Opini
Iran vs Aliansi Bayangan: Perang Rahasia Melawan Mossad, CIA, dan MI6

Selama perang Israel terhadap Iran, lebih dari 700 orang ditangkap oleh aparat keamanan dan intelijen Iran. Mereka dituduh berkolaborasi dengan Mossad, badan intelijen milik entitas pendudukan. Di tengah perang terbuka yang sejenak menampakkan diri ke permukaan, Iran ternyata juga terlibat dalam perang yang tak tampak—perang sunyi namun ganas—di balik tembok-tembok sunyi, di layar-layar komputer, di langit-langit kota lewat drone kecil yang nyaris tak terdengar. Di Teheran saja, lebih dari 10.000 drone mini disita. Angka yang tak hanya mengejutkan, tetapi juga menandakan bahwa perang rahasia telah menyusup begitu dalam ke kehidupan warga sipil.
Operasi besar-besaran ini bukan hanya menangkap agen asing. Mayoritas yang ditangkap adalah warga Iran sendiri. Sebuah fakta pahit bahwa dalam perang modern, identitas musuh kian kabur. Mereka bisa saja tetanggamu, petugas kebersihan, atau bahkan rekan kerja. Laporan dari Al Mayadeen dan pernyataan resmi Iran menyebut bahwa jaringan Mossad di Iran tidak hanya menyusupkan drone atau peralatan sabotase, tetapi juga memfasilitasi perekaman situs militer sensitif dan mentransfer informasi ke tentara Israel. Bayaran untuk pengkhianatan ini? Kripto. Anonim, cepat, dan tidak bisa dilacak tanpa teknologi tinggi.
Salah satu kasus paling mencolok datang dari kota Urmia. Tiga orang dieksekusi setelah dinyatakan bersalah sebagai agen Mossad. Mereka menyelundupkan alat pembunuh yang kemudian digunakan dalam operasi nyata, menewaskan tokoh penting Iran. Di Isfahan, satu mata-mata lainnya—Majid Mosayyebi—dihukum gantung karena menjadi perantara antara jaringan Mossad dan kontaknya bernama David di sebuah negara Teluk. Ia tidak membawa pistol, tidak juga bom, hanya membawa informasi: lokasi strategis, data pribadi pejabat, struktur keamanan. Dalam perang ini, informasi bisa lebih berbahaya dari peluru.
Tak berhenti di sana. Iran juga melaporkan penangkapan 26 agen di Khuzestan yang dikaitkan langsung dengan Mossad. Mereka ditemukan membawa perlengkapan militer, alat komunikasi, dan peralatan teknis canggih. Menariknya, laporan dari Kementerian Intelijen Iran tidak hanya menyebut Mossad, tapi juga CIA dari Amerika dan MI6 dari Inggris sebagai bagian dari jaringan infiltrasi intelijen yang lebih luas. Tiga kekuatan besar dari tiga benua, bersatu dalam satu tujuan: menggoyahkan Republik Islam dari dalam. Maka, Iran tak hanya berperang melawan satu negara, tapi menghadapi koalisi bayangan.
Brigadir Jenderal Montazer al-Mahdi bahkan menyebut bahwa seorang tersangka mata-mata ditangkap di stasiun metro Teheran. Saat digeledah, ia kedapatan menyimpan chip memori berisi rekaman situs militer. Ia juga menerima instruksi dalam bahasa Ibrani. Ini bukan novel spionase. Ini kejadian nyata di jantung kota. Ketika metro, tempat umum yang digunakan rakyat setiap hari, menjadi medan operasi intelijen asing, kita sedang menyaksikan medan perang generasi baru yang tak membutuhkan tank atau jet tempur.
Apa yang dilakukan Iran bukan sekadar pengamanan biasa. Ini adalah operasi kontra-intelijen sistemik. Pemerintah Iran menyebut bahwa “perang tersembunyi” sedang berlangsung di level nasional, regional, dan internasional. Bukan perang konvensional yang berisik dan berdarah, tapi perang senyap yang menghancurkan dari dalam. Kita tahu, Iran bukan satu-satunya yang pernah mengalaminya. Irak sebelum invasi, Suriah dalam dekade konflik, bahkan Venezuela dan Kuba pun pernah menjadi sasaran operasi serupa. Namun Iran bertahan, dan tampaknya memutuskan untuk tidak hanya bertahan, tetapi membalas.
Jika kita tarik garis ke Indonesia, refleksi penting muncul: seberapa siap sebuah negara dalam menghadapi perang intelijen semacam ini? Apakah negara-negara berkembang menyadari bahwa kedaulatan hari ini bukan hanya soal menjaga batas wilayah fisik, tapi juga membentengi data, opini publik, dan kesadaran kolektif? Perang seperti ini tak terlihat, namun dampaknya bisa sistemik. Jika informasi tentang reaktor, tokoh penting, atau sistem pertahanan bocor, maka kehancuran tidak harus datang lewat rudal.
Dalam konteks regional, langkah Iran juga bisa dilihat sebagai pesan kepada negara tetangga: bahwa infiltrasi bukan hanya kemungkinan, tapi kenyataan. Banyak negara yang secara diam-diam atau terang-terangan membiarkan atau bahkan memfasilitasi kehadiran intelijen asing di wilayah mereka. Negara-negara Teluk, misalnya, menjadi markas tidak resmi banyak operasi intelijen Barat. Maka Iran pun menanggapinya dengan intensitas yang tidak biasa.
Namun, operasi sapu bersih semacam ini juga menghadirkan dilema etis dan politik. Seberapa besar jaminan bahwa semua yang ditangkap benar-benar bersalah? Apakah pengadilan dijalankan secara transparan? Bagaimana menjaga keseimbangan antara keamanan negara dan hak asasi manusia? Iran tentu punya hak penuh untuk melindungi kedaulatannya. Tapi sejarah dunia penuh dengan contoh betapa narasi “musuh dalam selimut” kerap dijadikan alat untuk menekan oposisi atau meredam kritik internal.
Tetapi satu hal tetap nyata: Iran sedang menghadapi serangan berlapis. Dari langit dengan drone, dari dalam dengan agen, dari luar dengan propaganda dan sanksi. Itu sebabnya, bagi banyak warga Iran, setiap hari adalah potensi medan perang. Ancaman datang bukan hanya dari bom, tapi juga dari tetesan informasi, dari chip memori, dari transaksi kripto yang terlihat sepele namun fatal.
Maka ketika Iran mengumumkan telah mengungkap jaringan Mossad, CIA, dan MI6, mereka tidak sedang membesar-besarkan. Mereka sedang membuka tabir dari perang modern yang jarang dibicarakan. Dunia luar mungkin melihatnya sebagai reaksi keras, bahkan otoriter. Tapi dari sudut pandang mereka yang berada dalam target operasi asing, tindakan itu bisa saja dibaca sebagai satu-satunya cara bertahan.
Kita yang di luar Iran, termasuk Indonesia, bisa mengambil pelajaran penting: dunia kini tidak lagi hanya terdiri dari perang yang bisa dilihat. Perang hari ini tidak diumumkan, tidak diiringi sirine, dan tidak ditandai garis perbatasan. Tapi ia berlangsung, terus-menerus, di dalam server, di balik layar HP, di lorong-lorong publik, dan bahkan di platform tempat kita membaca tulisan ini. Pertanyaannya: apakah kita cukup sadar? Apakah kita siap? Atau kita hanya akan tahu setelah semuanya bocor?
Sumber: