Connect with us

Opini

Iran, Antara Janji Perundingan dan Bayang Perang

Published

on

Dunia kembali menyaksikan paradoks yang berulang: Iran kembali besedia duduk di meja perundingan dengan E3 (Inggris, Prancis, Jerman), meski sejarah panjang perundingan itu lebih sering meninggalkan luka daripada keadilan. Bagi Iran, ini bukanlah bab baru yang lahir dari kepercayaan, melainkan bagian dari sikap politik yang konsisten: tidak menutup pintu pada jalur damai, sekalipun pengalaman membuktikan betapa pintu itu selalu dipasangi jebakan oleh pihak lain.

Kisah perundingan nuklir Iran adalah kisah panjang tentang janji-janji yang diingkari. Sejak perjanjian JCPOA ditandatangani, dunia sempat optimis bahwa konflik dapat diredakan dengan kesepakatan diplomatik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Amerika Serikat secara sepihak keluar dari perjanjian itu pada 2018 di bawah Donald Trump, meninggalkan Eropa yang hanya bisa beretorika tanpa mampu melindungi Iran dari sanksi dan tekanan. Sejak saat itu, setiap langkah diplomasi lebih terlihat sebagai upaya menunda krisis ketimbang menyelesaikannya.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Iran tahu betul bahwa perundingan dengan E3 sering kali hanya menjadi instrumen politik Barat untuk mengulur waktu, menekan, atau bahkan mengendalikan kebijakan dalam negeri Teheran. Namun, Iran tetap bersedia hadir. Alasannya sederhana: jalan damai selalu lebih mulia, dan Teheran ingin menegaskan kepada dunia bahwa mereka bukanlah pihak yang menolak kompromi. Dengan demikian, setiap kegagalan perundingan akan selalu kembali ke pihak lawan, bukan ke Iran. Ini strategi moral sekaligus politik yang jarang dimiliki negara-negara lain.

Namun, di balik meja perundingan, ada kenyataan lain yang tidak bisa diabaikan: kesiapan Iran untuk berperang. Pernyataan-pernyataan tegas dari para pejabat Iran, baik dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) maupun dari Kementerian Luar Negeri, menunjukkan satu garis yang konsisten: Iran tidak akan pernah tunduk pada tekanan. Jika musuh-musuh Iran memilih jalur militer, maka Iran pun siap menjawabnya. Dalam pandangan Teheran, perundingan bukanlah tanda kelemahan, melainkan salah satu opsi untuk menjaga martabat bangsa tanpa harus menumpahkan darah. Tetapi jika darah memang harus tumpah, maka itu akan menjadi bagian dari pengorbanan demi mempertahankan kedaulatan.

Di sinilah letak keseimbangan yang khas dari Iran: diplomasi dan perlawanan berjalan seiring, tanpa saling meniadakan. Dunia sering salah membaca sikap ini, menganggap Iran hanya bersandiwara atau sekadar mencari waktu. Padahal, Iran benar-benar memegang teguh prinsipnya. Mereka tidak menutup pintu damai, tetapi juga tidak pernah menyerahkan senjata. Inilah yang membedakan Iran dari negara-negara lain di kawasan, yang kerap tunduk pada tekanan Barat demi stabilitas semu.

Lebih jauh, ada aspek psikologis yang harus diperhitungkan. Bagi rakyat Iran, perundingan dengan E3 hanya akan dihargai sejauh itu memberikan manfaat nyata bagi kehidupan sehari-hari mereka. Sanksi ekonomi yang berkepanjangan telah menekan ekonomi domestik, memengaruhi harga bahan pokok, dan menekan rakyat kecil. Jika perundingan hanya melahirkan kata-kata manis tanpa hasil konkret, rakyat Iran sudah tahu betul siapa yang patut disalahkan: bukan pemerintah mereka, melainkan pihak-pihak yang berulang kali mengingkari janji.

Namun, rakyat Iran juga tidak ingin dilihat sebagai bangsa yang lemah. Mereka adalah bangsa dengan sejarah peradaban ribuan tahun, yang telah bertahan dari invasi, embargo, hingga perang berkepanjangan dengan Irak pada dekade 1980-an. Mentalitas bertahan inilah yang membuat ancaman militer Barat atau zionis tidak pernah benar-benar menakutkan bagi mereka. Bahkan, setiap ancaman sering kali justru memperkuat nasionalisme rakyat Iran.

Di sisi lain, perundingan yang akan berlangsung tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik yang lebih luas. Eropa sendiri tengah berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka ingin menunjukkan kemandirian diplomasi dari Amerika Serikat. Namun, di sisi lain, mereka juga tidak bisa lepas dari bayang-bayang Washington yang masih menjadi penentu utama kebijakan global. Akibatnya, E3 sering tampil ambigu: satu saat bicara manis kepada Iran, di saat lain menekan dengan ancaman sanksi. Ambiguitas inilah yang membuat Iran tidak pernah menaruh kepercayaan penuh kepada mereka.

Sementara itu, Iran memanfaatkan situasi ini dengan bijak. Mereka menyadari bahwa dunia multipolar mulai terbentuk, dengan Rusia, Tiongkok, dan negara-negara Global South menjadi mitra strategis yang tidak bisa diabaikan. Kehadiran Iran di meja perundingan E3 bukan berarti mereka mengabaikan poros lain ini. Justru sebaliknya, Iran menjadikan diplomasi dengan Eropa sebagai panggung untuk menunjukkan kepada sekutu-sekutunya bahwa mereka tetap konsisten memilih jalan damai, sambil tetap memperkuat pertahanan dan aliansi militer di luar meja perundingan.

Fakta bahwa Iran tetap mampu bertahan meski dikepung sanksi dan tekanan militer membuktikan ketangguhan strategi ini. Negara-negara lain di kawasan, yang lebih kaya secara sumber daya, sering kali goyah ketika berhadapan dengan tekanan Barat. Tetapi Iran tetap tegak, dan justru mampu memainkan peran besar di kawasan, dari Irak, Suriah, hingga Yaman. Semua itu adalah bukti bahwa perundingan dan perlawanan bisa berjalan berdampingan sebagai strategi nasional.

Kini, pertanyaan besar yang tersisa adalah: ke mana arah langkah Iran berikutnya? Jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya sederhana: arah langkah Iran tergantung pada pilihan musuh-musuhnya. Jika mereka memilih menepati janji dan menghormati kedaulatan Iran, maka jalan damai akan terbuka. Tetapi jika mereka kembali mengingkari, menekan, atau bahkan menyerang, maka Iran tidak akan ragu untuk menempuh jalan perang.

Dan di titik inilah opini ini menemukan kesimpulannya: sikap Iran adalah cermin dari kedaulatan sejati. Negara yang berdaulat tidak akan membiarkan dirinya dipaksa memilih antara damai atau perang oleh pihak lain. Iran menegaskan bahwa mereka siap untuk keduanya, dengan syarat dan kepentingan rakyatnya sebagai kompas utama. Inilah pesan yang ingin disampaikan Teheran kepada dunia: bahwa kedaulatan bukanlah kata-kata kosong, melainkan sikap nyata untuk tidak tunduk, tidak menyerah, dan tidak goyah, betapapun besar tekanan yang datang.

Bagi bangsa-bangsa lain, terutama yang sering ragu menghadapi tekanan global, sikap Iran ini bisa menjadi cermin. Bahwa kedaulatan tidak datang dari kompromi tanpa syarat, melainkan dari kemampuan untuk berkata: “Kami siap berunding, tetapi kami juga siap berperang.” Dunia boleh menilai Iran keras kepala, tetapi bagi rakyat Iran sendiri, inilah cara terbaik untuk menjaga martabat mereka di tengah arus global yang penuh tipu daya.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer