Opini
Iran Bongkar Dokumen Rahasia Israel ke Publik

Di tengah malam yang sunyi, di suatu sudut Jakarta yang masih terjaga oleh lampu-lampu redup, hati ini terasa berat membaca laporan dari Al Mayadeen yang terbit pada 12 Juni 2025, hanya beberapa jam lalu—tepatnya pukul 11:26 malam WIB saat ini. Laporan itu memuat dokumen-dokumen yang mengguncang nurani: surat dari Merav Zafary-Odiz kepada Rafael Grossi pada 2016, email dari Elai Rettig pada 2020, hingga undangan acara dengan foto para panelis. Semuanya berbicara dalam diam tentang sebuah ketimpangan yang nyata. Bagaimana bisa dunia membiarkan Israel berkomunikasi secara bebas dengan IAEA (International Atomic Energy Agency atau Badan Tenaga Atom Internasional) tanpa tekanan, sementara Iran—yang justru tunduk pada aturan internasional—terus menerus ditekan dengan sanksi? Di negeri kita, di mana perdamaian kerap dijunjung tinggi sebagai solusi konflik, rasa tak adil ini terasa semakin mengusik. Apakah masih ada harapan bagi keadilan sejati?
Laporan tersebut mengungkap isi surat resmi tertanggal 10 Mei 2016, di mana Zafary-Odiz, perwakilan Israel, meminta pertemuan dengan Grossi, Ketua The Nuclear Suppliers Group (NSG) saat itu, untuk membahas hubungan Israel dengan kelompok tersebut. Stempel resmi dalam dokumen itu—tajam dan jelas—bukan hanya simbol administratif, melainkan lambang kekuatan diplomatik yang nyaris tak tersentuh. Lebih lanjut, terdapat pula email dan undangan acara pada 2020 dari Elai Rettig, akademisi dari Washington University, yang mengundang Zafary-Odiz dalam sebuah diskusi mengenai energi nuklir di Timur Tengah. Foto-foto para panelis yang menyertai undangan itu menambahkan sisi manusiawi: mereka berdiskusi secara terbuka, sementara di belakang layar, Iran terus-menerus dicurigai dan dituduh menyembunyikan program rahasia. Bagi kita di Indonesia, yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah dan keadilan dalam Pancasila, perbedaan perlakuan ini terasa begitu mencolok—seperti sebuah tamparan diplomatik.
#BREAKING | #Iranian state media has released the first batch of classified documents obtained through a major intelligence operation targeting “Israel”. 1/3 pic.twitter.com/u3buFooHdX
— Al Mayadeen English (@MayadeenEnglish) June 12, 2025
Yang membuat laporan ini lebih signifikan adalah latar belakang dari dokumen-dokumen tersebut. Al Mayadeen menyatakan bahwa dokumen ini merupakan bagian kecil dari ribuan dokumen yang diperoleh oleh intelijen Iran dalam sebuah operasi besar terhadap sistem keamanan Israel. Klaim dari Iran menyebutkan bahwa sebagian kecil dokumen itu sengaja dibagikan ke publik, sebagai bukti atas ketimpangan dan standar ganda dalam kebijakan internasional. Dalam konteks ini, yang disuguhkan ke publik bukan sekadar kebocoran informasi biasa, melainkan potongan dari sebuah puzzle besar yang membuka tabir koordinasi terselubung antara Israel dan institusi internasional seperti IAEA.
Hanya beberapa hari sebelum laporan itu dirilis, pada 8 Juni 2025, Iran mengumumkan telah menyita ribuan dokumen sensitif yang berkaitan dengan program nuklir Israel. Bahkan Grossi sendiri, pada 9 Juni 2025, mengakui bahwa informasi tersebut mengarah pada Pusat Penelitian Nuklir Soreq. Al Mayadeen melalui akun Twitter-nya menyebut bahwa dokumen-dokumen tersebut mengungkap adanya koordinasi antara Grossi dan Israel untuk melindungi program nuklir yang tidak dideklarasikan secara resmi. Ini adalah ironi besar dalam sistem internasional. Iran—yang merupakan anggota Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) sejak 1970—harus membuka pintu lebar-lebar untuk inspeksi internasional, sementara Israel, yang tidak pernah menandatangani NPT, tetap bebas dari pengawasan penuh.
Di tanah air kita, di mana nilai gotong royong dan keadilan sosial begitu ditekankan, muncul pertanyaan mendasar: mengapa prinsip solidaritas global terasa begitu timpang dalam kasus ini? Data tidak berbohong. Sejak Amerika Serikat menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018, Iran telah dijatuhi berbagai sanksi berat oleh Dewan Keamanan PBB, termasuk berdasarkan Resolusi 1737 (2006), karena dituduh melanggar NPT. Sementara itu, fasilitas nuklir Israel di Dimona, yang tak pernah diperiksa oleh badan internasional mana pun, tetap dilindungi oleh veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan. Bahkan pada 2009, ketika Konferensi Umum IAEA mencoba menekan Israel untuk bergabung dengan NPT, resolusi tersebut gagal ditegakkan karena ditentang keras oleh negara-negara Barat.
Laporan Al Mayadeen yang memuat gambar dan dokumen konkret kini menjadi senjata Iran dalam menantang kredibilitas IAEA. Mereka menuduh Rafael Grossi sebagai sosok yang bias dan tidak lagi netral dalam menjalankan mandat lembaganya. Di Indonesia—negara yang kerap merasa tidak didengar dalam percaturan global—apakah kita akan tetap diam? Atau justru saatnya menyuarakan bahwa ketidakadilan ini tidak bisa terus dibiarkan?
Namun, adil juga bila kita melihat dari sudut pandang lain. Israel berdalih bahwa program nuklirnya adalah upaya defensif untuk menangkal ancaman dari Iran dan negara-negara tetangganya. Argumen ini diterima dan bahkan didukung penuh oleh sekutu-sekutunya, khususnya Amerika Serikat. Dalam kerangka inilah surat tahun 2016 dan komunikasi diplomatik Israel dengan IAEA dilihat sebagai bagian dari strategi membangun legitimasi. Email Rettig dan undangan acara pada 2020 juga memperlihatkan upaya Israel membentuk opini publik melalui jalur akademik dan forum-forum diskusi internasional. Ini strategi cerdas dan sistematis—yang mau tak mau, patut kita cermati. Di negeri kita yang menjunjung tinggi prinsip diplomasi sebagai jalan tengah, wajar bila kita bertanya: apakah strategi ini tetap dapat dibenarkan bila tak semua negara diberi panggung yang sama?
Meski demikian, ketimpangan itu tetap mencolok. Iran, yang memiliki stok uranium hingga 275 kg dengan kemurnian 60% per Maret 2025—angka yang diakui sendiri oleh IAEA—terus-menerus dianggap sebagai ancaman global, meskipun Iran secara terbuka menyatakan programnya untuk tujuan damai. Di sisi lain, Israel, yang kemampuan nuklirnya diyakini telah eksis sejak 1960-an, tak pernah sekalipun dikenakan sanksi internasional setara. Ketika Al Mayadeen pada 12 Juni 2025 menyiarkan file-file yang menggugah integritas IAEA, dunia seperti membisu. Di Jakarta, di mana banyak dari kita mengamati konflik global dari kejauhan dengan empati, muncul pertanyaan: sampai kapan ketimpangan ini dibiarkan menjadi norma?
Lebih jauh lagi, pertanyaan paling mendasar adalah: apa gunanya lembaga seperti IAEA jika ia hanya menegakkan aturan pada mereka yang lemah? Idealnya, IAEA harus bersikap netral dan menegakkan NPT secara konsisten, baik kepada anggota maupun non-anggota. Namun kenyataannya, tekanan politik dari negara-negara kuat seperti Amerika Serikat telah mengarahkan fokus lembaga ini lebih kepada Iran, sementara Israel nyaris tak tersentuh. Pengakuan Grossi mengenai fasilitas Soreq hanya menjadi penegas betapa terbatasnya kewenangan lembaga ini dalam menghadapi negara yang dilindungi oleh kekuatan besar.
Di Indonesia, di mana nilai-nilai keadilan sosial dan persamaan hak begitu dijunjung tinggi, kita patut membayangkan sebuah dunia di mana lembaga internasional benar-benar menjalankan mandatnya secara adil dan setara. Mungkin, malam ini—di bawah langit Jakarta yang sunyi pada 12 Juni 2025—adalah saat yang tepat untuk merenungkan dan bertindak. Tekanan internasional dari negara-negara non-Barat seperti China dan Rusia bisa menjadi penggerak reformasi terhadap sistem yang timpang ini. Mungkin juga saatnya Indonesia bersuara lebih keras di forum internasional, menyerukan dunia yang lebih adil bagi semua bangsa.
Laporan Al Mayadeen bukan sekadar pemberitaan, tapi sebuah alarm moral. Dokumen-dokumen yang mereka tayangkan—surat, email, undangan—bukan hanya bukti teknis, melainkan cermin dunia yang penuh kontradiksi. Iran terus dipojokkan, Israel dilindungi, dan IAEA tampak kehilangan arah. Di Jakarta, di tengah malam yang tenang, kita diajak untuk tidak hanya merenung, tetapi juga bertanya: jika bukan sekarang, kapan dunia akan bangkit dan menuntut keadilan sejati? Jawabannya mungkin belum ada hari ini, tapi pertanyaannya harus terus kita suarakan—hingga setiap negara, termasuk Israel, diperlakukan setara di bawah hukum dan perjanjian internasional yang sama.