Opini
Iran Menolak Tunduk: Diplomasi Bukan Panggung Tipu-tipu

Teheran tidak akan kembali ke meja perundingan kecuali Amerika Serikat mengganti kerugian atas serangan bersama dengan “Israel”—demikian pernyataan lugas yang meluncur dari bibir Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam wawancara eksklusif bersama Financial Times. Kalimat itu, yang ditulis datar oleh jurnalis Barat, sejatinya adalah peluru yang ditembakkan bukan hanya ke arah Gedung Putih, tetapi ke seluruh struktur diplomasi global yang selama ini berpihak pada yang bersenjata, bukan yang diserang.
Kita hidup di dunia yang aneh, bukan? Di mana pelaku agresi masih merasa pantas duduk di meja perdamaian tanpa cuci tangan, sementara korban dipaksa tersenyum dan “move on.” Serangan terhadap ilmuwan nuklir Iran, pembunuhan komandan militer, pengeboman kawasan sipil—semua itu sudah cukup mengguncang logika. Tapi ternyata masih ada satu babak tambahan dalam absurditas ini: seminggu setelah zionis “Israel” memulai perang 12 hari pada 13 Juni 2025, Amerika Serikat ikut campur dengan cara yang—anehnya—tak disebut sebagai deklarasi perang: menjatuhkan bom ke tiga fasilitas nuklir Iran.
Tidak main-main. Bukan pos militer, bukan depot senjata, tapi fasilitas nuklir sipil—simbol kedaulatan dan kemandirian teknologi Iran. Itu pun dilakukan saat proses negosiasi nuklir antara Iran dan AS masih berlangsung, tepatnya setelah lima putaran pembicaraan dan sebelum putaran keenam yang seharusnya digelar di Muscat, Oman. Jadi, kapan terakhir kali Anda melihat seseorang mengirim bom ke rumah lawan bicara sebelum datang ke forum damai? Amerika baru saja memopulerkannya.
Iran kali ini berbeda. Tidak datang dengan senyum plastik atau permohonan manis agar sanksi segera dicabut. Tidak pula menunggu-nunggu belas kasihan dari meja-meja bundar penuh jargon diplomasi yang diciptakan agar negara-negara Global South tak pernah bisa duduk tegak. Iran datang dengan daftar tagihan. “Bayar dulu kerusakan kami. Jelaskan kenapa kalian menyerang di tengah negosiasi. Dan berikan jaminan kalian tak akan mengulanginya lagi.”
Tuntutan itu terdengar mustahil bagi diplomat-diplomat Eropa yang sejak lama hidup dalam khayalan bahwa mereka adalah penjaga etika internasional. Mereka yang membiarkan Gaza dibom, tetapi panik ketika ada bom jatuh di Tel Aviv. Mereka yang menyerukan perdamaian, sambil terus menjual senjata. Mereka yang menganggap pengayaan uranium oleh Iran sebagai ancaman, tapi mengelus kepala zionis yang menyimpan ratusan hulu ledak nuklir diam-diam.
Kita perlu jujur. Pernyataan Iran adalah bentuk pembalikan tata krama internasional. Biasanya, negara-negara seperti Iran diminta membuktikan bahwa mereka “layak” untuk berunding. Bahwa mereka bisa “diandalkan” dan “rasional”. Tapi sekarang, Iran-lah yang meminta jaminan rasionalitas dari Amerika Serikat. Bukan main. Dunia Barat yang selama ini merasa sebagai guru diplomasi, tiba-tiba diajari bagaimana bernegosiasi dengan cara yang benar: tanpa bom di tengah diskusi, tanpa drone di atas meja runding.
Dalam satu wawancara yang sederhana itu, Araghchi meruntuhkan mitos bahwa diplomasi selalu mulia. Ia menyibak kenyataan getir: diplomasi bisa menjadi alat penipuan, kamuflase dari agresi yang sedang berlangsung. “Jangan buang waktu, kata rakyat pada saya. Mereka hanya datang ke meja perundingan untuk menutup-nutupi niat jahat mereka.” Pernyataan itu bukan hanya kritik terhadap Trump dan sekutunya, tapi juga terhadap kita semua yang masih percaya bahwa kesepakatan internasional lahir dari niat baik semata, bukan dari tekanan, dominasi, dan pemaksaan.
Bayangkan jika negara-negara lain mulai bersikap seperti Iran. Bayangkan jika Palestina menuntut kompensasi atas 70 tahun penjajahan sebelum mau bicara soal solusi dua negara. Bayangkan jika Suriah mengatakan, “Kita bicara soal rekonstruksi nanti, setelah kalian bayar dulu semua rudal yang dijatuhkan.” Dunia akan jungkir balik. Tapi mungkin itu memang perlu.
Ada sindiran tajam di balik ketegasan Iran. Ketika mereka mengatakan “kami tetap terbuka untuk diplomasi,” itu terdengar lebih seperti kalimat pengadilan daripada undangan negosiasi. Diplomasi tetap mungkin, kata mereka, tapi jalannya sempit. Sempit, karena sudah terlalu banyak pelanggaran yang membuat jalan itu berlubang, retak, bahkan berlumuran darah. Iran tidak menutup pintu, tapi mereka menginginkan kunci diganti. Dan sejujurnya, mereka berhak.
Kita juga bisa melihat ini sebagai bentuk kematangan geopolitik. Iran tahu, kekuatan bukan sekadar jumlah rudal atau aliansi militer. Kekuatan sejati adalah keberanian untuk berkata tidak ketika semua orang memaksamu berkata ya. Dan Iran, negara yang dijadikan kambing hitam sejak revolusi 1979, kini berdiri tegak dengan catatan sejarah yang—setidaknya—konsisten. Mereka bukan orang suci. Tapi mereka tahu kapan harus melawan, dan kapan harus menolak ilusi.
Barangkali inilah saatnya dunia belajar dari Iran, bukan mengajarinya. Bukan berarti kita meniru segalanya. Tapi paling tidak, kita bisa mencontoh caranya menjaga martabat di tengah tekanan. Di tengah gempuran opini publik global yang dibuat oleh media yang lebih peduli pada pasar saham ketimbang hak asasi manusia, Iran tetap bicara tentang harga diri nasional. Tentang keadilan. Tentang hak untuk tidak diserang ketika duduk di meja damai.
Dan dalam dunia yang terlalu sering melupakan makna “adil” karena sibuk mengejar “damai”, keberanian seperti ini justru terasa segar. Ironis memang, bahwa yang paling lantang menyerukan keadilan justru negara yang paling lama dijadikan musuh oleh blok Barat. Tapi siapa tahu, justru dari Iran-lah kita bisa belajar bahwa tidak semua tawaran perdamaian itu suci, dan tidak semua penolakan terhadap negosiasi adalah bentuk kekerasan.
Lalu kita, dari sudut Nusantara yang jauh, mungkin perlu berhenti sejenak dari perdebatan medsos yang memanas setiap ada isu Timur Tengah. Bukan karena kita tak boleh peduli, tapi karena kita terlalu sering menonton drama diplomasi global seperti sinetron, tanpa menyadari bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya nasib mereka, tapi arah dunia. Ketika Iran bicara soal “win-win solution,” mereka sebenarnya sedang mengingatkan kita semua bahwa dunia ini tak bisa terus diatur oleh yang menang perang saja.
Mereka bilang, nuklir Iran berbahaya. Tapi apakah lebih berbahaya dari negara-negara yang sudah memakainya untuk membunuh ratusan ribu orang sipil? Mereka bilang, Iran tak bisa dipercaya. Tapi siapa yang pertama kali mengingkari JCPOA dan keluar sepihak dari kesepakatan? Mereka bilang, Iran harus tunduk pada komunitas internasional. Tapi komunitas internasional yang mana? Yang diam saat Gaza dibakar? Yang bisu ketika Mosul dan Raqqa dihancurkan?
Pernyataan Iran adalah ujian. Bukan hanya bagi Barat, tapi bagi kita semua yang masih percaya pada konsep keadilan dalam politik global. Ujian untuk membedakan antara perundingan yang sungguh-sungguh dan perundingan yang hanya jubah untuk melanjutkan perang dengan cara lain. Ujian untuk melihat apakah dunia siap menerima bentuk diplomasi yang tidak tunduk, tapi setara. Diplomasi yang tidak hanya mengedepankan perdamaian, tetapi juga penebusan.
Dan mungkin, dalam absurditas dunia hari ini, suara paling waras memang datang dari tempat yang paling sering dituduh gila.
Pingback: E3 Mengancam, Iran Tertawa di Meja Perundingan - vichara.id
Pingback: Iran Percaya Diri, Israel Bertahan - vichara.id