Connect with us

Opini

Israel ‘Rugi Bandar’: Teknologi Mahal, Hasil Nol!

Published

on

Hundreds of millions of dollars per day.”

Ratusan juta dolar setiap harinya. Angka itu, menurut The Wall Street Journal (19 Juni 2025), adalah harga yang harus dibayar Israel untuk menghadapi Iran dalam konflik yang terus membara. Dalam sepekan, pengeluaran Israel membengkak hingga $3,2 miliar atau sekitar Rp52,2 triliun. Sebuah angka yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan hasil yang diraih: kilang minyak di Haifa terbakar, gedung-gedung pencakar langit di Tel Aviv rusak berat, dan lebih dari 5.000 warganya harus dievakuasi.

Sebaliknya, Iran hanya menghabiskan sekitar $100 juta (Rp1,6 triliun), sebagian besar untuk rudal-rudal berbiaya rendah dan drone bersenjata murah. Ini bukan lagi perang konvensional semata, tetapi perang asimetris yang juga merupakan duel ekonomi. Di tengah pertarungan ini, Israel, meski unggul dalam teknologi, justru terjebak dalam posisi yang orang Indonesia sebut sebagai “rugi bandar.” Sebuah situasi ironis: menang dalam pertempuran, namun kalah dalam perhitungan.

Konflik yang berlangsung sejak 13 hingga 20 Juni 2025 ini meletus usai serangan awal Israel ke wilayah Iran, yang dibalas dengan 17 gelombang rudal balistik dan drone dari Teheran (Haaretz, 18 Juni 2025). Setiap rudal yang diluncurkan Iran—misalnya Fateh-110, yang hanya berharga $50.000 (Rp815 juta)—memaksa Israel menyalakan sistem pertahanan tercanggihnya seperti Arrow 3, dengan biaya $4 juta (Rp65,2 miliar) per intersepsi (WSJ via Al Mayadeen).

Satu rudal murah Iran dapat menguras puluhan miliar rupiah dari anggaran Israel hanya untuk menangkisnya. Selama 17 gelombang serangan, lebih dari 400 rudal dan ratusan drone dilepaskan Iran. Total biaya serangan Teheran diperkirakan mencapai $24 juta (Rp391 miliar), sedangkan biaya pencegahan dari pihak Israel melonjak ke angka $799 juta (Rp13 triliun). Itu baru urusan pertahanan.

Biaya membengkak jauh ketika menghitung operasional jet tempur F-35 yang terbang selama 10 jam sehari, masing-masing menghabiskan $10.000 (Rp163 juta) per jam untuk menyerang target Iran yang berjarak lebih dari 1.600 km. Dalam seminggu, total dana yang dikeluarkan Israel mencapai antara $2,4 hingga $3,2 miliar (Rp39,1–Rp52,2 triliun). Di sisi lain, Iran tetap irit, cerdik, dan efektif. Asimetri ini bukan hanya menyakitkan—ini menjelaskan betapa strategi biaya rendah bisa mengimbangi keunggulan teknologi lawan.

Namun, kerugian Israel bukan semata angka dolar. Kilang minyak terbesar di Haifa dihantam rudal presisi dan lumpuh total. Tiga nyawa melayang (WSJ via Al Mayadeen). Di Tel Aviv, ikon modernitas berupa gedung-gedung pencakar langit kini menjadi simbol kehancuran. Menurut laporan media lokal, hanya untuk memperbaiki satu gedung dibutuhkan anggaran hingga $10 juta (Rp163 miliar). Ribuan warga dievakuasi dan ditampung di hotel dengan biaya negara.

Bandara utama Israel ditutup, aktivitas ekonomi melambat, dan hanya layanan esensial yang tetap berjalan. Situasi ini menciptakan ketegangan di pasar. Standard & Poor’s bahkan mulai memberi peringatan serius tentang stabilitas kredit Israel (WSJ). Sinyal jelas bahwa investor global mulai meragukan ketahanan ekonomi Tel Aviv. Jika membayangkan kota Jakarta tanpa bandara, pasar, atau pusat perbelanjaan yang ramai—hanya ada sirene dan ketakutan—itulah kurang lebih gambaran kondisi Israel saat ini.

Sementara itu, Iran bermain dengan strategi cermat. Murah, namun mematikan. Rudal seharga $20.000–$100.000 (Rp326 juta–Rp1,6 miliar) dan drone Shahed-136 yang hanya sekitar $20.000 per unit (Reuters, 18 Juni 2025) menjadi ujung tombak. Mereka memaksa Israel menguras keuangan hanya untuk mempertahankan diri. Strategi perang asimetris inilah, menurut Bloomberg (17 Juni 2025), kekuatan utama Iran: minim biaya, dampak maksimal.

Memang, Iran juga terkena dampak. Beberapa depo gas dan kilang minyak diserang Israel (Al Jazeera, 20 Juni 2025). Namun, hingga kini belum ada laporan yang menunjukkan skala kerusakan sebanding dengan kehancuran di Israel. Bisa jadi karena keterbatasan informasi, atau memang karena serangan Israel tak seefektif balasan Iran. Apa pun itu, satu hal tampak nyata: Iran mampu membuat lawannya berdarah tanpa banyak menguras sumber daya sendiri.

Konflik ini pun mengirim dampak jauh hingga ke luar kawasan, termasuk ke Indonesia. Harga minyak mentah dunia melonjak ke kisaran $72–$75 per barel akibat ketegangan di Selat Hormuz—jalur yang dilalui sekitar 20% perdagangan minyak global (Reuters, 18 Juni 2025). Lonjakan ini bisa membebani subsidi energi dalam APBN kita, menaikkan harga BBM, dan pada akhirnya mengerek harga-harga kebutuhan pokok.

Kita pernah melewati masa krisis minyak. Antrean panjang di SPBU, keluhan warga di pasar, hingga tekanan terhadap anggaran pemerintah. Perang di ribuan kilometer jauhnya, ternyata tetap menyentuh dapur masyarakat Indonesia. Bagi rakyat biasa, konflik ini bukan sekadar berita luar negeri, tapi nyata terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Kembali ke Israel, situasi mereka ibarat pertandingan yang tidak seimbang. Mereka punya sistem pertahanan kelas dunia, F-35, satelit pengintai, hingga arsenal nuklir. Namun, setiap rudal murah Iran memaksa mereka membayar mahal. Zvi Eckstein dari Reichman University memperkirakan bahwa jika perang berlangsung selama sebulan, Israel bisa menghabiskan hingga $12 miliar (Rp195,6 triliun) (WSJ). Seminggu saja sudah terasa berat, apalagi sebulan.

Sebaliknya, Iran, meskipun ekonominya tertekan oleh sanksi, memiliki keunggulan dalam cara berpikir dan bertindak. Senjata murah, strategi panjang, serta kehati-hatian dalam menyerang—semua membuat mereka tetap tangguh. Dalam istilah yang familiar bagi kita, ini seperti petarung jalanan yang tahu kapan harus memukul dan kapan harus mundur. Sementara sang lawan, petinju profesional, terus menerus mengayunkan pukulan besar yang mahal dan melelahkan.

Apakah ini kemenangan bagi Israel? Mungkin di atas kertas. Mereka mungkin berhasil mencegat sebagian besar rudal dan menghantam beberapa fasilitas di Iran. Namun, kemenangan semacam ini terasa hampa. “Pyrrhic victory”, kata orang Barat. Kemenangan dengan harga yang justru merugikan si pemenang. Dengan $3 miliar ludes hanya dalam tujuh hari, infrastruktur vital rusak, ekonomi terguncang, dan moral publik yang kian menurun, Israel tampaknya membayar terlalu mahal untuk sebuah konflik yang belum tentu dimenangkannya secara strategis.

Lebih dari sekadar “rugi bandar,” ini adalah cerminan dari perang yang gagal dikelola secara bijak. Iran, meski terkena serangan, tampak lebih kokoh dan efisien dalam bertahan. Mereka tidak perlu menembakkan ratusan rudal tiap hari, cukup menciptakan tekanan ekonomi yang konstan bagi lawan.

Dan pada akhirnya, perang ini tetap menyisakan penderitaan. Di Israel, keluarga kehilangan rumah, anak-anak hidup dalam kecemasan, dan perekonomian mandek. Di Iran, meskipun tak banyak data tersedia, pasti ada korban sipil yang terdampak. Sementara kita di Indonesia, ikut menanggung akibat berupa kenaikan harga dan ketidakpastian ekonomi. Dalam konflik seperti ini, siapa yang benar-benar menang? Mungkin tak ada. Yang ada hanyalah pihak yang lebih sedikit merugi.

Refleksi dari istilah “rugi bandar” harusnya membawa kita pada pemahaman lebih luas. Bahwa dalam dunia modern, kekuatan bukan hanya ditentukan oleh kekayaan atau teknologi canggih, tetapi oleh kecakapan membaca situasi, pengelolaan sumber daya, dan kemampuan bertahan. Israel mungkin punya bom pintar, tapi Iran menunjukkan bahwa kecerdasan strategi bisa lebih efektif daripada kecanggihan senjata.

WSJ menyebut bahwa durasi menjadi kunci. Semakin lama konflik ini berlangsung, semakin berat beban Israel. Sebulan perang berarti $12 miliar terkuras. Dua bulan? Bisa-bisa ekonomi Tel Aviv goyah, bahkan runtuh dari dalam. Sementara Iran masih bisa memainkan kartu-kartu murahnya dengan tenang.

Kita di Indonesia, meski bukan pemain dalam konflik ini, bukan berarti hanya penonton pasif. Justru dari perang ini kita bisa belajar: bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal menjatuhkan lawan, tapi soal bertahan dengan bijak dan efisien. Sebab, dalam hidup—seperti dalam perang—menang dengan isi kantong kosong bukanlah kemenangan, tapi sebuah kekalahan yang tertunda.

 

Sumber Referensi:

  • The Wall Street Journal via Al Mayadeen, “Israel Burning $200M Daily in Costly Iran Response,” 19 Juni 2025.
  • Haaretz, “How Much Does It Cost Israel to Intercept Iran’s Missile Barrages?,” 18 Juni 2025.
  • Defense News, “Iran’s Missile and Drone Capabilities: A Cost-Effective Arsenal,” 15 Juni 2025.
  • Reuters, “Oil Prices Surge Amid Fears of Strait of Hormuz Disruption,” 18 Juni 2025.
  • Al Jazeera, “Iran’s Missile Strikes and Israel’s Response: A Dangerous Escalation,” 20 Juni 2025.
  • Bloomberg, “Iran’s Economy Under Strain from Sanctions and Conflict,” 17 Juni 2025.
  • The Guardian, “Iran Warns US Bases in Region Are Within Reach,” 19 Juni 2025.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *