Connect with us

Opini

Ini Alasan Israel Terus Berperang

Published

on

Perang 12 hari antara Israel dan Iran yang dimulai pada 13 Juni 2025 bukan sekadar babak baru dalam konflik Timur Tengah. Ia membuka jendela yang lebih dalam pada cara dunia bekerja: bagaimana kekalahan militer bisa ditutupi oleh stabilitas finansial, dan bagaimana sistem global tetap mendanai mesin perang meski tak lagi menang. Dalam perang itu, untuk pertama kalinya sejak 1973, wilayah Israel daratan diserang secara langsung dan masif oleh negara lain. Dan untuk pertama kalinya pula, teknologi pertahanan yang selama ini dipuji dan dijual sebagai kebanggaan Israel—mulai dari Iron Dome, David’s Sling, Arrow, hingga sistem intersepsi canggih lainnya—gagal menunjukkan supremasi.

Ratusan rudal, drone, dan peluru kendali yang ditembakkan Iran berhasil menembus sistem pertahanan berlapis Israel. Kota-kota besar seperti Tel Aviv, Be’er Sheva, dan Haifa mengalami kerusakan nyata. Perekonomian terguncang, lalu lintas udara sempat lumpuh, dan rakyat Israel untuk pertama kalinya benar-benar merasakan ketakutan yang selama ini hanya dialami rakyat Palestina, Lebanon, dan Suriah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Namun, kegagalan itu ternyata tidak diikuti oleh keruntuhan finansial. Dalam laporan Moody’s yang dirilis pada 7 Juli 2025, Israel memang mengalami revisi negatif atas outlook kreditnya. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melonjak dari 70% menjadi 75%, dan defisit fiskal 2025 diproyeksikan membengkak menjadi 8% dari total PDB. Ini semua adalah angka-angka krusial yang menggambarkan tekanan serius terhadap fondasi fiskal sebuah negara. Namun meskipun data menunjukkan guncangan, pasar modal tidak berpaling. Obligasi Israel tetap laku, arus modal ke sektor teknologi tetap tinggi, dan investor tidak beranjak. Bahkan lembaga pemeringkat itu memuji “akses pasar yang kuat” dan “resiliensi struktural” Israel.

Inilah paradoks besar yang kini kita hadapi. Sebuah negara gagal membuktikan keunggulan militernya dalam perang terbuka, mengalami lonjakan defisit, dan kehilangan efek gentar yang selama ini menjadi kekuatan tak terlihatnya. Namun dunia tetap mengucurkan dana. Pasar tetap percaya. Bahkan citra Israel di mata investor tidak rusak. Dalam sistem global hari ini, ternyata menang perang bukan syarat untuk didanai—yang penting adalah tetap eksis di medan konflik dan berada di pihak yang ‘tepat’.

Israel tahu benar bagaimana memainkan peran ini. Sejak berdiri, negara ini tidak pernah keluar dari medan tempur. Tak ada dekade tanpa perang atau agresi. Dan di balik semua itu, ada kesadaran struktural: bahwa perang tidak hanya mempertahankan teritori, tetapi juga menopang ekonomi. Dalam sistem kapitalisme global yang dikendalikan oleh logika pasar, perang adalah produk, dan Israel adalah salah satu pemasok paling setia.

Namun, perang 12 hari ini adalah titik balik. Sebab selama ini, Israel menjual senjata dan teknologi pertahanan dengan kebanggaan bahwa semuanya telah terbukti di medan perang—disebut “combat-proven”. Tapi perang terakhir ini justru membuktikan sebaliknya. Sistem pertahanan Israel jebol di depan mata dunia. Drone dan rudal Iran menembus langit Israel tanpa bisa dihentikan. Gambar ledakan, kobaran api, dan jatuhnya proyektil ke pusat-pusat kota merusak reputasi sistem senjata buatan mereka. Apa yang selama ini dijual sebagai keunggulan tak tertandingi, kini dipertanyakan bahkan oleh sekutunya sendiri.

Namun ironisnya, pasar tetap tak peduli. Dunia keuangan internasional tidak melihat pada siapa yang menang atau kalah, tapi pada siapa yang bisa menyerap risiko dan tetap tunduk pada aturan modal. Dan Israel, meski terpukul, tetap dianggap stabil secara politik dan terbukti mampu mengelola ketegangan tanpa benar-benar runtuh. Maka uang tetap datang, kredit tetap mengalir, dan investasi tetap tertarik masuk.

Di sinilah kita menemukan wajah sesungguhnya dari sistem yang membentuk dunia hari ini. Bukan keadilan yang menentukan kelayakan suatu negara untuk didanai, bukan pula keberhasilan membangun perdamaian. Yang dihitung adalah kemampuan mempertahankan posisi dalam ekosistem global—ekosistem yang butuh konflik, tapi tidak boleh membesar di luar kendali. Dalam logika ini, perang yang singkat, intens, tapi terkontrol, seperti perang Israel–Iran, bukanlah kegagalan total, melainkan “biaya geopolitik” yang bisa dikompensasi oleh stabilitas jangka menengah.

Meski demikian, satu hal kini menjadi jelas: perdamaian sejati akan merusak seluruh tatanan ini. Jika Israel tak lagi berperang, tak lagi mengancam atau merasa terancam, dan tak lagi menjadi garda depan proyek-proyek Barat di Timur Tengah, maka nilai strategisnya akan menurun. Perusahaan senjata akan kehilangan pasar. Startup keamanan digital akan kehilangan panggung. Anggaran militer akan mulai dipertanyakan. Dan pasar akan mulai bertanya: apa yang bisa dijual dari Israel jika tak ada perang?

Karena itu, perang tidak lagi menjadi pilihan, melainkan keperluan. Bukan karena Israel haus darah, tetapi karena sistem global telah menciptakan insentif yang membuat negara seperti Israel tidak mungkin benar-benar damai. Justru dalam ketegangan itulah nilai strategisnya terjaga, posisinya dipertahankan, dan modal terus mengalir. Ini adalah siklus kejam yang dikendalikan bukan oleh rakyat, bukan oleh parlemen, tapi oleh kalkulasi ekonomi dan politik internasional.

Bahkan dalam kegagalan militer pun, Israel berhasil menunjukkan satu hal: bahwa ia tetap dibutuhkan. Dibutuhkan bukan untuk menang, tapi untuk terus menjadi bagian dari stabilitas semu yang bisa dijual ke investor, ke kongres AS, dan ke pasar modal. Dunia tidak membiayai Israel karena ia adil atau kuat, melainkan karena ia disiplin dalam menjaga peran sebagai mitra setia dalam ketegangan yang terkontrol.

Dan selama peran itu tetap dijalankan, dunia akan terus mengalirkan dana. Lembaga pemeringkat akan terus memberi ruang. Investor akan terus membanjiri sektor teknologi, dan para pejabat akan terus menyebut Israel sebagai pilar demokrasi di Timur Tengah, walau yang terjadi di lapangan adalah penjajahan dan agresi yang terus berulang.

Maka pertanyaan mengapa Israel terus berperang tidak bisa dijawab hanya dengan melihat peta konflik atau strategi militer. Jawabannya harus dilacak dalam sistem yang lebih besar—sistem yang menjadikan konflik sebagai kebutuhan ekonomi, dan perdamaian sebagai gangguan terhadap stabilitas pasar. Dalam sistem seperti itu, perang bukan kegagalan, melainkan rutinitas. Dan Israel, sejauh ini, adalah pemain yang paling mahir memainkannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer