Opini
Hizbullah, Dolar, dan Peta Lebanon yang Ingin Digambar Ulang AS

Di sebuah ruangan berpendingin udara, di mana peta dunia tergantung rapi di dinding dan gelas-gelas kristal berdenting pelan, seorang utusan Amerika berbicara tentang nasib Lebanon seolah ia sedang membahas proyek real estate di tengah Manhattan. Tom Barrack, utusan khusus AS untuk Suriah, dengan penuh percaya diri menyampaikan bahwa Lebanon, negeri kecil yang dipenuhi luka-luka sejarah dan reruntuhan ekonomi, harus “bergerak cepat” melucuti Hizbullah dan menerima cetak biru baru Timur Tengah, atau siap-siap dilebur kembali ke dalam peta kekuasaan lama yang disebutnya ‘Bilad al-Sham’. Sebuah pengingat halus—atau tepatnya, peringatan kasar—bahwa dalam logika geopolitik Washington, kemerdekaan suatu bangsa hanya sah jika ia tunduk.
Lebanon diancam akan runtuh—bukan karena gempa bumi atau badai, bukan pula karena kesalahan internal semata, tetapi karena keberanian mereka mempertahankan satu hal yang masih tersisa: hak untuk menentukan nasib sendiri. Di tengah gempuran krisis ekonomi, anjloknya mata uang, dan ketidakpastian politik, kini mereka dihadapkan pada ultimatum global: disarm or collapse. Lucu, jika tak tragis. Amerika Serikat, negara yang menghabiskan sekitar 877 miliar dolar untuk anggaran militer pada 2022, kini meminta satu-satunya kekuatan pertahanan rakyat Lebanon, Hizbullah, untuk menyerahkan senjata demi mendapatkan sekarung bantuan. Bukan bantuan darurat yang netral, tentu. Tapi bantuan yang sudah diberi syarat, dicetak dengan cap, dan disisipkan kontrak politik bersalin rupa: kepatuhan.
Barrack bicara tentang disarmament dengan nada seolah ia sedang menawar harga pasar. Ia menawarkan janji-janji manis bantuan dari Saudi, Qatar, dan tentu saja Washington, tapi dengan satu syarat sederhana: “hebohkan Lebanon dengan pelucutan senjata Hizbullah.” Sederhana, bukan? Lupakan fakta bahwa Hizbullah adalah satu-satunya kekuatan militer non-negara yang berhasil mengusir pasukan ‘Israel’ dari Lebanon selatan. Lupakan bahwa negara tetangga yang ia sebut “Israel” masih secara rutin melanggar wilayah udara dan membombardir desa-desa Lebanon, termasuk membunuh warga sipil seperti di al-Khiam. Dalam dunia versi Barrack, yang salah bukan penjajah yang menyerang, tapi rakyat yang melawan.
Dan bila logika ini terdengar absurd, itu karena memang absurd. Tapi begitulah cara kerja imperialisme gaya baru: menciptakan kekacauan, lalu menawarkan “solusi” sebagai satu-satunya jalan keluar—dengan harga yang sangat mahal, tentu saja. Mereka menyebutnya diplomasi, padahal itu lebih mirip dengan pemerasan. Diplomasi semacam ini bukan membangun perdamaian, melainkan mencabut gigi lawan dan menyuruhnya tersenyum.
Barrack juga mengeluhkan minimnya dukungan untuk Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF). Ia menyebut pasukan itu menggunakan peralatan 60 tahun lalu. Tentu saja tua, karena siapa yang membiarkan mereka kekurangan dana? Tapi alih-alih menawarkan bantuan tanpa syarat, ia malah menyarankan agar Hizbullah menyerahkan senjatanya ke “depot internasional” yang diawasi oleh AS, Prancis, ‘Israel’, dan LAF—yang barusan saja ia bilang tidak punya dana dan tak mampu menegakkan apapun. Ironi semacam ini tak memerlukan penjelasan panjang. Ia menjelaskan dirinya sendiri.
Barangkali bagian yang paling menyakitkan adalah bagaimana Barrack menggambarkan Lebanon. Ia menyebut bahwa “orang Suriah menganggap Lebanon sebagai resor pantai mereka.” Sebuah metafora yang memalukan dan menjengkelkan sekaligus. Apakah negara dengan sejarah berdarah, kehancuran ekonomi, dan penderitaan manusia dianggap cuma taman bermain musim panas tetangganya? Atau memang begitulah cara Barat memandang Timur Tengah: wilayah eksotis yang bisa dibeli, dijajah, atau ditukar dengan kepentingan?
Betapa sering kita melihat naskah seperti ini diputar ulang dengan lokasi berbeda. Di Irak, rezim digulingkan demi demokrasi impor yang membawa lebih banyak mayat daripada pemilu. Di Libya, intervensi NATO dijual atas nama perlindungan rakyat, lalu meninggalkan negeri itu sebagai ladang perang saudara. Di Suriah, rezim memang akhirnya berganti pada Desember 2024. Assad tumbang, dan ironisnya, yang naik tahta adalah mantan pemimpin Jabhat Nusra—kelompok yang dulu dianggap teroris. Jadi, pergantian memang terjadi, tapi bukan pada luka. Itu tetap menganga, bahkan mungkin makin dalam. Kini, Lebanon dipaksa memilih: tunduk dan mungkin hidup, atau bertahan dan dilabeli radikal. Formatnya sama, hanya nama targetnya yang berganti. Bahkan alasan “kami ingin membantu rakyatmu” sudah basi dan tak laku di pasar Timur Tengah. Tapi masih saja diucapkan, seolah dunia lupa sejarah.
Bahkan tak sedikit media dan diplomat Barat yang menyebut Hizbullah sebagai ancaman utama stabilitas Lebanon. Tapi siapa yang lebih dulu melanggar gencatan senjata? Siapa yang terus membombardir desa-desa dan menciptakan gelombang pengungsi baru? Fakta di lapangan sering kali bertolak belakang dengan narasi yang dijual. Tapi begitulah dunia hari ini: siapa yang punya kamera, punya berita.
Mungkin yang paling menyedihkan adalah bahwa tak semua rakyat Lebanon bisa menolak tawaran itu. Di tengah krisis yang menggerogoti segala sendi kehidupan, bantuan apa pun—sekotor apa pun motifnya—bisa terlihat sebagai cahaya. Ada sebagian yang mulai tergoda. Dan siapa yang bisa menyalahkan mereka? Anak-anak mereka butuh makan. Orang tua mereka butuh obat. Negara mereka butuh stabilitas. Namun, yang jarang disadari adalah bahwa “stabilitas” yang dijanjikan Washington kerap kali hanya berarti satu hal: tenanglah, dan biarkan kami yang pegang kendali.
Dan bukankah kita di Indonesia juga tak asing dengan skenario semacam ini? Kita pernah dipaksa menyesuaikan kebijakan ekonomi demi mematuhi tuntutan IMF. Kita pernah “dibantu” oleh lembaga internasional yang menyodorkan pinjaman dengan bunga dan syarat yang justru membenamkan. Modelnya sama: kepatuhan dulu, kesejahteraan nanti—kalau sempat. Maka dari itu, kita mestinya paham dan bersimpati pada Lebanon, bukan hanya karena kemanusiaan, tapi karena sejarah yang tak jauh berbeda.
Jika hari ini Lebanon ditawari sekarung beras dengan syarat membuang tamengnya, mungkin lebih bijak bagi mereka untuk berkata: simpan saja bantuan itu. Kami tahu kelaparan, tapi kami juga tahu penghinaan. Ini bukan sekadar soal senjata atau uang. Ini soal harga diri sebuah bangsa, dan hak untuk memilih masa depan mereka sendiri.
Barrack boleh datang dengan proposal dan jabat tangan diplomatik, tapi rakyat Lebanon tahu bahwa di balik kertas itu tersembunyi jebakan. Mereka diminta melepas pelindungnya saat peluru masih berseliweran di langit. Mereka diminta menyerahkan benteng terakhirnya sementara penjajah belum pulang. Dan itu bukan perdamaian. Itu penyerahan.
Maka, siapa pun yang masih percaya bahwa Amerika datang untuk membantu Lebanon karena cinta damai, mungkin perlu membaca ulang sejarah, atau minimal membaca antara baris-baris berita. Karena kadang, niat buruk justru tersampaikan paling jelas lewat bahasa paling manis. Atau seperti yang kita kenal dalam narasi hari ini: diplomasi ala kolonialisme modern—obey or destroy. Dan Lebanon, seberapa pun kecil dan ringkihnya, sedang menunjukkan bahwa tidak semua bangsa bersedia tunduk hanya demi sesuap nasi dan janji kosong.
Pingback: Pengorbanan Hizbullah vs Negara Arab: Antara Nyali dan Retorika - vichara.id
Pingback: Pembebasan Mata-Mata Israel: Ironi Politik Lebanon