Opini
Eropa Tanpa AS: NATO di Persimpangan Keamanan?

Eropa, dalam imajinasiku, seperti rumah tua dengan banyak kamar, masing-masing dihuni oleh negara dengan cerita dan ketakutannya sendiri. AS, selama ini, adalah penjaga di gerbang, dengan senjata di tangan dan mata yang tak pernah lengah. Kini, penjaga itu berkata, “Saya akan melangkah mundur, setidaknya sedikit. Kalian harus belajar menjaga diri.” Menurut NBC News, AS mempertimbangkan menarik hingga 10.000 pasukan dari Eropa Timur, dari total 84.000 yang kini ada, terutama di Jerman dan Polandia. Angka itu mungkin kecil di atas kertas, tapi coba bayangkan: 10.000 pasukan adalah nyawa, tank, dan keberanian yang jadi perisai bagi Estonia atau Lithuania, negara-negara yang begitu dekat dengan Rusia. Whitaker bilang diskusi akan dimulai setelah KTT NATO di Den Haag. Tapi nada urgensinya—“kami tak akan lagi sabar”—membuatku bertanya: apakah ini soal strategi, atau sekadar lelah menjadi penutup luka dunia?
Di Indonesia, kita mungkin tak langsung merasakan guncangan ini. Tapi ingat, dunia ini seperti jaring laba-laba: satu getaran di Eropa bisa sampai ke pasar kita. Ketika perang di Ukraina membuat harga pupuk atau beras melonjak, kita tahu betapa rapuhnya keseimbangan global. Saya teringat pedagang di pasar dekat rumah, mengeluh harga minyak goreng naik gara-gara konflik jauh di sana. Laporan Politico bilang mengganti peralatan dan personel AS akan menelan biaya hingga $1 triliun selama 25 tahun. Bayangkan: $226 hingga $344 miliar hanya untuk belanja awal—400 pesawat tempur, 20 kapal perusak, 24 rudal jarak jauh. Saya membayangkan seorang pekerja di Hamburg, menghitung pajaknya, bertanya: mengapa uangku harus untuk senjata, bukan sekolah anakku? Tapi di sisi lain, ada petani Polandia tadi, yang tahu ladangnya bisa jadi medan perang tanpa senjata itu.
Keamanan, ternyata, bukan cuma soal senjata. Ini soal kepercayaan, soal manusia yang ingin tidur tanpa mimpi buruk. Presiden Trump, seperti dilaporkan, berulang kali mengeluh bahwa Eropa tak cukup berkontribusi pada NATO. Dia punya poin: banyak negara Eropa masih di bawah target pengeluaran pertahanan 2% dari PDB. Tapi coba lihat dari kaca mata mereka. Setelah Perang Dunia II, Eropa membangun kembali dirinya dengan mimpi tentang kesejahteraan, bukan militer. Mereka percaya AS akan selalu ada, seperti sahabat yang kadang mengomel tapi tak pernah pergi. Kini, ketika sahabat itu mengemas koper, Eropa harus menghadapi kenyataan. Sumber dari BBC (Maret 2024) bilang Eropa cuma bisa penuhi setengah janji pasokan amunisi ke Ukraina. Jika untuk Ukraina saja mereka terengah, bagaimana dengan pertahanan mereka sendiri?
Ukraina, meski bukan anggota NATO, adalah cermin ketakutan Eropa. Perang di sana, yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun, adalah pengingat bahwa Rusia bukan bayang-bayang kosong. Sebuah unggahan di X dari @pravda_eng bilang Uni Eropa berencana menggandakan bantuan militer ke Ukraina jika AS mundur, tapi unggahan lain menyebut industri pertahanan Eropa butuh satu dekade untuk produksi cukup senjata. Saya membayangkan seorang anak di Kyiv, mendengar suara sirene, bertanya pada ibunya: apakah dunia masih peduli pada kami? Jika Eropa tak bisa gantikan peran AS, Ukraina bisa jadi korban pertama. Sumber Kompas (2024) bilang tanpa AS, Ukraina tak akan mampu menahan Rusia. Ini bukan cuma soal rudal, tapi soal harapan yang kini di ujung tanduk.
Ada sesuatu yang pahit dalam cerita ini. Eropa, yang pernah bangkit dari puing-puing perang, kini harus belajar berlari lagi. Penarikan 10.000 pasukan mungkin cuma sebagian kecil dari 84.000, tapi itu cukup untuk mengguncang kepercayaan. Sebuah analisis di X dari 2021, saat AS menarik diri dari Afghanistan, bilang sekutu Eropa merasa dikhianati karena AS bertindak sendiri. Kini, ketika AS bicara soal mundur dari Eropa, apakah Eropa akan merasa ditinggalkan lagi? Saya teringat percakapan dengan seorang teman, yang bilang, “Keamanan itu kayak nyawa: kamu baru sadar harganya pas hampir hilang.” Eropa, sepertinya, sedang di ambang momen itu.
Tapi ada sisi lain yang patut kita renungkan. Mungkin ini adalah tamparan yang Eropa butuhkan. Selama ini, mereka nyaman di bawah payung AS, tapi kenyamanan itu membuat mereka lupa membangun otot sendiri. Penarikan ini bisa jadi panggilan untuk Eropa bangkit, untuk jadi mitra, bukan pengikut. Tapi itu tak mudah. Negara-negara Eropa Timur, seperti Polandia atau Latvia, ingin AS tetap tinggal karena Rusia ada di depan mata. Sementara itu, Eropa Barat, seperti Prancis, mungkin lebih khawatir soal anggaran. Ketegangan ini, jika tak dikelola, bisa retakkan NATO. Whitaker bilang, “Semua sekutu siap bicara,” tapi saya ragu semua benar-benar setuju.
Saya membayangkan seorang tentara muda di Estonia, berdiri di pos perbatasan, mendengar kabar ini. Apakah dia merasa ditinggalkan? Atau justru termotivasi untuk membuktikan bahwa negaranya bisa berdiri tegak? Rusia, dengan kemenangan di Avdiivka (BBC, Februari 2024), tak akan menunggu Eropa bersiap. Dan AS, dengan mata tertuju ke Tiongkok, mungkin tak lagi punya tenaga untuk jaga Eropa seperti dulu. Di Indonesia, kita mungkin cuma penonton, tapi saya teringat pasar di kampung, di mana harga beras naik gara-gara perang jauh. Jika Eropa goyah, ombaknya akan sampai ke kita, entah dalam bentuk harga minyak atau ketidakpastian lain.
Pada akhirnya, laporan ini bukan cuma soal angka—10.000 pasukan, $1 triliun, 400 pesawat. Ini soal manusia: ibu di Ukraina yang memeluk anaknya, pekerja di Jerman yang menghitung pajaknya, petani di Polandia yang menatap ladangnya. Whitaker bilang, “Belum ada yang diputuskan.” Tapi waktu terus berjalan, dan Eropa harus memilih: bangkit atau tenggelam. Kita, di sini, mungkin cuma bisa bertanya: jika kita ada di posisi mereka, apa yang akan kita lakukan? Akankah kita bersatu, atau saling menyalahkan? Dunia, seperti selalu, menunggu jawaban dengan napas tertahan.