Connect with us

Opini

Istanbul: Langkah Menuju Normalisasi Suriah – Israel

Published

on

Pada akhir Mei 2025, di tengah gemerlap Istanbul, sebuah pertemuan bersejarah terjadi. Thomas Barrack, utusan khusus Presiden AS Donald Trump untuk Suriah, duduk bersama Ahmad al-Sharaa, presiden sementara Suriah, di sela-sela KTT Turki-Suriah. Ini bukan sekadar jabat tangan diplomatik; ini adalah detik-detik langka, ketika Washington dan Damaskus, yang selama bertahun-tahun terpisah oleh tembok sanksi dan konflik, mulai berbicara. Ada harap, tapi juga kegelisahan—akankah langkah ini membawa damai, atau justru menabur benih ketidakpastian baru? Suriah, negeri yang terkoyak perang, kini berdiri di persimpangan, dan dunia, termasuk Indonesia, menyaksikan dengan napas tertahan.

Barrack, yang juga duta besar AS untuk Turki, memuji al-Sharaa atas langkahnya menangani isu pejuang asing dan hubungan dengan Israel, seperti dilaporkan Al Mayadeen. Ini bukan pujian sembarangan. Di balik kata-katanya, terselip harapan AS bahwa Suriah baru—pasca runtuhnya Bashar al-Assad—bisa jadi mitra yang menjauh dari bayang-bayang terorisme dan konflik regional. Tapi, realitas di lapangan jauh lebih pelik. Suriah bukan papan catur yang rapi. Wilayahnya masih terpecah, dengan kelompok-kelompok bersenjata, sisa-sisa milisi pro-Iran, dan komunitas Kurdi yang berjuang mempertahankan otonomi. Al-Sharaa, mantan pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dengan masa lalu terkait al-Qaeda, kini mengenakan setelan jas dan berbicara soal stabilitas. Ini pragmatisme yang mencolok, tapi juga mengundang tanya: benarkah ia telah berubah, atau ini hanya topeng demi kekuasaan?

Di hari yang sama, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjamu al-Sharaa di Istana Dolmabahce, menandai perhatian dunia yang kian tajam pada transisi Suriah. Turki dan Arab Saudi, dua kekuatan regional, tampak berlomba memastikan Suriah baru condong ke arah mereka, bukan Iran. Bagi Indonesia, yang memiliki sejarah panjang sebagai penutur damai di konflik global—pikirkan peran kita di Konferensi Asia-Afrika 1955—perkembangan ini mengingatkan betapa rapuhnya perdamaian di kawasan yang penuh intrik. Kita, yang juga mengenal dinamika konflik internal lewat pengalaman Aceh, bisa merasakan betapa sulitnya menyatukan fraksi-fraksi yang bertikai di Suriah.

Pencabutan sanksi AS terhadap Suriah, diumumkan pada Jumat sebelum pertemuan itu, menjadi sorotan utama. Trump, dalam tur regionalnya, menyebut sanksi itu “brutal dan melumpuhkan,” dan kini, setelah Assad jatuh, AS membuka pintu untuk investasi dan rekonstruksi. Menteri Keuangan AS Scott Bessent berujar, “Suriah harus menjadi negara stabil yang damai, dan langkah hari ini diharapkan membawa masa depan cerah.” Tapi, ada syarat ketat: Suriah harus mencegah wilayahnya jadi sarang teroris dan melindungi minoritas etnis serta agama. Ini bukan permintaan ringan. Suriah adalah mozaik budaya—Alawit, Kurdi, Druze, Sunni—dan laporan tentang kekerasan terhadap Alawit pasca-Assad menunjukkan betapa sulitnya menjaga harmoni.

Di Indonesia, kita paham betul tantangan keberagaman. Konflik sektarian di Poso atau Ambon dulu mengajarkan bahwa perdamaian butuh lebih dari sekadar perjanjian politik; butuh kepercayaan antarkelompok. Suriah, dengan 90% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan ekonomi yang menyusut separuh dari masa sebelum perang, menghadapi tugas raksasa. Pencabutan sanksi mungkin membuka aliran dana dari negara-negara Teluk, tapi tanpa pemerintahan yang inklusif, uang itu bisa jadi sia-sia—orang-orang Suriah tetap kelaparan di tengah reruntuhan.

Pragmatisme al-Sharaa jadi kunci sekaligus tanda tanya. Ia tahu dukungan AS adalah tiket emas untuk legitimasi internasional. Dengan restu Washington, Arab Saudi dan Turki akan semakin percaya diri mengucurkan investasi. Bahkan, isu normalisasi dengan Israel, yang diungkap Barrack, jadi sinyal bahwa al-Sharaa bersedia main di panggung besar. Tapi, di lapangan, ia harus berhati-hati. Kelompok-kelompok bersenjata kecil, yang tidak sepenuhnya tunduk padanya, masih bisa mengacaukannya. Laporan menunjukkan milisi pro-Iran sudah melemah, dan kelompok pejuang Palestina telah digulung HTS. Tapi, sisa-sisa faksi radikal atau lokal di Daraa atau dekat Lebanon bisa saja jadi duri, terutama jika mereka anti-AS atau anti-Israel.

Israel, di sisi lain, tak bisa disalahkan karena tetap curiga. Meski al-Sharaa bicara soal Abraham Accords, Israel terus melancarkan serangan udara, menghancurkan hingga 80% kemampuan angkatan udara Suriah, demi memastikan senjata-senjata itu tak jatuh ke tangan musuh. Netanyahu, menurut laporan, bahkan menentang pencabutan sanksi AS, khawatir Suriah yang kuat di bawah al-Sharaa justru jadi ancaman baru. Ini mengingatkan kita pada ketegangan di kawasan lain, seperti Laut China Selatan, yang pernah jadi isu bagi Indonesia. Ketidakpastian soal niat tetangga selalu bikin was-was, bukan?

Bagi Indonesia, yang kerap jadi jembatan diplomasi—misalnya saat menengahi isu Palestina atau konflik Myanmar—dinamika Suriah ini menawarkan pelajaran. Kita tahu betapa sulitnya mendamaikan pihak-pihak yang punya sejarah panjang permusuhan. Al-Sharaa harus meyakinkan Israel bahwa Suriah tak lagi jadi ancaman, mungkin lewat kerja sama intelijen atau pengawasan senjata. Tapi, ia juga harus menjaga wajahnya di depan rakyat Suriah, yang banyak memandang Israel dengan curiga. Ini seperti berjalan di tali tipis, dan kita di Indonesia pernah melihat betapa rapuhnya keseimbangan seperti ini, seperti saat negosiasi damai di Maluku.

Pertemuan di Istanbul itu, meski singkat, seperti percikan harapan. Ini langkah menuju normalisasi yang rapuh tapi penuh potensi. Al-Sharaa, dengan setelannya yang rapi, tahu ia tak bisa gegabah. Ia harus menjinakkan faksi-faksi bersenjata, meyakinkan AS bahwa ia bukan lagi bayang-bayang al-Qaeda, dan memberi isyarat ke Israel bahwa Suriah baru bukan musuh. Tapi, benarkah ia bisa? Atau, akankah pragmatismenya justru memicu perpecahan baru di antara rakyatnya sendiri? Data menunjukkan Suriah masih terpecah: Kurdi di timur laut, Druze di selatan, dan sisa-sisa pendukung Assad yang ketakutan. Tanpa dialog nasional, seperti yang pernah kita coba di Aceh, perdamaian hanya jadi mimpi.

Laporan Al Mayadeen menyebut ada optimisme dari beberapa analis Barat dan pemerintah Arab, tapi juga kekhawatiran soal kecepatan reintegrasi Suriah. Ini wajar. Pencabutan sanksi bisa membawa investasi, tapi tanpa pemerintahan yang kuat dan inklusif, Suriah bisa jatuh ke lubang yang sama: konflik, kemiskinan, ketidakadilan. Di Indonesia, kita tahu betul bagaimana rekonstruksi pasca-konflik, seperti di Aceh setelah tsunami, butuh komitmen panjang. Suriah pun demikian. Uang dari Teluk mungkin mengalir, tapi kalau rakyat biasa tak merasakan manfaatnya, apa artinya?

Saat menyaksikan Suriah dari jauh, kita di Indonesia mungkin bertanya: apa pelajaran dari semua ini? Stabilitas bukan cuma soal politik atau uang, tapi kepercayaan. Al-Sharaa harus membangunnya, tak hanya dengan AS atau Israel, tapi dengan rakyatnya sendiri. Akankah ia sanggup? Atau, akankah Suriah kembali terkoyak, seperti yang kita khawatirkan saat melihat konflik di tempat lain? Istanbul mungkin jadi awal, tapi jalan ke depan masih panjang dan penuh liku.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *