Connect with us

Opini

Imbalan Diam-diam: Netanyahu Tak Serang Iran, Trump Serang Pengadilan

Published

on

Ridiculous Witch Hunt” (Perburuan Penyihir yang Konyol) — begitu kata Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Tapi kali ini bukan untuk menyindir lawan politik di Washington atau menanggapi jaksa agung negaranya. Trump melontarkannya kepada pengadilan Israel yang sedang menyidangkan Benjamin Netanyahu atas dugaan kasus korupsi. Ia menyerukan agar kasus itu dibatalkan seketika atau Netanyahu diberi pengampunan. Dan semua itu disampaikan melalui platform Truth Social miliknya, dengan gaya dramatis dan kata-kata huruf kapital yang khas.

Trump bukan sekadar marah. Ia merasa bahwa sekutu terdekatnya, Netanyahu—yang ia sebut sebagai “Great War Time Prime Minister”—sedang diperlakukan tidak adil. Padahal, menurutnya, Netanyahu baru saja memimpin negaranya melalui salah satu “momen terbesar dalam sejarah Israel”: serangan militer terhadap Iran, dalam apa yang ia gambarkan sebagai perang selama 12 hari. Trump menyebut Netanyahu sebagai “warrior” yang pantas dipuja, bukan diadili. Ia bahkan menulis bahwa “Amerika Serikat menyelamatkan Israel, dan sekarang saatnya Amerika Serikat menyelamatkan Bibi Netanyahu.” Kalimat itu sendiri sudah cukup menggambarkan di mana Trump menempatkan dirinya—bukan sekadar sebagai pemimpin, tetapi sebagai pelindung elite dunia.

Namun di balik semua retorika ini, tersimpan persoalan yang jauh lebih dalam dan kompleks: apakah dukungan politik dan keberhasilan militer bisa menjadi alasan untuk menghentikan proses hukum yang sah? Apakah karena seorang tokoh dianggap “berjasa” dalam satu peristiwa, maka ia berhak kebal hukum? Jika iya, apa gunanya demokrasi dan supremasi hukum?

Dakwaan terhadap Netanyahu tidak ringan. Ia dituduh menerima hadiah mewah, termasuk cerutu, sampanye, dan bahkan sebuah boneka Bugs Bunny, dari para pengusaha kaya sebagai imbalan untuk berbagai keuntungan politik. Ia juga dituduh melakukan manuver untuk mempengaruhi pemberitaan media demi menguntungkan karier politiknya. Kasus ini telah bergulir sejak 2020 dan merupakan kasus pertama dalam sejarah Israel di mana seorang perdana menteri aktif diadili karena dugaan korupsi. Netanyahu sendiri membantah semua tuduhan dan menyebutnya sebagai bagian dari konspirasi politik untuk menjatuhkannya.

Tapi Trump, seperti biasa, melihat perkara ini tidak dari kacamata hukum, melainkan dari sudut pandang loyalitas dan strategi kekuasaan. Netanyahu, menurutnya, adalah sekutu setia, sosok yang “bertahan dalam neraka bersama” selama agresi militer terhadap Iran. Maka, dalam logika politik transaksional yang sudah sering ia tunjukkan sejak lama, Trump merasa berkepentingan untuk membalas loyalitas itu dengan pembelaan politik. Terutama karena Netanyahu, dalam krisis tersebut, tidak melangkah sejauh yang dikhawatirkan banyak pihak—yaitu melakukan invasi besar-besaran ke wilayah Iran.

Jika benar Netanyahu menahan diri atas saran Trump, maka pembelaan Trump hari ini bisa dibaca sebagai imbalan diam-diam: Netanyahu menyelamatkan Trump dari keterlibatan AS dalam perang besar, maka kini Trump “menyelamatkan” Netanyahu dari dakwaan hukum yang mengancam karier politiknya. Inilah politik timbal balik yang tak pernah terang di panggung resmi, tapi bisa dibaca jelas dari narasi publik.

Penting untuk dipahami bahwa ini bukan sekadar soal dua tokoh yang saling membela. Ini menyangkut bagaimana prinsip hukum bisa direduksi menjadi alat negosiasi kekuasaan. Saat seorang pemimpin yang diduga korup digambarkan sebagai “martir politik” atau “pahlawan perang”, publik diarahkan untuk memilih: apakah kita akan menuntut keadilan, atau kita harus memaafkan demi stabilitas dan keamanan nasional? Padahal, keadilan dan keamanan seharusnya tidak perlu dipertentangkan.

Kasus ini menjadi ironi besar bagi Israel, yang selama ini memosisikan diri sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Ketika sistem hukumnya bekerja untuk mengadili pejabat tinggi yang berkuasa, justru muncul tekanan dari luar—dari negara yang menjadi sekutu terdekatnya—agar pengadilan itu dibatalkan. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap kedaulatan hukum sebuah negara, dan dalam jangka panjang bisa mengikis kepercayaan rakyat terhadap institusi keadilan.

Di sisi lain, ini juga cermin betapa relasi internasional hari ini sangat personalistik. Diplomasi tidak lagi dijalankan antarnegara, melainkan antarindividu yang saling menyelamatkan satu sama lain demi kelanggengan kekuasaan mereka. Trump tidak berbicara atas nama rakyat Amerika, tapi atas nama dirinya sendiri—seorang tokoh yang merasa berutang kepada Netanyahu atas “kesetiaan” dalam berbagai momen krisis. Sama seperti bagaimana ia pernah memaafkan sekutunya sendiri yang terjerat hukum di AS, kini ia mencoba menciptakan narasi bahwa Netanyahu juga harus “diselamatkan”.

Di Indonesia, dinamika ini tidak sepenuhnya asing. Kita pernah menyaksikan bagaimana figur-figur berpengaruh bisa bertahan dari jerat hukum karena dianggap memiliki “jasa besar” bagi negara—baik karena menang pemilu, membangun proyek besar, atau menciptakan stabilitas. Ketika masyarakat mulai terbiasa dengan narasi “pahlawan tak bisa bersalah”, maka hukum pun kehilangan daya tawarnya. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, hukum harus tetap tegak meski langit runtuh.

Apa yang dilakukan Trump bukan hanya soal Netanyahu. Ini adalah pesan kepada dunia: bahwa loyalitas kepada kekuasaan lebih penting daripada kesetiaan kepada hukum. Dan jika logika ini dibiarkan berlaku, maka kita akan menyaksikan kemunduran besar dalam peradaban hukum internasional. Pemimpin yang kuat akan terus menyelamatkan sesamanya, membentuk aliansi anti-keadilan yang berlindung di balik retorika perang, nasionalisme, dan ketakutan kolektif.

Apakah Netanyahu bersalah? Biarlah pengadilan yang membuktikan. Tapi saat proses hukum itu sendiri dilabeli sebagai “Perburuan Penyihir yang Konyol” oleh pemimpin negara lain, kita patut khawatir. Bukan hanya karena tekanan itu bisa mempengaruhi hasil, tapi karena itu menandai semakin sempitnya ruang bagi kebenaran dan keadilan untuk berbicara dalam tatanan global yang dipenuhi figur-figur berkuasa dengan loyalitas saling melindungi.

Mungkin benar bahwa Netanyahu tak jadi menyerang Iran secara total. Tapi bukan berarti ia bisa bebas dari jerat hukum. Setiap pemimpin, betapa pun besar jasa militernya, tetap harus tunduk pada hukum. Dan Trump, jika benar ia mengklaim menyelamatkan dunia dari perang besar, seharusnya juga menghormati pengadilan yang sedang menyelamatkan demokrasi dari kerusakan moral akibat impunitas.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *