Connect with us

Opini

Iran Memutus IAEA: Akhir Diplomasi atau Awal Ketegangan Baru?

Published

on

Presiden Republik Islam Iran, Masoud Pezeshkian telah mengeluarkan dekrit resmi yang memerintahkan penghentian semua bentuk kerja sama Republik Islam Iran dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Dekrit ini, seperti dilaporkan kantor berita Tasnim pada 2 Juli 2025, bukan sekadar pengumuman administratif, melainkan penanda penting dalam babak baru konflik Iran dengan badan internasional. Hal ini diputuskan hanya beberapa hari setelah serangan besar-besaran Israel dan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran—serangan yang dilaporkan menimbulkan kerusakan serius di situs Fordow.

Langkah ini memperlihatkan bahwa krisis kepercayaan antara Iran dan lembaga-lembaga internasional telah mencapai titik nadir. Ketua Parlemen Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf, sebelumnya menyatakan bahwa kerja sama dengan IAEA tak lagi dapat dilanjutkan karena lembaga itu disebutnya telah berubah dari pengawas netral menjadi “pelindung dan pelayan Israel.” Kata-kata ini bukan sekadar retorika nasionalis. Di baliknya terkandung kekecewaan yang mendalam, bahkan kemarahan yang terpendam, terhadap sistem internasional yang selama ini dianggap tak adil.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Keputusan parlemen Iran, yang didukung oleh Dewan Keamanan Nasional dan Dewan Penjaga Konstitusi, merupakan respons langsung terhadap serangkaian peristiwa yang—dari sudut pandang Iran—menghancurkan legitimasi IAEA. Ketika inspektur nuklir internasional terus mendesak untuk memeriksa fasilitas yang baru saja dibom, pertanyaannya bukan lagi soal teknis pengawasan, tapi soal martabat dan kedaulatan nasional. Apakah pantas, setelah serangan, korban justru diwajibkan membuka pintunya lebar-lebar kepada institusi yang dianggap ikut andil dalam pembenaran serangan itu?

Deputi Ketua Parlemen Iran, Hamid Reza Haji Babaei, bahkan menyatakan bahwa Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, tidak lagi diizinkan mengakses fasilitas nuklir Iran ataupun memasang kamera pengawasan di sana. Alasannya sederhana namun menggetarkan: Iran mengklaim menemukan informasi mengenai fasilitas nuklir mereka dalam dokumen yang didapat dari rezim Israel. Artinya, bagi Iran, IAEA bukan lagi badan yang netral, tetapi bagian dari mata rantai pengintaian yang membahayakan keamanan nasional.

Tuduhan ini diperkuat oleh laporan Al Mayadeen yang mengutip sumber intelijen Iran. Mereka mengklaim bahwa Iran telah berhasil melakukan operasi rahasia yang memperoleh ribuan dokumen strategis dan sangat rahasia milik Israel—termasuk dokumen yang berkaitan dengan proyek nuklir dan informasi tentang kerja sama rahasia dengan IAEA. Laporan ini, bila terbukti akurat, menandai eskalasi perang yang tidak hanya terjadi di darat dan udara, tapi juga di medan intelijen dan informasi.

Langkah Iran memutus kerja sama dengan IAEA, sebagaimana disampaikan juru bicara pemerintah Fatima Mohajerani dan Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, bukan sekadar penolakan teknis, tetapi sikap politik yang tegas. Mereka menyebut bahwa fasilitas nuklir Iran mengalami kerusakan berat akibat serangan AS dan Israel. Meski Presiden AS Donald Trump menyebut serangan itu berhasil “menghancurkan total” kemampuan nuklir Iran, kebocoran informasi intelijen dari AS dan Eropa justru menyiratkan sebaliknya: bahwa stok uranium Iran masih ada dan programnya hanya mengalami penundaan sementara.

Dalam situasi seperti ini, desakan IAEA untuk tetap melakukan inspeksi menjadi sulit dipahami. Mengapa lembaga internasional yang dituding membocorkan informasi kini mendesak untuk kembali? Dengan dalih memverifikasi kerusakan? Atau, bagi Iran, justru untuk menilai efektivitas serangan dan mengumpulkan data baru? Inilah titik di mana hukum internasional bersinggungan dengan rasa marah sebuah bangsa yang merasa dikhianati.

Namun konsekuensinya tidak ringan. Dunia kini kehilangan salah satu mekanisme utama untuk memantau aktivitas nuklir Iran. Sistem kamera dan pengawasan yang dipasang oleh IAEA kini telah dicabut. Laporan-laporan yang sebelumnya bisa menjadi dasar bagi diplomasi kini tak lagi tersedia. Ini bisa membuka ruang bagi asumsi terburuk dan mendorong langkah-langkah yang lebih ekstrem dari pihak-pihak yang selama ini merasa terancam oleh program nuklir Iran.

Jerman, misalnya, telah menyebut keputusan Iran sebagai “sinyal bencana.” Mereka mengingatkan bahwa satu-satunya jalan menuju penyelesaian damai adalah melalui kerja sama Iran dengan IAEA. Tapi peringatan ini terdengar lemah di tengah fakta bahwa serangan militer terhadap Iran justru terjadi sehari setelah IAEA mengeluarkan laporan yang menuduh Iran tidak transparan dalam program nuklirnya. Laporan yang kemudian dijadikan dasar untuk resolusi Dewan Gubernur IAEA, dan tak lama kemudian, konflik bersenjata pun pecah.

Rafael Grossi sendiri sebelumnya telah memperingatkan bahwa Iran dapat mulai memperkaya uranium kembali dalam beberapa bulan ke depan. Namun peringatannya kini terdengar seperti gema kosong di lorong diplomasi yang tak lagi didengarkan. Ia telah dilarang memasuki Iran. Permintaannya untuk menginspeksi situs yang dibom ditolak mentah-mentah. Bahkan, otoritas nuklir Iran mengisyaratkan akan mengambil tindakan hukum terhadapnya.

Situasi ini bukan sekadar ketegangan teknis antara satu negara dan satu lembaga internasional. Ini adalah cerminan dari keruntuhan sistem kepercayaan global yang selama ini menopang upaya pengawasan senjata nuklir. Ketika kepercayaan itu runtuh, apa yang tersisa? Apakah komunitas internasional siap menghadapi dunia tanpa transparansi nuklir? Apakah penghentian kerja sama ini menjadi sinyal bahwa Iran akan bergerak menuju kapabilitas nuklir militer? Atau justru langkah ini akan menjadi pemicu bagi diplomasi yang lebih jujur dan seimbang?

Jawabannya belum pasti. Tapi yang jelas, dengan keputusan ini, Iran telah mengubah arah. Ia tak lagi mau berjalan dalam sistem yang menurutnya bias dan penuh jebakan. Dunia boleh saja menyebut tindakan ini sebagai provokatif, tapi bagi Iran, ini adalah bentuk bertahan. Bukan karena ingin menyerang, tapi karena tak lagi percaya. Dan dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kehilangan kepercayaan bisa lebih berbahaya daripada kehilangan senjata.

 Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer