Opini
Farmasi dalam Pusaran Perang Tarif: Ketika Obat Tak Lagi Netral

Dalam sebuah dunia yang semakin terpolarisasi, urusan kesehatan tak lagi steril dari konflik politik dan ekonomi. Salah satu panggung paling mencolok adalah arena perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang bukan hanya mengguncang sektor teknologi atau otomotif, tapi juga menyentuh sektor yang paling vital dan sensitif: farmasi. Di balik rak-rak apotek dan laboratorium modern, ada kisah panjang tentang rantai pasokan, dominasi bahan baku, dan perang pengaruh yang menyelinap lewat pil-pil kecil yang kita konsumsi.
Tarif, Tekanan, dan Tiongkok
Perang tarif yang dilancarkan oleh pemerintahan Donald Trump menyasar berbagai produk dari Tiongkok, termasuk bahan baku farmasi. Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi biasa, melainkan bagian dari strategi yang lebih besar untuk menekan dominasi ekonomi Tiongkok yang selama dua dekade terakhir menguat pesat di hampir semua lini industri—termasuk industri farmasi.
Tiongkok saat ini menyuplai sekitar 40 persen bahan aktif farmasi global (API—Active Pharmaceutical Ingredients), dan untuk beberapa kategori seperti antibiotik generik dan vitamin, angkanya bahkan lebih tinggi. Amerika Serikat sendiri mengimpor sekitar 80 persen bahan aktif obat-obatannya dari luar negeri, dan sebagian besar dari Tiongkok dan India—dengan India pun sangat bergantung pada Tiongkok untuk API mereka.
Ketika tarif tinggi dikenakan atas bahan baku farmasi dari Tiongkok, efeknya tak berhenti pada pabrik-pabrik di Guangzhou atau Shanghai. Getarannya terasa di apotek-apotek di Texas, Berlin, bahkan Jakarta.
Obat Sebagai Korban Geopolitik
Ketika ekonomi dijadikan senjata, maka logika produksi farmasi yang bergantung pada efisiensi dan kelancaran rantai pasokan global menjadi korban. Tarif yang dikenakan membuat harga bahan baku naik, dan pada akhirnya meningkatkan harga jual obat. Beberapa produsen bahkan menurunkan kapasitas produksi atau menunda peluncuran produk baru karena ketidakpastian pasokan.
Ini berarti satu hal: akses terhadap obat menjadi lebih sulit dan mahal—terutama bagi negara-negara berkembang yang sebagian besar masih bergantung pada impor obat jadi maupun bahan baku.
Yang lebih ironis, meski India menjadi alternatif pemasok bahan baku obat bagi AS dan Eropa, India sendiri mengalami kesulitan karena mereka pun mengimpor lebih dari 60 persen API-nya dari Tiongkok. Dengan kata lain, ketika Amerika hendak “membebaskan diri” dari ketergantungan pada Tiongkok, dunia justru semakin menyadari bahwa “membebaskan” diri dari Tiongkok tidak semudah itu.
Indonesia: Pasar Besar, Ketergantungan Besar
Indonesia adalah contoh klasik negara berkembang dengan ketergantungan tinggi terhadap bahan baku farmasi impor. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sekitar 90 persen bahan baku obat di Indonesia diimpor, dan sebagian besar berasal dari Tiongkok.
Dengan situasi seperti ini, ketegangan tarif antara dua negara adidaya bukan hanya headline internasional, tapi juga alarm domestik. Ketika biaya bahan baku naik karena tarif atau terganggunya rantai pasok global, maka Indonesia pun harus merogoh kantong lebih dalam untuk menjaga stabilitas harga obat. Dalam jangka panjang, ini menekan kemampuan negara untuk menjamin akses kesehatan yang merata dan terjangkau bagi seluruh rakyatnya.
Dan ini bukan sekadar teori. Selama pandemi COVID-19, kita sudah melihat bagaimana ketergantungan terhadap bahan impor membuat Indonesia kesulitan memproduksi obat-obatan esensial secara mandiri, terutama saat negara-negara pemasok memberlakukan larangan ekspor sementara untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri mereka.
Efek Domino: Bukan Sekadar Tarif
Yang seringkali luput dari sorotan adalah efek domino dari perang tarif ini. Kenaikan tarif pada API bisa mendorong industri farmasi mencari sumber lain yang lebih mahal atau kualitasnya tidak stabil. Ini mempengaruhi proses formulasi obat dan bisa berdampak pada kemanjuran dan keamanan produk.
Di sisi lain, negara-negara yang tidak terlibat langsung dalam perang tarif, seperti Indonesia, justru mengalami kenaikan harga impor karena lonjakan permintaan dari negara-negara Barat yang mencari alternatif selain Tiongkok. Situasi ini seperti memaksa semua negara duduk di meja permainan, meskipun mereka tidak ikut menggulung dadu.
Tak heran bila para analis menyebut sektor farmasi sebagai salah satu sektor paling rapuh dalam konflik dagang global.
Ilusi Kemandirian dan Kenyataan Rantai Global
Amerika Serikat sempat mendorong strategi “re-shoring” atau “near-shoring” untuk industri farmasi, mendorong produksi kembali ke tanah air atau ke negara sekutu yang dianggap lebih aman secara geopolitik. Namun strategi ini tidak bisa dijalankan dengan cepat.
Membangun pabrik API modern membutuhkan waktu bertahun-tahun dan investasi besar. Tak hanya itu, banyak perusahaan enggan berinvestasi karena margin keuntungan dalam produksi API cukup tipis, tidak seperti sektor obat jadi yang lebih menguntungkan.
Sementara itu, Tiongkok telah membangun keunggulan kompetitif dalam industri ini selama dua dekade, tidak hanya dari segi biaya produksi yang murah, tetapi juga skala dan efisiensi. Meskipun perang tarif memberi tekanan, kenyataannya dunia belum menemukan alternatif yang benar-benar sepadan.
Jalan Tengah: Kolaborasi atau Isolasi?
Apakah perang tarif akan terus menjadi strategi utama dalam membentuk ulang tata ekonomi dunia, termasuk sektor kesehatan? Atau justru kita sedang menuju pada bentuk baru kolaborasi global, karena kesehatan sejatinya tak bisa diserahkan pada kalkulasi untung rugi semata?
Di sinilah pertanyaan mendasar muncul: apakah kita ingin terus menggantungkan urusan hidup dan mati pada dinamika dua kekuatan global yang kerap bertikai? Ataukah saatnya negara-negara lain, termasuk Indonesia, mencari jalan tengah dengan memperkuat kemampuan sendiri?
Investasi dalam bioteknologi lokal, produksi bahan baku domestik, dan kerjasama kawasan di bidang kesehatan bisa menjadi awal dari perubahan. Tapi itu semua membutuhkan komitmen politik, keberanian regulasi, dan kesadaran publik bahwa urusan obat bukan semata urusan pasar.
Penutup: Saatnya Merdeka dalam Obat
Perang tarif mungkin tampak jauh di mata, tapi dampaknya dekat di dompet dan apotek kita. Dalam dunia yang saling terhubung, satu keputusan tarif di Gedung Putih bisa membuat harga obat di Indonesia naik—dan itu berarti seorang pasien harus menunda pengobatan, atau seorang ibu harus memilih antara membeli obat untuk anaknya atau belanja dapur hari itu.
Karena itu, ketahanan farmasi nasional bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Kita tak bisa terus bergantung pada negara yang bisa saja menjadikan bahan baku sebagai alat tawar-menawar politik.
Kini saatnya Indonesia berinvestasi serius pada kedaulatan farmasi, sebab kesehatan tak boleh menjadi sandera dari ketegangan global yang tak kunjung usai.