Connect with us

Opini

Harga dari Kesombongan Israel: Ketika Kilang Terbakar, Mitos pun Meleleh

Published

on

Tiga miliar dolar. Bukan angka kecil, bahkan untuk negara yang suka mengklaim dirinya sebagai “oase stabilitas di Timur Tengah.” Tiga miliar dolar itulah yang kini membubung ke langit dalam bentuk asap tebal dari kilang minyak Haifa, menyusul serangan presisi Iran pada pertengahan Juni. Tidak hanya membakar instalasi vital energi, serangan itu secara simbolik juga membakar sesuatu yang lebih besar: ilusi kekebalan. Kilang itu, dulu memproses hampir 200.000 barel per hari. Kini? Diam membisu, seperti para juru bicara militer yang sibuk mengatur narasi di depan podium, sembari menghindari pertanyaan paling sederhana: kok bisa?

Ada semacam absurditas dalam cara Israel menanggapi krisis ini. Di satu sisi, mereka menutup-nutupi kerusakan dengan sensor militer yang ketat—mungkin berharap jika kerusakan tidak diberitakan, maka ia tidak pernah benar-benar terjadi. Di sisi lain, harga bahan bakar di wilayah yang mereka kuasai melonjak drastis, pemadaman listrik menjadi hal biasa, dan perekonomian mulai tersendat. Tapi tenang saja, kata mereka, ini hanya sementara. Mungkin seperti “sementara” yang sudah 75 tahun itu, ketika mereka menempati tanah orang dan menyebutnya tanah perjanjian.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dalam laporan terbaru yang disiarkan Fars dan kemudian dikutip berbagai media internasional, terungkap bahwa serangan Iran ke kilang Haifa bukan sekadar simbolik. Kerugian fisik ditaksir antara $1,5 hingga $2 miliar. Ditambah kerugian bulanan akibat penutupan operasional sebesar $450 juta, totalnya dengan mudah menembus angka $3 miliar. Ini bukan hanya soal uang. Ini soal bagaimana sebuah negara yang selama ini menertawakan rudal buatan tangan kelompok perlawanan di Gaza kini harus membayar harga untuk meremehkan lawan yang lebih serius, yang tak bermain-main dalam membalas.

Kita tidak sedang bicara tentang beberapa roket nyasar. Data radar satelit dari Oregon State University menunjukkan bahwa rudal Iran tepat sasaran. Lima fasilitas militer, termasuk pangkalan udara Tel Nof dan pusat logistik penting, dihantam. Iron Dome dan David’s Sling tak sepenuhnya berfungsi. Ini bukan plot film dystopian. Ini kenyataan. Dan seperti biasa, “Israel” memilih menutupinya dengan larangan media dan permainan eufemisme. “Gangguan terbatas,” “kerusakan minor,” atau favorit lama mereka: “tidak ada korban signifikan.” Yang terbakar bukan cuma kilang, tapi juga kredibilitas.

Sementara para jenderal mereka sibuk menggambar peta serangan balasan dan mengelola opini publik dengan infografik, rakyatnya harus membayar BBM lebih mahal. Inflasi menyelinap masuk lewat dapur-dapur rumah tangga. Transportasi jadi lebih mahal, produksi industri menurun, dan tak lama lagi, PHK akan mulai berdatangan. Kita tahu arah cerita ini. Ekonomi yang mengerut pelan tapi pasti, lalu kerusuhan sipil, suara oposisi yang mengeras, dan ya, pemilu darurat atau kabinet darurat, atau apa pun istilah yang membuatnya terdengar tetap demokratis.

Bagi kita yang jauh di luar lingkaran krisis ini, ada ironi yang tak bisa diabaikan. Negara yang katanya “paling siap menghadapi ancaman dari mana pun” bisa kelimpungan menghadapi satu minggu hujan rudal. Mereka yang rutin mengebom pembangkit listrik di Gaza agar anak-anak tak bisa tidur nyaman, kini merasakan bagaimana hidup tanpa listrik di tengah malam. Barangkali, inilah pelajaran paling jujur tentang simetri dalam penderitaan—hanya saja, yang satu menyebutnya “serangan teroris,” yang lain menyebutnya “resistansi.”

Tentu saja, media-media mainstream tak akan menampilkan ini sebagai awal dari krisis ekonomi Israel. Mereka akan menyebutnya “tekanan fiskal,” “koreksi anggaran,” atau “penguatan kebijakan moneter.” Tapi kita tahu, bila dua kilang utama lumpuh bersamaan, dan impor energi harus ditambah dalam kondisi konflik regional yang membara, maka apa yang disebut “penyesuaian” itu hanya cara halus untuk menyebut kepanikan. Apalagi ketika perang masih berlangsung di Gaza, Lebanon ikut terbakar, dan ekonomi dunia tidak dalam kondisi sehat.

Dan di titik ini, kita boleh bertanya dengan getir: semua ini untuk apa? Untuk terus mengepung Gaza? Untuk menghukum Iran karena berani menyuplai senjata ke kelompok perlawanan? Untuk mempertahankan status quo yang bahkan sudah membusuk? Kita tahu jawabannya. Dalam politik zionis, yang penting bukan menang, tapi tampak menang. Biar publik percaya, biar pasar tetap tenang, biar sekutu di Barat tidak mulai gelisah.

Sayangnya, pasar punya caranya sendiri untuk mengendus krisis. Investor tidak butuh penjelasan dari juru bicara militer. Mereka hanya melihat tren: lonjakan harga, penurunan produksi, dan ketidakpastian geopolitik. Maka bukan mustahil jika dalam beberapa pekan ke depan, nilai tukar shekel terguncang, utang negara membengkak, dan rating kredit mulai dibisikkan dalam nada waspada. Ketika ekonomi mulai retak, yang lain ikut runtuh: kestabilan politik, dukungan publik, bahkan loyalitas militer.

Sejarah penuh dengan kisah negara kuat yang tumbang bukan karena kekalahan di medan perang, tetapi karena beban ekonomi yang tak tertanggungkan. Kita pernah menyaksikan Uni Soviet mengempis dari dalam. Kini kita melihat Israel menari di tepi jurang, bersenjatakan mitos dan kesombongan. Mereka mungkin masih percaya bisa membeli waktu dengan propaganda. Tapi kilang yang terbakar di Haifa telah menyalakan sesuatu yang tidak bisa dipadamkan dengan sensor: realitas.

Mungkin akan datang masa ketika generasi muda di Israel bertanya: mengapa kita harus hidup dalam ketakutan? Mengapa harga bahan bakar melonjak saat negara ini katanya paling aman? Mengapa tentara kita dikirim ke lima front perang sekaligus, sementara dapur ibu kami tak lagi menyala? Dan mungkin, hanya mungkin, mereka akan sampai pada kesimpulan yang sudah lama tiba di hati rakyat Palestina: bahwa hidup dalam penindasan, sebesar apa pun tembok yang dibangun, tak pernah bisa benar-benar aman. Bahwa kekuatan sejati bukan pada rudal, tapi pada daya tahan terhadap penderitaan.

Tiga miliar dolar hanya angka. Tapi jika angka itu bisa membuat sebuah bangsa mulai berpikir ulang tentang arah sejarahnya, maka mungkin, barisan angka itu jauh lebih mematikan dari rudal mana pun.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer