Connect with us

Opini

Israel, Nuklir, dan Opsi Samson: Saat Kiamat Jadi Strategi Politik

Published

on

“Jika kami jatuh, semua akan jatuh bersama kami.” Kalimat ini, yang dikaitkan dengan doktrin nuklir Israel yang dikenal sebagai Samson Option, bukan sekadar retorika dramatis. Ia adalah janji destruktif yang mengguncang nurani dunia. Bukan dongeng dystopia, tapi cermin dari sebuah realitas geopolitik yang dingin—bahwa ada sebuah negara kecil di Timur Tengah yang diyakini menyimpan kekuatan untuk tidak hanya menghancurkan musuhnya, tetapi juga membawa dunia dalam kehancuran bersama.

Konsep ini muncul kembali ke permukaan dalam berbagai laporan dan diskusi, salah satunya dikutip oleh akun @JimFergusonUK di platform X (sebelumnya Twitter) pada 19 Juni 2025. Kutipan itu menyebutkan bahwa jika Israel menghadapi kehancuran total, maka mereka akan melepaskan seluruh arsenal nuklirnya—tidak hanya ke negara-negara yang dianggap musuh, tetapi juga ke wilayah di luar itu. Ini bukan sekadar teori liar atau spekulasi media sosial. Dalam dunia analisis militer dan intelijen, Opsi Samson telah lama menjadi bagian dari diskursus strategis tentang Timur Tengah, bahkan jika tidak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah Israel.

Istilah Samson Option sendiri diambil dari tokoh dalam Kitab Hakim-Hakim: Samson, yang menghancurkan kuil musuh dan membunuh dirinya bersama mereka. Ini adalah simbol ekstrem dari strategi balas dendam, bahkan jika itu berarti kehancuran total. Dalam konteks geopolitik, ia merujuk pada kebijakan massive retaliation Israel jika negara itu berada di ambang kehancuran eksistensial.

Pengenalan konsep ini ke publik secara luas terjadi melalui buku investigatif The Samson Option (1991) karya Seymour Hersh, jurnalis investigatif Amerika yang telah menerima penghargaan Pulitzer. Dalam bukunya, Hersh menyatakan bahwa Israel telah menyiapkan skenario pembalasan nuklir terhadap kota-kota seperti Tehran, Damascus, Beirut, dan bahkan kota-kota di Eropa, jika keberadaan negaranya terancam. Klaim Hersh tidak berdiri sendiri; ia mengandalkan wawancara dengan sejumlah mantan pejabat intelijen Israel dan AS, serta dokumen-dokumen deklasifikasi yang mendukung keberadaan kebijakan semacam itu.

Lebih lanjut, dokumen dari BBC tahun 2003 dan dokumen pemerintah AS yang dideklasifikasi pada 2013 mendukung asumsi bahwa Israel memang memiliki program senjata nuklir yang aktif, meskipun tidak memberikan rincian eksplisit mengenai Opsi Samson. Di sinilah letak kekuatan—dan bahayanya. Israel tidak pernah mengakui secara resmi bahwa mereka memiliki senjata nuklir, dan tidak terikat oleh Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), berbeda dengan Iran yang kerap berada di bawah pengawasan ketat Badan Atom Internasional (IAEA) meskipun belum terbukti memiliki senjata nuklir.

Menurut laporan dari Federation of American Scientists, Israel diyakini memiliki antara 80 hingga 400 hulu ledak nuklir, yang bisa diluncurkan menggunakan berbagai platform: rudal balistik Jericho III, jet tempur F-15 dan F-35, serta kapal selam kelas Dolphin buatan Jerman. Ini bukan imajinasi liar. Ini adalah perhitungan strategis yang diyakini oleh banyak analis pertahanan dunia, dan dianggap sebagai bentuk nuclear ambiguity—strategi di mana Israel tidak mengkonfirmasi atau menyangkal keberadaan arsenal nuklirnya, sehingga menciptakan efek deteren yang maksimal.

Namun, justru dalam ketidakpastian inilah letak bahayanya. Karena Opsi Samson tidak pernah dikonfirmasi secara terbuka, ia tidak berada di bawah sistem pengawasan internasional apa pun. Ini berbeda dengan kebijakan senjata nuklir negara lain seperti AS, Rusia, atau bahkan Korea Utara, yang setidaknya terbuka secara strategis dan menjadi perhatian diplomasi internasional. Dengan Opsi Samson, dunia dihadapkan pada ancaman laten yang tidak memiliki saluran mitigasi resmi.

Sebagian kalangan menganggap Opsi Samson sebagai bagian dari strategi pertahanan wajar sebuah negara kecil yang dikepung musuh. Namun, pendekatan ini membawa persoalan moral yang dalam. Jika benar bahwa Israel bersiap membalas kehancurannya dengan kehancuran global, maka strategi ini tidak lagi sekadar defensif. Ini berubah menjadi bentuk teror strategis—di mana deterrence dilakukan bukan hanya dengan ancaman terhadap musuh, tapi juga terhadap seluruh umat manusia.

Bukti historis mendukung keseriusan Israel dalam mempertimbangkan opsi nuklir. Dalam Perang Yom Kippur tahun 1973, beberapa laporan menyebut bahwa Perdana Menteri Golda Meir telah memerintahkan persiapan 13 bom nuklir jika situasi memburuk. Bom itu tidak digunakan, tapi persiapannya mengisyaratkan bahwa Israel siap membawa konflik ke tingkat eksistensial jika diperlukan. Ini bukan sekadar fiksi spekulatif, tetapi bagian dari sejarah yang tercatat.

Lalu, mengapa hal ini penting bagi Indonesia? Bukankah konflik ini terjadi jauh di sana, di belahan dunia yang lain?

Jawabannya sederhana: karena dunia kita terhubung. Jika skenario Opsi Samson benar-benar diaktifkan, dampaknya akan jauh melampaui batas-batas geopolitik Timur Tengah. Lingkungan global bisa terkena efek radiasi nuklir dan nuclear winter—penurunan suhu global karena debu dan asap dari ledakan nuklir yang menutupi atmosfer, seperti yang diulas dalam berbagai studi ilmiah. Ini dapat menyebabkan gagal panen global, kelangkaan pangan, dan bencana kemanusiaan lintas benua.

Dari sisi ekonomi, harga minyak dunia akan melonjak drastis, mengingat sebagian besar sumber energi global terkait dengan kawasan tersebut. Rantai pasok internasional bisa terganggu, terutama di sektor vital seperti energi, pangan, dan teknologi. Indonesia, sebagai negara yang bergantung pada stabilitas perdagangan internasional, akan merasakan dampaknya secara langsung.

Di sisi lain, dampak geopolitik juga tak kalah besar. Gelombang pengungsi dari kawasan konflik akan meningkat. Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bisa menjadi tujuan pengungsian baru. Beban sosial dan politik akan mengikutinya.

Namun ironisnya, isu sebesar ini justru sering luput dari perhatian internasional. Fokus media dan kebijakan luar negeri dunia seringkali tertuju pada Iran, Korea Utara, atau Rusia, sementara ancaman senjata nuklir Israel—yang tersembunyi dalam tabir ambiguitas—dibiarkan menjadi “rahasia umum” tanpa pertanggungjawaban internasional. Seperti disebut dalam salah satu ulasan Quora, Opsi Samson bukan sekadar strategi pertahanan, tapi simbol keputusasaan eksistensial yang bisa memicu kehancuran kolektif.

Ini adalah saat bagi komunitas internasional untuk merefleksikan pendekatan yang lebih adil dan konsisten terhadap isu proliferasi nuklir. Jika dunia mampu memberi tekanan terhadap Iran untuk transparansi nuklir, mengapa standar yang sama tidak diberlakukan pada Israel? Bukankah keadilan internasional seharusnya tidak parsial?

Penting juga bagi masyarakat sipil global, termasuk di Indonesia, untuk ikut mendorong narasi baru yang lebih kritis terhadap isu ini. Lembaga-lembaga masyarakat, media, dan akademisi harus berani mengangkat diskursus ini secara terbuka. Kita tidak bisa hanya menjadi penonton dari permainan kehancuran yang dirancang di balik meja-meja strategi nuklir.

Sebab pada akhirnya, ancaman terbesar dari Opsi Samson bukan pada tombol peluncur rudal, tapi pada diamnya dunia terhadap kemungkinan kehancuran kolektif. Ancaman ini nyata, meski diselubungi ambiguitas. Bahayanya bukan hanya karena Israel mungkin memiliki senjata tersebut, tapi karena dunia tidak menuntut pertanggungjawaban moral dan politik atas doktrin yang ekstrem ini.

Jadi, ya—Opsi Samson adalah ancaman bagi dunia. Bukan karena itu sekadar fiksi yang menakutkan, tapi karena itu adalah kenyataan yang kita biarkan tumbuh di balik kebisuan dan standar ganda. Kemanusiaan kita dipertaruhkan bukan oleh keberadaan senjata itu semata, tetapi oleh keputusan-keputusan yang kita buat hari ini. Dan semakin kita menunda pembahasan ini, semakin besar risiko bahwa suatu hari, kalimat “jika kita jatuh, semua akan jatuh bersama kita” tidak lagi hanya ancaman—tetapi kenyataan yang menghancurkan.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *