Opini
Israel Tak Lagi Jadi Musuh Utama di Media Suriah?

Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Jewish People Policy Institute (JPPI) yang berbasis di al-Quds, disampaikan bahwa sejak jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, konten terkait “Israel” di media resmi Suriah mengalami penurunan yang sangat signifikan. Angka yang mereka sebut tak main-main: dari 43 persen pemberitaan SANA yang menyentuh isu Israel di era Assad, kini hanya tersisa 7 persen saja di bawah pemerintahan baru Ahmad al-Sharaa. Angka yang tak sekadar statistik, tapi pertanda goyahnya poros perlawanan.
Apa maknanya jika sebuah bangsa yang selama ini menempatkan isu Palestina sebagai bagian tak terpisahkan dari napas kebangsaannya, tiba-tiba seperti kehilangan suara? Hilangnya fokus pada penjajahan Israel bukan semata perubahan redaksi atau kebijakan media. Ia adalah isyarat keras bahwa orientasi politik tengah bergeser. Dan dalam konteks Timur Tengah yang senantiasa diwarnai upaya dominasi oleh kekuatan global, penghilangan suara seringkali adalah awal dari penghilangan sikap.
Laporan JPPI itu juga menyebut bagaimana retorika anti-Israel yang dahulu begitu lekat di media Suriah kini berubah nada. Di harian Al-Thawra, dari sekitar 25 persen opini yang membahas Israel secara keras di masa Assad, kini hanya 5 persen yang masih menyentuh isu itu—dan sebagian bahkan netral. Netral, dalam konteks penjajahan dan penindasan, bukanlah posisi tengah. Netral berarti menutup mata. Dan dalam isu Palestina, diam bukanlah pilihan yang bermoral.
Al-Hurriya—yang dulu bernama Tishreen—mengalami gejala serupa. Nada masih keras, tapi volumenya meredup. Bahkan dalam narasi yang masih negatif, ada yang tergelincir menjadi “somewhat negative“, seolah menjelaskan bahwa ketertindasan yang berlangsung selama lebih dari tujuh dekade itu kini bisa dibahas dengan nada lunak. Seolah-olah darah yang tertumpah di Gaza, suara tangis di Jenin, dan reruntuhan di Khan Yunis bisa dinegosiasikan dalam ruang diplomasi dan wacana netral.
Baca juga: Suriah: Rakyat Tersingkir, Teroris Berkuasa
Ada yang berubah secara fundamental. Bukan sekadar siapa yang duduk di kursi kekuasaan Damaskus. Tapi arah pandang dan pijakan ideologis. Dalam laporan tersebut, disebut pula bahwa Presiden al-Sharaa telah bertemu dengan Donald Trump di Riyadh, dan bahwa Amerika Serikat telah mencabut sebagian sanksi atas Suriah. Titik-titik itu bukan kebetulan. Ia menyusun jejak yang mengarah pada rekonsiliasi diam-diam antara poros Suriah baru dan kekuatan hegemonik dunia. Jika benar, maka ini bukan hanya penyimpangan, melainkan pengkhianatan terhadap ruh panjang perlawanan.
Dalam sejarah panjangnya, Suriah adalah bagian penting dari poros muqawamah—barisan negeri dan kelompok yang menolak tunduk pada kehendak Israel dan imperialisme global. Dari Dataran Tinggi Golan yang terus diduduki, hingga dukungan konkret kepada kelompok-kelompok perlawanan di Lebanon dan Palestina, Suriah selama ini memainkan peran yang—meski tak sempurna—konsisten melawan dominasi. Lalu kini, setelah rezim berubah, tiba-tiba media negara menjadi sunyi. Ada yang mencabut sumbu.
Kita tahu bahwa propaganda adalah senjata. Siapa yang menguasai narasi, menguasai realitas. Ketika sebuah pemerintahan memutuskan untuk berhenti menyebut penjajah sebagai penjajah, maka secara bertahap, generasi yang tumbuh di bawahnya pun akan menganggap bahwa pendudukan adalah keniscayaan. Bahwa perlawanan adalah ekstremisme. Bahwa perdamaian berarti kompromi, bukan keadilan. Dan itu adalah kekalahan paling senyap.
Dalam refleksi ini, kita juga perlu bercermin. Di Indonesia, isu Palestina kerap mencuat saat ledakan bom atau ketika rumah-rumah di Gaza dihantam rudal. Tapi setelah itu, narasi kembali ke titik hening.
Seolah-olah perjuangan membebaskan Palestina hanya layak dibicarakan saat bulan Ramadhan atau musim demonstrasi. Padahal, bangsa ini punya sejarah solidaritas panjang terhadap penindasan. Bung Karno bahkan menyebut bahwa selama Israel belum meninggalkan bumi Palestina, maka bangsa Indonesia tidak akan mengakui mereka. Tapi kini, seberapa sering pesan itu terdengar di ruang-ruang kelas atau media nasional?
Apa yang terjadi di Suriah harus menjadi peringatan bagi seluruh poros perlawanan, termasuk rakyat di negeri ini yang masih peduli pada keadilan global. Ketika kekuasaan berganti dan retorika perlahan melunak, penjajah tidak berubah. Ia tetap menduduki, tetap membunuh, tetap menggusur, tetap memenjarakan anak-anak Palestina. Yang berubah hanyalah suara kita yang perlahan menghilang dari frekuensi.
Baca juga: Suriah di Bawah Al-Sharaa: Harapan atau Perang Baru?
Jika laporan JPPI itu benar, dan tidak ada bantahan kuat dari Damaskus, maka kita menghadapi ancaman yang lebih dalam dari sekadar pelonggaran embargo. Kita menghadapi rekayasa sistemik untuk membungkam narasi muqawamah dari akar-akarnya. Jika Suriah, yang dahulu menjadi sandaran penting perjuangan Palestina, kini memilih diam, maka tanggung jawab itu berpindah. Kepada siapa? Kepada siapa pun yang masih percaya bahwa keadilan bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan kursi kekuasaan atau penghapusan sanksi.
Pertanyaannya kini bukan sekadar: mengapa Suriah berubah? Tapi lebih penting: apakah kita, yang mengaku bagian dari umat yang satu tubuh, masih sanggup bersuara saat saudara kita dilenyapkan dalam sunyi? Apakah kita cukup kuat untuk mempertahankan semangat perlawanan ketika dunia memaksa kita untuk melupakan?
Dalam dunia yang terus menyempitkan ruang suara-suara kebenaran, poros muqawamah harus tetap hadir. Bukan hanya dalam senjata dan strategi militer, tapi dalam narasi, dalam bahasa, dalam sikap. Karena penjajahan tidak akan pernah lunak, bahkan ketika ia dibungkus perjanjian dan diplomasi. Maka kita tak boleh lunak pula. Setiap langkah kompromi tanpa keadilan hanya akan memperpanjang penderitaan. Dan dalam sejarah umat manusia, diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk paling halus dari keterlibatan.
Suriah mungkin tengah menyusun babak baru. Tapi bagi kita yang masih percaya bahwa bumi Palestina adalah milik rakyatnya, bahwa penjajah harus diusir, dan bahwa kehormatan bangsa diukur dari siapa yang ia bela, maka tak ada alasan untuk diam. Bahkan ketika media resmi mulai bungkam, suara perlawanan harus tetap menggema—dari kamp-kamp pengungsi, dari mimbar-mimbar masjid, dari jalan-jalan Jakarta, dan dari hati yang menolak tunduk pada penindasan.