Opini
Hubungan Eropa–Rusia Kian Panas: Bara yang Menunggu Ledakan

Kaliningrad, sebuah wilayah kecil milik Rusia yang terjepit di antara Polandia dan Lituania, kini menjadi objek perhatian yang tak kalah panas dari medan tempur di Ukraina. Jenderal Christopher T. Donahue, komandan Angkatan Darat AS untuk Eropa dan Afrika, belum lama ini menyampaikan sesuatu yang terdengar seperti gembar-gembor prajurit yang tak sabar menekan pelatuk: NATO, katanya, bisa menetralkan Kaliningrad dalam waktu yang lebih cepat dari sebelumnya. Gampang. Tinggal serbu dari darat. Selesai urusan. Seolah-olah wilayah yang penuh sistem rudal canggih, radar deteksi dini, dan Iskander berpemandu presisi itu hanyalah rumah kosong tanpa pagar dan anjing penjaga.
Pernyataan ini bukan sekadar kepercayaan diri militer. Ia adalah penanda bahwa Barat kini tak sekadar membekali Ukraina dengan senjata, tapi mulai menyusun rencana aktif untuk masuk ke gelanggang langsung, ke jantung benteng Rusia di Eropa. Retorika macam ini bukan hal sepele. Apalagi keluar dari mulut jenderal berpangkat tinggi, di panggung resmi, di hadapan para perwira NATO. Ini bukan omong kosong kedai kopi. Ini bahasa barak militer.
Dan tak butuh waktu lama, Moskow merespons seperti biasa: dengan peringatan keras. Rusia menyatakan hak untuk menyerang pangkalan militer negara mana pun yang membantu Ukraina menyerang dalam wilayah Rusia. Sederhana logikanya: kalau kalian bantu tetangga kami menampar wajah kami, jangan salahkan kami kalau kami membalas langsung ke kalian. Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, bahkan menyebut niat beberapa negara Eropa untuk membentuk “koalisi sukarela” guna masuk ke Ukraina sebagai bentuk intervensi terang-terangan. Siap-siap saja, katanya, kami akan anggap semua pasukan asing sebagai sasaran sah.
Yang menarik—atau ironis—adalah betapa semua pihak mengklaim sedang menjaga perdamaian. NATO menempatkan pasukan Jerman secara permanen di Lituania, negara kecil yang berbatasan langsung dengan Kaliningrad dan Belarus, “demi menjaga keamanan.” Jerman sendiri bangga, ini penempatan permanen pertama sejak Perang Dunia II. Momen bersejarah, katanya. Yah, kalau dulu mereka masuk ke timur untuk menduduki, sekarang katanya untuk melindungi. Dunia memang penuh perubahan—dan pengulangan.
Masalahnya, dalam geopolitik, kata “perlindungan” seringkali tak jauh beda dari “pendudukan,” tergantung dari siapa yang bicara. Rusia tentu tak melihat pasukan Jerman di Lituania sebagai pelindung damai. Apalagi jika senjata-senjata jarak jauh hasil kolaborasi Jerman dan Inggris benar-benar digunakan untuk menghantam target di dalam Rusia. Perjanjian Kensington yang baru ditandatangani antara Berlin dan London bahkan menghapus larangan lama: kini senjata buatan Jerman boleh digunakan untuk menghancurkan wilayah Rusia secara langsung. Hebat. Sekutu lama kini bukan hanya kirim senjata, tapi izin penuh untuk membunuh dari jauh.
Sementara itu, para pemimpin Eropa tampil di podium, wajah serius dan mulut penuh jargon diplomatik: “solidaritas,” “pertahanan bersama,” “keamanan regional.” Kata-kata seperti itu entah kenapa selalu terdengar lebih indah saat dilafalkan dari balik mikrofon berlapis emas di aula berkarpet merah. Tapi jauh dari aula itu, di parit-parit, bunker, dan reruntuhan, orang-orang biasa mati. Anak-anak kehilangan orang tua. Rumah jadi abu. Dan kita masih saja menyebut ini “strategi pertahanan”?
Anehnya, retorika Eropa kini lebih mirip retorika Rusia di awal perang Ukraina. Dulu Rusia bilang: ini operasi militer terbatas. Demi keamanan nasional. Demi mencegah ekspansi NATO. Kini NATO berkata: ini penempatan pasukan terbatas. Demi menjaga Lituania. Demi menanggapi agresi Rusia. Dua sisi cermin. Sama-sama berkaca, tapi enggan melihat wajah sendiri.
Dari Indonesia—dari Bekasi, Garut, atau Pontianak—kita mungkin hanya melihat ini sebagai berita luar negeri. Tapi percayalah, suhu global tak mengenal batas negara. Harga pangan kita bisa melambung hanya karena ladang gandum di Ukraina terbakar. Ekonomi dunia bisa limbung hanya karena satu misil menghantam kilang gas di Kaliningrad. Dan, siapa tahu, di masa depan anak muda Indonesia bisa dipaksa memilih: ikut NATO, ikut BRICS, atau jadi penonton abadi di tribun Global South.
Yang lebih menyedihkan: sebagian elite di Barat mulai bicara tentang “perang yang tak terhindarkan” seolah-olah ini hukum alam. Seolah perang adalah musim yang pasti datang setelah musim panas. Mereka menyusun strategi, membagi sektor pertempuran, dan mengukur daya hancur, sementara rakyat biasa cuma ingin listrik tetap nyala dan harga telur tetap stabil. Tapi siapa peduli rakyat jika yang dibahas adalah peluncur rudal dan jalur suplai amunisi?
Ada satu hal yang tak disebut dalam semua pidato para jenderal itu: risiko kehancuran total. Dunia tak bisa bermain-main dengan dua kekuatan nuklir yang saling curiga dan sama-sama merasa benar. Kaliningrad bukan Irak. NATO bukan tentara bayaran. Dan Rusia bukan negara yang bisa dijatuhkan dengan sanksi belaka. Ini pertaruhan eksistensial, dan jika salah langkah, kita semua bisa ikut terbakar.
Tapi ya, politik internasional memang tak selalu rasional. Kadang keputusan diambil bukan berdasarkan akal sehat, tapi ego, gengsi, atau polling. Dan sejarah—seperti yang berkali-kali kita lihat—sering kali ditulis bukan oleh orang bijak, tapi oleh orang yang paling keras berteriak.
Kalau ditanya, apakah perang NATO–Rusia tinggal menunggu waktu? Jawabannya: belum tentu. Tapi arah angin sudah jelas. Langkah-langkah sudah diambil. Dan pintu-pintu diplomasi yang dulu terbuka lebar, kini mulai disangga dengan tumpukan rudal dan tank.
Entah siapa yang pertama menekan pelatuk. Entah apa yang jadi pemicunya nanti: serangan balasan di Donbas, sabotase jalur pipa di Baltik, atau kesalahan kalkulasi di radar pertahanan udara. Tapi satu hal pasti: jika bara ini dibiarkan, ia bisa menjadi ledakan yang akan mengguncang bukan hanya Eropa, tapi seluruh dunia.
Jadi kalau hari ini Anda membaca berita bahwa pasukan Jerman akan “melindungi” Lituania, atau bahwa NATO bisa “dengan cepat menghancurkan Kaliningrad,” jangan buru-buru kagum pada kecanggihan militer mereka. Ingatlah bahwa sejarah penuh dengan orang-orang yang yakin akan menang perang—sampai mereka kehilangan segalanya.
Dan mungkin, sambil menyeruput kopi di pagi hari, kita akan bertanya: apa benar ini semua demi “keamanan”? Atau sebenarnya hanya demi satu hal yang tak pernah berubah sejak zaman kaisar dan kolonial: kekuasaan.
Sumber:
Pingback: Eropa Bingung Menentukan Sikap, Rusia Kian Menguat