuktikan bahwa metode distribusi ini bukan solusi kemanusiaan, melainkan bagian dari sistem penindasan. Bantuan yang masuk sering kali tidak memadai dan justru memicu kekacauan. Ketika massa berkumpul, tembakan menyusul.
Data dari Al Mayadeen dalam 48 jam terakhir melaporkan 95 warga gugur syahid dan 304 lainnya terluka, tiba di rumah sakit Gaza. Sejak Oktober 2023, jumlah korban mencapai 54.772 jiwa dan 125.834 luka-luka. Setelah Israel melanjutkan agresinya pada Maret 2025, lebih dari 4.497 warga terbunuh dan 13.793 lainnya cedera. Serangan udara terus berlanjut—di Sabra, satu keluarga utuh menjadi korban. Di al-Tuffah, Rafah, Bani Suhaila, hingga Khan Yunis, kekerasan tiada henti. Banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan dan belum bisa dievakuasi karena situasi yang tidak aman.
Angka-angka ini bukan hanya statistik. Di balik setiap korban terdapat kehidupan, keluarga, dan komunitas yang hancur. Penggunaan kelaparan sebagai alat perang, ditambah tembakan ke arah warga sipil, jelas melanggar hukum humaniter internasional. Konvensi Jenewa dengan tegas melindungi warga sipil dalam konflik bersenjata, terlebih mereka yang sedang mencari bantuan kemanusiaan.
Kondisi ini semestinya menggugah nurani masyarakat internasional. Kejahatan seperti ini tak layak dijawab dengan laporan investigasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Fakta-faktanya sudah tersedia. Bukti-bukti berupa video, kesaksian korban, laporan medis, hingga data dari lembaga kemanusiaan memperlihatkan bahwa ini bukan sekadar kekacauan, tetapi pola kekejaman sistematis yang sengaja didesain untuk menciptakan teror dan penderitaan maksimal.
Tragedi “Flour Massacre” pada Februari 2024 semestinya menjadi pengingat. Saat itu, lebih dari 100 warga Gaza tewas dalam antrean bantuan tepung. Pasukan Israel berdalih sedang mengendalikan kerumunan. Polanya serupa: bantuan diumumkan, warga berkumpul, lalu tembakan dilepaskan. Tak ada peringatan yang wajar. Tak ada ruang aman bagi mereka yang hanya menginginkan makanan.
Ungkapan “perangkap tikus” membongkar cara pandang yang tak melihat warga Gaza sebagai manusia, melainkan target. Jika bantuan dijadikan umpan, maka peluru adalah bentuk hukuman bagi mereka yang berani berharap. Dunia harus sadar bahwa ini bukan sekadar pelanggaran, tetapi sebuah kejahatan yang terstruktur. Bukan hanya Israel yang harus dimintai pertanggungjawaban, melainkan juga negara-negara yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung praktik keji ini.
Indonesia, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tak boleh tinggal diam. Gelombang demonstrasi, solidaritas masyarakat, dan penggalangan dana untuk Palestina sudah menunjukkan bahwa nurani rakyat Indonesia masih hidup. Namun, lebih dari itu, seruan moral harus diiringi dengan langkah konkret. Pemerintah Indonesia harus berperan aktif: menyuarakan tekanan diplomatik di PBB dan OKI, memimpin boikot terhadap produk serta lembaga pendukung agresi, dan terus mendorong pengakuan terhadap hak-hak dasar warga Palestina.
Kita tidak sedang menyaksikan konflik politik biasa, tetapi sebuah tragedi kemanusiaan yang terus menerus terjadi. Bila dunia membiarkan “perangkap tikus” ini berulang, maka kita semua turut bersalah dalam pembiaran. Kita mengkhianati nilai-nilai yang kita junjung: keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan.
Kini saatnya bersuara lebih lantang. Tindakan Israel yang menjadikan bantuan sebagai alat jebakan harus dihentikan. Dunia tak boleh membiarkan strategi keji ini menjadi norma baru dalam konflik bersenjata. Palestina membutuhkan lebih dari sekadar simpati; mereka butuh dukungan nyata. Setiap nyawa yang hilang karena kelaparan atau peluru adalah dakwaan moral terhadap dunia yang memilih diam.
Dan diam bukanlah pilihan. Sebagai bangsa yang pernah merasakan pahitnya penjajahan dan kelaparan, kita tahu bahwa kemerdekaan dan kemanusiaan bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Jika kita benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka kita harus menolak segala bentuk kejahatan yang mencabut nyawa warga sipil atas nama keamanan. Gaza bukan sekadar wilayah yang terkepung. Ia adalah cermin nurani dunia. Dan selama nurani itu masih hidup, kita harus bertindak—sekarang juga.
Sumber:
https://english.almayadeen.net/news/politics/gaza-s-food-queues-are–a-mousetrap—ft