Opini
Eropa Terjebak Dilema Sanksi, Ukraina Makin Mendesak

Ukraina, negeri yang masih dibekap asap perang, kini kembali mengarahkan pandangan ke Eropa. Dalam upaya terbaru mereka, Kyiv mengajukan dokumen setebal 40 halaman—bukan hanya proposal teknokratis, melainkan jeritan politik yang ingin menggugah Uni Eropa agar bertindak lebih tegas terhadap Rusia. Langkah ini diambil tak lama setelah gelagat perubahan arah kebijakan Amerika Serikat mencuat, terutama dengan naiknya kembali Donald Trump yang justru memilih berdialog langsung dengan Vladimir Putin, dan secara terbuka menolak penambahan sanksi terhadap Moskow.
Dalam atmosfer ketidakpastian tersebut, Ukraina memandang Eropa sebagai harapan terakhir. Dokumen yang diajukan bukan sekadar daftar sanksi biasa, melainkan serangkaian tuntutan yang agresif dan berisiko. Salah satu poin yang menonjol adalah dorongan agar aset Rusia yang dibekukan disita dan dialihkan ke Ukraina. Sebuah langkah yang tentu mengandung konsekuensi hukum besar. Individu atau institusi yang terkena sanksi bisa menuntut kompensasi dari Rusia, namun prosesnya bisa berlarut dan justru menciptakan sengkarut hukum baru di kawasan Eropa.
Tidak hanya itu, Ukraina juga mendorong diterapkannya sanksi sekunder terhadap negara-negara yang terus membeli minyak Rusia seperti India dan China. Di mata Kyiv, langkah ini penting agar tekanan terhadap Moskow terasa signifikan. Namun bagi Eropa, hal ini adalah langkah yang sarat risiko. India, misalnya, telah meningkatkan porsi impornya dari Rusia dari 1,9% pada 2021 menjadi 37,4% pada 2024. China pun masih menjadi mitra energi utama Rusia. Sanksi terhadap dua negara tersebut berpotensi mengobarkan konflik ekonomi yang lebih luas, sesuatu yang bisa mengguncang ekonomi global.
Bagi negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis, keputusan semacam ini memerlukan kalkulasi ekstra hati-hati. Mereka harus mempertimbangkan hubungan dagang yang sudah terjalin, sekaligus dampak politik yang mungkin timbul. Dalam konteks yang lebih luas, termasuk di kawasan Asia Tenggara, implikasi kebijakan ini dapat terasa nyata. Indonesia, misalnya, memiliki keterkaitan ekonomi dengan India dan China. Jika ketegangan meningkat dan harga energi melonjak, rakyat Indonesia bisa kembali merasakan dampaknya seperti saat krisis energi global 2022—kenaikan harga BBM, lonjakan biaya transportasi, dan inflasi bahan pokok.
Di tengah situasi ini, Uni Eropa terus menambah lapisan sanksinya. Paket ke-17 yang baru saja disahkan menyasar lebih dari 200 kapal yang dianggap sebagai bagian dari “armada bayangan” Rusia, kapal-kapal yang digunakan untuk menghindari pembatasan harga minyak. Inggris turut menambahkan kapal-kapal tersebut serta institusi keuangan Rusia ke dalam daftar sanksi. Pernyataan dari kepala kebijakan luar negeri UE, Kaja Kallas, menyebutkan bahwa sanksi tambahan sedang disiapkan. Semua ini menunjukkan intensi Eropa untuk tidak kendor.
Namun, ironi muncul saat dunia menyaksikan perbedaan pendekatan antara Eropa dan Amerika. Trump justru menegaskan bahwa tekanan ekonomi tambahan dapat mengganggu proses perdamaian. Bagi Ukraina, perbedaan ini mencemaskan. Kyiv bahkan memperingatkan bahwa jika AS keluar dari koalisi sanksi multilateral, itu akan menjadi pukulan berat bagi kekompakan Uni Eropa.
Kekompakan itu sendiri bukan tanpa retak. Hungaria telah berulang kali menjadi batu sandungan dalam pengambilan keputusan UE terkait sanksi terhadap Rusia, terutama karena ketergantungannya pada pasokan energi Moskow. Paket ke-17 pun dirancang dengan kompromi agar tidak diveto oleh Budapest. Ini mencerminkan betapa rumitnya membangun kesepakatan dalam blok yang beranggotakan puluhan negara dengan kepentingan masing-masing.
Bayangan konflik geopolitik yang membentang ke kawasan Asia membawa dampak yang tak bisa diabaikan. Indonesia, sebagai negara yang aktif di forum internasional seperti G20 dan ASEAN, berpotensi terseret dalam pusaran ketegangan jika sanksi sekunder benar-benar diberlakukan. Kerja sama energi, ekspor-impor barang strategis, bahkan diplomasi regional akan menghadapi tekanan baru.
Di sisi lain, laporan dari media RT mengungkap bahwa meskipun Ukraina menginginkan tekanan lebih kuat, Presiden Zelenskyy ternyata tidak menutup pintu diplomasi. Dia bahkan terbuka untuk pertemuan langsung dengan Putin di Turki. Ini memberikan sinyal bahwa Kyiv, meskipun bersikap ofensif di atas kertas, tetap menyimpan ruang untuk dialog damai. Namun apakah dunia benar-benar mendengarkan permintaan itu?
Trump, dengan gaya khasnya, justru menyampaikan keyakinan bahwa Rusia ingin mengakhiri perang, dan bahwa sanksi justru bisa menjadi hambatan bagi perdamaian. Sementara itu, Eropa tampak berjalan dengan langkah mereka sendiri—antara menuruti permintaan Ukraina dan mengamankan kepentingan strategis mereka. Misalnya, Inggris menargetkan kapal-kapal Rusia bukan hanya demi Ukraina, tetapi juga untuk melindungi infrastruktur laut mereka sendiri, seperti kabel bawah laut yang krusial untuk komunikasi dan perdagangan.
Ada ironi besar di sini: ketika sanksi diklaim sebagai bentuk solidaritas terhadap Ukraina, di balik itu tersimpan kalkulasi kepentingan nasional masing-masing negara. Apa yang dilakukan Eropa tak selalu murni demi Kyiv. Mereka juga tengah menyusun ulang peta strategis dan pertahanan energi mereka sendiri.
Dalam konteks Indonesia, refleksi ini membawa keprihatinan. Kita hidup di dunia yang saling terhubung. Apa yang terjadi di Laut Hitam bisa berdampak pada pompa bensin di Bekasi. Kebijakan sanksi yang diambil di Brussel atau London bisa berimbas pada stabilitas harga pangan di pasar tradisional Tanah Air. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, ruang gerak untuk merespons krisis global sering kali terbatas, dan rakyatlah yang akhirnya harus menanggung akibatnya.
Seluruh dinamika ini mengarah pada pertanyaan yang lebih mendasar: apa arti “kemenangan” dalam konflik semacam ini? Apakah dengan menjatuhkan sanksi demi sanksi, dunia sedang menuju perdamaian, atau justru memperpanjang penderitaan? Kyiv sedang berjuang keras untuk didengar, sementara dunia tampak terbelah antara diplomasi dan konfrontasi.
Craig Kennedy, pakar energi dari Harvard, menyatakan bahwa Eropa memiliki lebih banyak pilihan daripada yang terlihat. Tapi memainkan pilihan-pilihan itu membutuhkan kecermatan. Reformasi voting sanksi dari konsensus menjadi mayoritas bisa mempercepat keputusan, tapi juga membuka risiko perpecahan di tubuh Uni Eropa. Di sisi lain, penyitaan aset Rusia bisa menimbulkan reaksi keras, bukan hanya dari Moskow tapi juga dari negara-negara netral yang khawatir terhadap preseden tersebut.
Akhirnya, tulisan ini mencerminkan realitas yang kompleks—bahwa dalam diplomasi internasional, tidak ada langkah yang sepenuhnya altruistik. Ukraina sedang berjuang untuk mempertahankan dirinya, dan Eropa, seperti juga negara lain, sedang mempertahankan kepentingannya. Dunia menyaksikan semuanya, tapi apakah ia benar-benar peduli? Dan jika peduli, apakah ia siap mengambil risiko bersama?