Opini
Iran Menutup Pintu: Sebuah Tamparan untuk Dunia yang Munafik

Parlemen Iran pada 25 Juni mengambil keputusan yang mengguncang peta politik nuklir global: menghentikan seluruh bentuk kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Sebuah langkah berani, bahkan nekat, dalam kacamata Barat—tetapi bagi Teheran, itu adalah keputusan niscaya, sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai pengkhianatan internasional. Dalam ruang sidang parlemen, para wakil rakyat berseru “Maut bagi Amerika!” dan “Maut bagi Israel!”—pekikan yang bukan sekadar simbolik, melainkan pantulan dari luka kolektif akibat serangan militer yang meluluhlantakkan fasilitas nuklir mereka.
Selama dua belas hari, sejak 13 Juni hingga gencatan senjata diumumkan pada 24 Juni, langit Iran dipenuhi suara dentuman. Israel meluncurkan serangan udara yang diarahkan tepat ke jantung proyek nuklir Iran, dan tak lama kemudian, Amerika Serikat ikut campur tangan dengan mengerahkan pesawat pembom siluman B-2. Bom penghancur bunker GBU-57 dijatuhkan ke fasilitas Fordow yang dikenal sangat terlindungi. Sementara itu, Natanz dan Isfahan juga menjadi target. Ini bukan hanya aksi militer, tetapi pesan politik yang dikemas dalam ledakan.
Yang mencengangkan, serangan itu dilakukan hanya sehari setelah IAEA mengeluarkan resolusi yang menuduh Iran melanggar kewajiban nuklirnya berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi (NPT). Resolusi itu mengacu pada laporan IAEA bulan Mei yang menyatakan bahwa Iran telah melakukan aktivitas nuklir rahasia di tiga lokasi yang tak dideklarasikan—klaim yang merujuk pada peristiwa berpuluh tahun silam. Namun bagi Iran, waktu keluarnya laporan itu tak bisa dianggap kebetulan belaka. Pemerintah Teheran menyebut laporan tersebut sebagai dalih politik yang “membuka jalan” bagi serangan militer terhadap mereka.
Iran bukan negara yang berdiri di luar sistem. Ia anggota NPT sejak 1970, dan program nuklirnya diawasi ketat oleh IAEA. Bahkan ketika JCPOA (kesepakatan nuklir 2015) runtuh setelah AS menarik diri secara sepihak pada 2018, Iran tetap membiarkan inspeksi dilakukan oleh badan pengawas internasional. Tapi ketika fasilitas nuklir diserang, IAEA bungkam. Tidak ada kutukan. Tidak ada kecaman. Tidak ada permintaan pertanggungjawaban. Ketua Parlemen Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf, menyebut tindakan IAEA sebagai “pelelangan kredibilitas internasional.” Kritik keras itu bukan isapan jempol; dalam sudut pandang Iran, IAEA telah berubah dari pengawas netral menjadi alat politik.
Dugaan bahwa IAEA membocorkan informasi sensitif kepada Israel menambah bara. Iran mengklaim memiliki dokumen yang menunjukkan bahwa informasi yang mereka berikan dalam kerangka kerja sama justru dijadikan senjata untuk menghancurkan mereka. Apabila tuduhan ini terbukti, bukan hanya Iran yang dalam bahaya. Seluruh sistem pengawasan nuklir internasional terancam ambruk, sebab kepercayaan adalah fondasi utama dari setiap kerjasama multilateral. Bila kepercayaan itu hancur, tidak ada insentif bagi negara manapun untuk tetap transparan.
Langkah parlemen Iran diperkuat sehari setelahnya oleh Dewan Penjaga Konstitusi—menandakan bahwa ini bukan respons emosional sesaat, tapi keputusan kenegaraan. Kerja sama dengan IAEA dihentikan sepenuhnya: tak ada lagi inspeksi, tak ada lagi pelaporan, tak ada lagi pengawasan teknis. Kecuali jika Iran mendapat jaminan keamanan terhadap fasilitas dan personel nuklir mereka serta pengakuan atas hak pengayaan mereka sesuai NPT, maka pintu kerja sama akan tetap tertutup.
Reaksi dari luar pun bermunculan. Prancis mengancam aktivasi mekanisme “snapback”—langkah dalam JCPOA yang bisa mengembalikan sanksi PBB. Rusia menanggapi dengan nada berbeda: menyebut langkah Iran sebagai akibat langsung dari agresi AS dan Israel serta mengecam IAEA karena gagal bertindak adil. Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov menegaskan bahwa komunikasi dengan Iran tetap penting demi menjaga non-proliferasi senjata nuklir. Dua respons berbeda yang menunjukkan jurang pandang antara Barat dan Timur dalam melihat akar masalah ini.
Yang jadi pertanyaan besar: mengapa hanya Iran yang dipaksa untuk patuh? Israel, yang tak pernah menandatangani NPT dan diyakini memiliki ratusan senjata nuklir, tidak pernah diperiksa, apalagi dihukum. Tidak ada laporan IAEA yang mengecam atau sekadar menyinggung program nuklir Israel. Mengapa standar ganda ini terus dipelihara? Apakah hukum internasional hanya berlaku bagi yang lemah dan tak punya pelindung kuat? Bila Iran yang setia pada sistem justru dikhianati, maka apa gunanya sistem itu?
Dari perspektif Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya, hal ini patut direnungkan dalam-dalam. Kita hidup dalam tatanan global yang katanya berdasar hukum, tapi praktiknya dikendalikan oleh kekuasaan. Ketika satu negara dipaksa transparan tapi yang lain bebas sembunyi-sembunyi, maka yang terjadi bukan pengawasan, melainkan penjajahan model baru—melalui badan-badan internasional yang seharusnya netral. Ini bukan sekadar soal Iran. Ini soal masa depan keadilan global.
Keputusan Iran untuk menangguhkan kerja sama dengan IAEA adalah reaksi, bukan inisiatif. Ini respons atas serangkaian perlakuan yang tidak adil dan serangan terbuka terhadap infrastruktur sipilnya. Tindakan itu memang menambah ketegangan, tapi justru memperlihatkan betapa rusaknya sistem global saat ini. Iran tidak menarik diri dari NPT, belum. Tapi arah anginnya jelas: jika badan pengawas dianggap menjadi senjata lawan, maka negara manapun berhak menutup pintunya. Ini preseden serius yang bisa menular ke negara-negara lain yang merasa dipermainkan sistem internasional.
Akhirnya, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih besar: siapa yang mengawasi pengawas? Bila IAEA tak bisa dikritik, tak bisa dihukum, dan tak bisa dipertanggungjawabkan, maka kekuatan moral yang ia miliki akan luntur. Dunia butuh pengawas yang netral, bukan sekadar representasi dari kepentingan geopolitik. Jika tidak ada reformasi dan introspeksi di tubuh IAEA, maka Iran mungkin hanya yang pertama, bukan yang terakhir. Dan dunia akan semakin menjauh dari tatanan yang adil menuju rimba kekuasaan, di mana yang kuat selalu benar, dan yang lemah dituduh sebelum sempat bicara.