Connect with us

Opini

Eropa, SAFE, dan Harga yang Harus Dibayar

Published

on

Para duta besar Uni Eropa baru-baru ini menyetujui program utang sebesar €150 miliar (setara $169 miliar) yang bertujuan mempercepat proses militerisasi kawasan. Program ini, yang diberi nama SAFE—singkatan dari Support for Ammunition, military Financing and European defense—diumumkan oleh kepresidenan Polandia di Dewan Uni Eropa. Melalui inisiatif ini, negara-negara anggota dapat mengakses pinjaman murah untuk pembelian drone, amunisi, dan sistem pertahanan udara, sambil menghindari proses voting di Parlemen Eropa.

Namun, kebijakan ambisius ini menimbulkan pertanyaan penting: dalam kondisi ekonomi yang masih rapuh di banyak negara Eropa, apakah pembangunan pertahanan ini akan datang dengan pengorbanan di sektor kesejahteraan sosial?

Gambaran ini mungkin terasa abstrak bagi sebagian orang. Tapi bayangkan sebuah pasar kecil di Eropa Barat, seorang penjual roti menghitung kembalian sambil mencemaskan naiknya tagihan listrik dan harga gas. Dalam konteks ini, angka €150 miliar terasa tidak hanya besar, tapi juga jauh dari kenyataan hidup sehari-hari.

SAFE membuka partisipasi tidak hanya untuk negara-negara anggota UE, tetapi juga untuk negara mitra seperti Inggris dan Ukraina, selama setidaknya 65% komponen pertahanan diproduksi di kawasan UE, Ukraina, atau negara-negara EEA/EFTA. Langkah ini mencerminkan keinginan Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada industri pertahanan Amerika Serikat. Namun, upaya ini muncul di tengah pemangkasan anggaran sosial di negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Belgia akibat tekanan defisit anggaran. Maka pertanyaannya bergema: apakah keamanan nasional harus didanai dengan mengorbankan kebutuhan dasar warga?

Saya teringat Max Jankowsky, CEO Lössnitz Foundry di Jerman, yang ingin beralih ke tungku listrik demi mengurangi emisi karbon. Namun, impian itu tertahan oleh kenyataan bahwa harga listrik industri di Jerman mencapai 20 sen per kWh—jauh lebih tinggi dibanding 7–8 sen per kWh di Amerika Serikat atau China. Menurut laporan ifo Institute dan Asosiasi Bisnis Bayern (vbw), perbedaan biaya ini membuat industri Jerman mempertimbangkan untuk relokasi ke luar negeri.

Sebagai respons, koalisi baru di bawah pimpinan Friedrich Merz mengusulkan penurunan harga listrik industri hingga 5 sen per kWh dengan cara memotong pajak dan biaya jaringan. Langkah ini bertujuan menjaga daya saing industri dalam negeri.

Namun, pendekatan ini juga tidak lepas dari kritik. Swantje Fiedler dari Forum for Ecological-Social Market Economy memperingatkan bahwa pemangkasan harga secara masif dapat melemahkan sistem energi terbarukan yang justru sedang dibangun. Sistem ini memerlukan fleksibilitas dan mekanisme penyimpanan energi, bukan insentif untuk konsumsi berlebihan. Leonhard Probst dari Fraunhofer Institute menambahkan bahwa harga listrik yang terlalu rendah bisa mengurangi dorongan industri untuk berinovasi dan meningkatkan efisiensi energi. Ibarat meredakan gejala tanpa menyentuh akar masalah.

Jika ditarik ke konteks yang lebih dekat, Indonesia pun mengenal dinamika serupa. Ketika tarif listrik naik, keluhan segera muncul dari pedagang kecil di pasar-pasar tradisional. Namun kebijakan berskala besar terus bergulir, dengan janji pembangunan jangka panjang yang sering kali terasa jauh dari realitas harian masyarakat kecil.

Di sisi lain, SAFE berjanji meningkatkan ketahanan pertahanan Eropa. Tapi di kancah geopolitik, program ini langsung mendapat reaksi keras. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyebut SAFE sebagai bentuk “penghasutan perang” dan menuduh Uni Eropa telah berubah menjadi entitas militeristik secara terbuka. Terlepas dari motivasi politis di balik tuduhan ini, pernyataan tersebut menyoroti bahwa setiap peningkatan kapasitas militer membawa risiko ketegangan baru.

Sementara itu, Jerman terus berupaya menyeimbangkan berbagai tuntutan. Pemerintah setempat sedang merancang perluasan kompensasi karbon untuk industri intensif energi. Namun, Probst mengingatkan bahwa memberikan subsidi pada saat pasokan listrik terbatas justru bisa memicu lonjakan harga kembali di kemudian hari. Dalam istilah sederhana, ini seperti menambal ban bocor tanpa mencabut paku yang menusuknya.

Menurut Amundi Research Center (2025), belanja pertahanan Eropa selama ini memiliki pengganda ekonomi yang rendah—sekitar 0,5—karena sebagian besar senjata masih diimpor. SAFE ingin mengubah situasi ini dengan mendorong produksi dalam negeri. Meski demikian, upaya ini membutuhkan waktu dan investasi besar, yang kemungkinan besar akan membebani anggaran jangka pendek.

Dalam percakapan santai bersama teman di Berlin yang bekerja di sektor energi terbarukan, ia berkata, “Kami ingin masa depan yang hijau, tapi semua orang tampaknya sibuk menambal masa kini.” Pernyataan ini mencerminkan ketegangan antara prioritas jangka pendek dan visi jangka panjang yang dirasakan di banyak negara.

Dampak kebijakan seperti SAFE mungkin belum terasa secara langsung oleh sebagian warga, tapi getarannya perlahan menyusup ke kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, cerita ini bukan hal baru. Ketika pemerintah memprioritaskan proyek-proyek besar seperti pembangunan ibu kota baru, pelaku usaha kecil sering kali menjadi kelompok pertama yang merasakan dampak sampingannya—baik dari sisi kenaikan biaya hidup maupun perubahan prioritas anggaran.

Dari pengalaman Jerman, kita dapat belajar bahwa bantuan dalam bentuk pemangkasan harga energi secara luas memang bisa membantu, tetapi subsidi yang lebih terarah—khususnya untuk UKM—dapat memberikan dampak yang lebih positif dan berkelanjutan. Pendekatan ini juga lebih sesuai dengan tujuan jangka panjang SAFE yang mengedepankan efisiensi, ketahanan, dan keberlanjutan.

Namun, pertanyaan mendasarnya tetap: apakah keamanan harus selalu datang dengan harga yang mahal? SAFE menunjukkan bahwa Eropa ingin membangun pertahanan yang lebih mandiri dan solid. Tapi ekonomi zona euro yang lesu, sebagaimana dicatat dalam laporan Amundi, membuat langkah ini tampak seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Jika negara seperti Jerman salah langkah, risikonya adalah hengkangnya industri dan semakin terbebaninya warga.

Dalam keseharian, seorang ibu di pinggiran Lisbon mungkin membaca berita tentang pembelian drone dengan utang negara, sembari menghitung pengurangan bantuan sosial untuk keluarganya. Di Ukraina, SAFE mungkin menjadi secercah harapan untuk bertahan. Tapi perang di sana telah merenggut lebih dari sekadar nyawa—ia juga menguras sumber daya, membentuk ulang prioritas, dan menimbulkan ketegangan baru di benua yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi dan krisis ekonomi.

Poin ini menggema hingga ke Asia. Di Jakarta, Bandung, atau Surabaya, kita mengenal dilema yang serupa. Keamanan dan pembangunan memang penting, tapi keduanya tak boleh mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat. Ketika pilihan-pilihan strategis hanya diputuskan oleh segelintir elit, suara pedagang kecil, pekerja, dan ibu rumah tangga sering kali tenggelam.

Maka, ketika Eropa membangun benteng baru demi menghadapi ancaman luar, penting untuk mempertanyakan: untuk siapa benteng ini dibangun? Jika pertahanan mengorbankan kesejahteraan, maka apa yang sebenarnya sedang dipertahankan?

Mungkin, di antara angka-angka besar dan jargon-jargon strategis, kita membutuhkan pendekatan yang lebih seimbang. Kebijakan seperti SAFE bisa menjadi alat penting, tapi ia juga harus dibarengi dengan keberpihakan pada mereka yang selama ini menopang kehidupan dari bawah: pelaku usaha kecil, pekerja sektor informal, dan keluarga biasa.

Karena pada akhirnya, keamanan yang sejati bukan hanya soal tembok yang kuat atau senjata yang canggih, tapi juga tentang memastikan bahwa rumah-rumah di dalam benteng itu tetap berdiri kokoh—dengan listrik yang terjangkau, roti yang tersedia, dan masa depan yang tidak terlalu jauh dari genggaman.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *