Connect with us

Opini

HTS, Tel Aviv, dan Washington: Segitiga Baru Timur Tengah?

Published

on

Israel dan Suriah akan menandatangani perjanjian damai sebelum akhir 2025. Kalimat itu mungkin terdengar seperti kabar baik dalam bingkai diplomasi dan stabilitas regional. Namun, bagi siapa pun yang mengikuti sejarah panjang permusuhan dua negara ini, pernyataan tersebut justru membangkitkan pertanyaan mendalam: bagaimana mungkin dua negara yang secara historis berseteru dan dipisahkan oleh darah, perang, dan trauma kolektif kini tiba-tiba siap bersalaman? Jawabannya tersembunyi bukan dalam lompatan perdamaian, tapi dalam perubahan kekuasaan yang mencolok—dan mencemaskan.

Kabar itu pertama kali mencuat dari media Israel, i24NEWS, yang mengutip sumber Suriah pasca-kejatuhan rezim Bashar al-Assad. Disebutkan bahwa dalam kesepakatan damai tersebut, Israel akan secara bertahap menarik diri dari wilayah-wilayah Suriah yang baru mereka duduki sejak 8 Desember 2024—termasuk puncak strategis Gunung Hermon—dan akan menormalisasi penuh hubungan dengan pemerintahan baru Suriah. Pemerintahan baru itu bukanlah hasil dari pemilu bebas, bukan pula hasil rekonsiliasi nasional, melainkan produk dari pertempuran bersenjata, kekacauan sektarian, dan campur tangan kekuatan asing.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ahmad al-Sharaa, kini menjadi presiden de facto Suriah. Sosok ini sebelumnya dikenal luas sebagai Abu Mohammad al-Jolani, komandan kelompok ekstremis Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang pada gilirannya memiliki akar sejarah yang bersambung ke Al-Qaeda dan ISIS. Dunia internasional selama bertahun-tahun mengutuk eksistensi kelompok ini. Bahkan media Barat dan lembaga keamanan global menempatkan Jolani sebagai simbol terorisme transnasional. Kini, hanya dalam hitungan bulan pasca-kudeta terhadap Assad, ia menjadi mitra diplomatik resmi bagi Israel dan bahkan digandeng oleh Amerika Serikat sebagai bagian dari proses perdamaian Timur Tengah. Transformasi ini luar biasa cepat—dan luar biasa janggal.

Pada 27 Juni, Gedung Putih secara resmi mengumumkan bahwa Presiden Donald Trump berharap Suriah akan menjadi negara berikutnya yang bergabung dalam Abraham Accords. Pernyataan itu disampaikan oleh Juru Bicara Karoline Leavitt, yang mengungkap bahwa Trump telah bertemu langsung dengan Sharaa dan secara eksplisit mendorongnya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Dalam pernyataannya, Leavitt menambahkan bahwa “perdamaian yang tahan lama” di Timur Tengah bisa tercapai dengan lebih banyak negara bergabung dalam kerangka ini. Tapi pertanyaannya: perdamaian bagi siapa? Dan dengan syarat siapa?

Jika menengok ke belakang, perubahan ini tak datang tiba-tiba. Sejak 2011, ketika pemberontakan di Suriah pecah dan berkembang menjadi perang saudara brutal, negara-negara Barat bersama sekutu regional mereka menjalankan strategi yang kemudian dikenal sebagai Operation Timber Sycamore. Melalui program rahasia CIA ini, Amerika Serikat bersama beberapa negara Teluk mempersenjatai kelompok-kelompok bersenjata, termasuk yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Tujuan utamanya: menggulingkan Assad dan menghancurkan poros perlawanan yang menghubungkan Teheran–Damaskus–Beirut. Namun proyek ini sempat gagal total ketika Assad bertahan dengan dukungan Iran dan Rusia.

Kini, dengan bangkitnya HTS dan dikuasainya Damaskus oleh seorang mantan jihadis, kita patut bertanya: apakah ini kemenangan bagi rakyat Suriah atau kemenangan untuk arsitek asing yang sejak awal ingin merobohkan perlawanan anti-Israel dari dalam?

Israel, yang selama puluhan tahun tidak pernah mau membuka ruang diplomatik dengan Suriah kecuali dengan syarat pengakuan penuh atas kedaulatan Golan Heights, tiba-tiba mengajukan kesepakatan damai. Padahal pada Desember 2024, pasukan Israel melancarkan operasi militer besar-besaran ke wilayah buffer zone di Suriah, menghancurkan sistem pertahanan udara Suriah, dan secara sepihak mencaplok posisi strategis. Setelah operasi tersebut, mereka menawarkan “perdamaian” kepada pemerintahan baru yang lahir dari kekacauan. Ini bukan sekadar pertukaran senjata dengan diplomasi—ini adalah pelunakan penjajahan lewat skema damai yang sepihak dan tidak adil.

Simbolisme “Golan Heights akan menjadi taman perdamaian” yang disampaikan oleh sumber Suriah kepada i24NEWS adalah ironi pahit. Gunung dan dataran tinggi yang sejak 1967 dicaplok Israel secara ilegal, yang telah menjadi medan pertempuran sengit dan simbol kedaulatan Suriah, kini digambarkan sebagai “taman” hanya karena telah dikosongkan dari tentara Suriah dan kini terbuka bagi proyek integrasi ekonomi baru bersama Israel. Retorika semacam ini sering digunakan dalam sejarah kolonialisme—ubah medan perang menjadi destinasi wisata, ubah zona militer menjadi taman nasional, lalu klaimnya sebagai bukti bahwa penjajahan telah usai.

Di Indonesia, berita ini mungkin hanya sekilas masuk ke layar ponsel kita lewat media daring atau jejaring sosial. Tapi maknanya jauh lebih dalam. Sebagai negara yang dalam sejarahnya menolak kolonialisme dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa lain, kita punya tanggung jawab moral untuk memeriksa ulang makna perdamaian yang ditawarkan oleh skema-skema seperti Abraham Accords. Apakah kita bersikap kritis terhadap proses normalisasi yang terjadi dalam kondisi tidak setara? Ataukah kita ikut mengamini bahwa siapa pun yang bersedia menandatangani kesepakatan dengan Israel—tak peduli bagaimana dan dengan siapa mereka berkuasa—adalah bagian dari kemajuan?

Indonesia selama ini konsisten mendukung Palestina dan menolak pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi tekanan regional dan global terus meningkat. Negara-negara Arab satu per satu menormalisasi hubungan. Beberapa dari mereka bahkan melakukannya setelah konflik internal atau tekanan ekonomi parah, seperti Sudan dan Maroko. Kini, Suriah yang dulunya menjadi tembok terakhir anti-normalisasi, telah jatuh, dan bukan hanya sekadar jatuh—tetapi berubah arah 180 derajat dengan membawa ideologi yang dulu dijanjikan akan dihancurkan oleh perang global melawan teror.

Apa makna semua ini bagi masa depan Timur Tengah? Jika teroris bisa berubah menjadi kepala negara dalam waktu singkat, dan diangkat menjadi mitra strategis oleh negara-negara besar, maka siapa sebenarnya yang mengatur lalu lintas moral global? Jika kehancuran Suriah dimaknai sebagai prasyarat untuk membuka ruang damai dengan Israel, apakah itu bentuk rekonsiliasi atau sekadar taktik kontrol wilayah? Dunia menyaksikan pergeseran ini dengan tenang, nyaris tanpa kritik keras dari lembaga-lembaga HAM internasional maupun media arus utama yang dulu keras mengecam kehadiran HTS.

Perubahan cepat ini juga menantang konsistensi wacana Barat tentang terorisme. Jika Abu Mohammad al-Jolani kini diakui sebagai Presiden Ahmad al-Sharaa, dan diperlakukan sebagai mitra damai yang sah, maka kita harus bertanya: sejak kapan seorang ekstremis bersenjata bisa mendapat legitimasi hanya dengan berganti jas dan berpose dalam konferensi pers bersama pemimpin dunia? Bukankah ini justru memperlihatkan bagaimana retorika perang melawan teror bisa dikendalikan sesuai kepentingan?

Akhirnya, kita sampai pada titik kontemplasi. Dunia berubah cepat, dan dalam perubahan itu, seringkali batas antara penjajah dan korban, antara ekstremis dan pemimpin, antara penjaga perdamaian dan arsitek kekacauan menjadi kabur. Apakah kita masih bisa membedakan siapa yang membawa keadilan dan siapa yang menyamarkannya dengan diplomasi? Apakah kita cukup berani untuk menolak narasi resmi ketika kita tahu ia disusun di atas reruntuhan kedaulatan, luka sejarah, dan suara rakyat yang tak pernah diajak bicara?

Apa pun jawabannya, yang pasti, kita sedang menyaksikan babak baru dalam politik Timur Tengah—dan barangkali dalam sejarah dunia—di mana makna “damai” tak lagi identik dengan keadilan, melainkan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang rela tunduk.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer