Connect with us

Opini

Israel ‘Bantuan’ atau Strategi Melemahkan Lebanon

Published

on

Di perbatasan selatan Lebanon, reruntuhan rumah dan gedung yang terbakar menjadi saksi bisu sejarah luka yang tak kunjung sembuh. Setiap suara ledakan drone menjadi musik latar kehidupan warga, sementara musuh yang jelas-jelas agresor kini muncul dengan senyum diplomatik, menawarkan bantuan agar Hizbullah melucuti senjatanya. Ironi ini tidak bisa dilewatkan begitu saja: agresor yang membunuh ribuan orang dalam setahun terakhir tiba-tiba bersikap seolah penasihat perdamaian, mengusulkan “roadmap” yang katanya resmi, aman, dan rasional.

Sejak gencatan senjata November 2024, Israel telah melanggar kesepakatan ribuan kali. Lima titik perbatasan tetap diduduki, serangan udara menembus pinggiran Beirut, dan hampir 200 warga sipil tewas tercatat oleh PBB. Antara Oktober 2023 dan November 2024, bombardir Israel menelan nyawa hampir 4.000 orang, melukai lebih dari 16.000. Dan di tengah data yang menyayat hati itu, pemerintah Lebanon justru menandatangani rencana AS untuk mengambil alih semua senjata “tidak resmi.” Ironi yang lebih dalam: seolah agresi itu bisa dihapus dengan tanda tangan di atas kertas.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Hizbullah menolak pelucutan senjata. Dan penolakan ini logis, sederhana, namun mendalam. Senjata mereka bukan semata alat kelompok; itu adalah perisai Lebanon, satu-satunya penghalang nyata terhadap agresi Israel yang berulang. Melepaskan senjata berarti menyerahkan kedaulatan kepada musuh. Logika sederhananya: jika musuh ingin kamu menyerahkan senjata, menyerah berarti memihak musuh. Tidak ada yang lebih jelas.

Di balik “bantuan” Israel, tersimpan motif yang tidak bisa diabaikan. Ini bukan tentang perdamaian. Ini tentang melemahkan Lebanon dari dalam, menekan kelompok resistensi, dan menimbulkan ketegangan politik internal. Dengan membungkus kepentingan militer sebagai roadmap diplomatik, Israel menciptakan situasi di mana Lebanon tampak tunduk pada tekanan Barat. Seolah-olah, monopoli senjata negara lebih penting daripada kemampuan mempertahankan diri dari agresor yang nyata.

Kalau kita membaca langkah pemerintah Presiden Lebanon Joseph Khalil Aoun dari perspektif strategis, muncul paradoks yang mencolok: keputusan untuk menerima “bantuan” dan rencana AS berarti pemerintah secara tidak langsung membantu musuh utama Lebanon. Legitimasi resmi tidak cukup untuk menutupi fakta bahwa setiap senjata Hizbullah yang dilucuti adalah satu lapisan pertahanan Lebanon yang hilang. Inilah ironi yang getir: dokumen diplomatik resmi bisa menjadi alat yang merugikan negara sendiri.

Hizbullah dan Amal menggerakkan rakyat untuk protes, menegaskan bahwa pertahanan Lebanon tidak bisa dijual kepada kepentingan asing. Mereka menegaskan bahwa darah martir tidak boleh menjadi taruhan diplomasi. “Far be it from us to accept humiliation,” kata mereka, dan ungkapan ini tepat untuk menggambarkan posisi mereka. Protes yang ditunda bukan mundur; itu strategi menunggu momen agar suara rakyat tetap menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan pemerintah maupun pihak luar.

Dukungan politik terhadap Hizbullah dan Amal juga signifikan. Gabungan 28,25% suara aktual menempatkan mereka sebagai kekuatan yang tak bisa diabaikan, meski bukan mayoritas mutlak. Legitimasi formal pemerintah Aoun rapuh ketika keputusan yang diambil justru sejalan dengan kepentingan musuh yang melanggar gencatan senjata ribuan kali. Demokrasi formal tanpa pertimbangan geopolitik nyata dapat menjadi alat yang melemahkan negara, bukan memperkuatnya.

Senjata Hizbullah bukan sekadar logistik militer; itu adalah simbol kedaulatan dan martabat. Menyerahkannya berarti melepas harga diri, sesuatu yang sederhana tapi sarat makna. Saat pemerintah Lebanon menandatangani rencana AS, masyarakat bisa membaca pesan tersirat: “Kedaulatan dan pertahanan kita tunduk pada diplomasi internasional.” Tidak heran jika Hizbullah menegaskan penolakan mereka, bukan untuk kepentingan kelompok, tapi untuk kepentingan bangsa.

Motif Israel di balik bantuan ini sangat strategis. Dengan menghadirkan roadmap diplomatik, Israel memaksa Lebanon melakukan langkah formal yang tampak sah, tapi pada hakikatnya melemahkan pertahanan negara dari dalam. Ini perang psikologis dan politik: musuh menjadi penasihat, musuh menawarkan solusi, musuh tersenyum sambil mengambil keuntungan dari keputusan pemerintah yang terlalu percaya dokumen resmi.

Menolak menyerahkan senjata adalah tindakan reflektif. Bukan keras kepala atau ego kelompok, tapi keputusan yang lahir dari pengalaman pahit peperangan dan agresi. Ini adalah bentuk keberanian untuk tidak tunduk pada musuh, untuk memastikan Lebanon tetap memiliki kemampuan mempertahankan diri sendiri. Janji diplomasi internasional rapuh; pengalaman perang nyata berbicara lebih keras.

Jika pemerintah Aoun tetap memaksakan pelucutan senjata, beberapa skenario hampir pasti akan muncul. Pertama, ketegangan internal meningkat tajam. Hizbullah dan Amal bisa melihat langkah ini sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional. Protes akan meluas, menjadi gelombang perlawanan sosial dan politik yang menekan pemerintah. Ini bukan teori kosong: sejarah Lebanon menunjukkan bahwa upaya melemahkan kelompok resistensi dengan basis kuat berpotensi memicu krisis domestik.

Skenario kedua, secara strategis, adalah peluang bagi Israel untuk memanfaatkan kekosongan keamanan. Jika senjata Hizbullah dilucuti, Lebanon kehilangan perisai utama terhadap agresi. Israel bisa melancarkan tekanan baru, baik serangan langsung terbatas maupun operasi yang memanfaatkan celah pertahanan. Ribuan pelanggaran gencatan senjata sejak November 2024 menunjukkan agresor tidak segan memanfaatkan celah pertahanan. Pelucutan senjata bukan sekadar isu domestik, tapi membuka pintu bagi intervensi asing lebih agresif.

Skenario ketiga berkaitan dengan legitimasi pemerintah. Legitimasi formal mungkin diperoleh melalui mekanisme internasional, tetapi harga yang dibayar adalah kepercayaan rakyat. Dukungan politik terhadap Hizbullah dan Amal menunjukkan penolakan masyarakat tidak bisa diabaikan. Pemerintah yang sah secara hukum, tapi lemah secara politik, bisa menghadapi krisis legitimasi atau konflik internal. Formalitas dokumen tidak menjamin stabilitas, sementara kelompok yang dikritik “non-negara” justru menjaga integritas nasional.

Skenario keempat adalah implikasi jangka panjang bagi kedaulatan Lebanon. Melepaskan senjata bukan hanya mengurangi kemampuan defensif, tapi menimbulkan preseden berbahaya: negara asing bisa memaksa keputusan internal dengan dalih diplomasi dan roadmap. Jika diterima, Lebanon berisiko menjadi negara rentan terhadap intervensi diplomatik dan militer, kehilangan kemampuan menentukan strategi pertahanan sendiri.

Skenario kelima lebih psikologis dan simbolik. Pelucutan senjata akan menjadi pesan bahwa darah martir, perjuangan resistensi, dan perlawanan terhadap agresi bisa diabaikan demi dokumen internasional. Ini bukan hanya persoalan politik atau militer; ini persoalan moral dan simbolik. Penolakan Hizbullah adalah pembelaan terhadap martabat bangsa, bukan kepentingan kelompok. Setiap senjata yang dipertahankan adalah simbol keberanian dan harga diri rakyat Lebanon.

Jika kita melihat semua skenario ini bersama, satu hal menjadi jelas: pelucutan senjata Hizbullah tidak pernah netral. Langkah pemerintah yang memaksakan rencana ini memiliki konsekuensi multi-dimensi—politik, sosial, strategis, simbolik. Sebaliknya, penolakan Hizbullah bukan kekerasan yang tidak rasional, tetapi tindakan protektif dari pengalaman pahit sejarah agresi Israel. Mereka menolak menyerahkan senjata untuk melindungi Lebanon, rakyatnya, dan kedaulatannya.

Prediksi ini memberikan perspektif kritis: keputusan formal pemerintah Lebanon harus dipertimbangkan tidak hanya dari sisi hukum atau diplomatik, tetapi dari realitas lapangan, sejarah agresi, dan dukungan rakyat. Mengabaikan hal ini sama saja dengan menyerahkan kendali pertahanan negara kepada pihak yang jelas memiliki motif melemahkan Lebanon dari luar.

Dan di sinilah letak pelajaran moral dan strategis bagi pembaca: kadang langkah yang terlihat “resmi, formal, sah” bisa menjadi alat musuh, sementara penolakan tegas, meski dikritik, adalah bentuk cinta pada tanah air yang paling nyata, menjaga kedaulatan, martabat, dan keberanian rakyat. Lebanon mengajarkan bahwa martabat dan kemampuan mempertahankan diri tidak bisa digantikan oleh dokumen resmi atau janji diplomasi manis. Hizbullah menolak menyerahkan senjata. Bukan untuk mereka sendiri. Tapi untuk Lebanon. Untuk rakyatnya. Untuk kedaulatannya. Itu satu hal yang jelas di tengah absurditas geopolitik ini.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer