Opini
Eropa Menyerang Rusia Lewat Isu Migran Belarus

Pada akhir Mei 2025, kabar dari Vilnius mengguncang jagat diplomasi Eropa. Lithuania menuntut Belarus membayar lebih dari €200 juta atas krisis migran yang, menurut klaim mereka, sengaja diciptakan Minsk. Angka fantastis ini bukan hanya mencerminkan kerugian infrastruktur—seperti pembangunan pagar, pemasangan kamera pengawas, dan pengerahan ribuan personel keamanan sejak 2021—tetapi juga menggambarkan luka geopolitik yang semakin menganga di perbatasan timur Uni Eropa. Di balik nominal tersebut, tersimpan kisah-kisah manusia yang terjebak dalam hutan-hutan beku, dijadikan pion dalam permainan kekuasaan negara-negara besar. Lithuania menuduh Belarus memanfaatkan arus migran sebagai senjata hibrida. Namun, apakah ini sekadar konflik perbatasan, atau bagian dari strategi menyudutkan Rusia melalui sekutunya?
Krisis ini mulai mencuat pada 2021, saat Belarus mendadak menjadi jalur transit utama bagi ribuan migran dari Irak, Suriah, dan negara-negara lain yang ingin mencari suaka di Uni Eropa. Negara-negara tetangga seperti Polandia, Latvia, dan Lithuania pun kelimpungan menghadapi gelombang ini. Menurut laporan BNS, Lithuania telah memblokir lebih dari 23.600 upaya masuk ilegal sejak krisis bermula. Di balik angka tersebut, tergambar ketegangan yang mencekam. Para migran, yang kelelahan dan putus asa, menyusuri hutan-hutan Baltic yang membeku, hanya untuk menemukan pagar kawat berduri dan aparat bersenjata menghadang mereka.
Belarus membantah keras tuduhan bahwa mereka secara aktif memfasilitasi gelombang migran ini. Sebaliknya, mereka menuduh Uni Eropa memperlakukan para pencari suaka secara kejam dan tidak manusiawi. Lithuania pun melangkah ke jalur hukum, mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ), dan menuntut Belarus atas pelanggaran terhadap kewajiban internasional dalam pengelolaan perbatasan.
Namun, melihat persoalan ini sebagai semata urusan bilateral berarti menutup mata terhadap konteks yang lebih luas. Belarus, yang semakin dekat dengan Rusia sejak pemilu 2020 yang penuh kontroversi, telah menjadi bagian dari blok tandingan terhadap Barat. Pemilu tersebut memicu gelombang protes besar yang dituding Lukashenko sebagai hasil konspirasi Barat—melibatkan AS, Uni Eropa, bahkan Ukraina. Uni Eropa merespons dengan menjatuhkan sanksi ekonomi, memperkuat ketergantungan Belarus terhadap Moskow. Maka ketika Lithuania mengajukan gugatan, langkah tersebut juga dapat dibaca sebagai bagian dari strategi menekan Rusia lewat sekutunya.
BNS mencatat bahwa Lithuania telah menggelontorkan ratusan juta euro untuk memperkuat perbatasannya: membangun pagar berkilometer panjangnya, memperbarui teknologi pengawasan, dan mengerahkan aparat dalam skala besar sejak 2021 hingga 2023. Pengeluaran ini tidak hanya mencerminkan kebutuhan logistik, tetapi juga rasa gentar dari sebuah negara kecil yang berdiri di garis depan ketegangan geopolitik.
Polandia dan Latvia mengalami tekanan serupa, dan kini mempertimbangkan untuk bergabung dalam gugatan Lithuania. Munculnya solidaritas regional ini menandai bahwa Uni Eropa tengah membentuk barisan hukum dan politik melawan Belarus—dan secara tidak langsung, Rusia. Ironisnya, pada 2022, Amnesty International menuduh Lithuania menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap migran dari Afrika dan Timur Tengah. Eropa yang kerap mengibarkan panji-panji nilai kemanusiaan, justru terlihat abai terhadap pelanggaran di dalam barisannya sendiri.
Bagi Indonesia, isu migran bukanlah hal asing. Kita pernah menyaksikan kedatangan pengungsi dari Afghanistan, Somalia, hingga Rohingya di Aceh dan Riau. Kita paham betapa sulitnya menyeimbangkan antara komitmen moral dan kepentingan politik. Tapi bayangkan jika Indonesia dituduh sengaja merekayasa arus pengungsi demi menekan negara tetangga—tuduhan semacam itu jelas akan merusak prinsip dasar kemanusiaan.
Inilah konteks krisis yang sedang berlangsung di perbatasan Belarus dan Uni Eropa. Lithuania menuduh Belarus mengatur penerbangan dari Timur Tengah untuk mengarahkan para migran ke wilayah perbatasannya. Belarus membantah dan balik menuduh Uni Eropa sebagai aktor perang hibrida, melalui dukungan terhadap kelompok oposisi dan media independen di dalam negeri. Dalam perang narasi ini, kebenaran menjadi kabur. Para migran—manusia biasa yang mencari perlindungan—terjepit di tengah perebutan pengaruh.
Situasi semakin pelik sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina pada 2022. Belarus yang mengizinkan wilayahnya dipakai untuk operasi militer Rusia menjadi sasaran empuk bagi tekanan Barat. Sanksi ekonomi dan politik terhadap Belarus semakin diperketat, membuat negara itu kian terisolasi dan semakin bergantung pada Moskow. Krisis migran yang awalnya terlihat sebagai masalah perbatasan kini berubah menjadi salah satu front dalam pertarungan geopolitik global.
Gugatan Lithuania ke ICJ tampaknya bukan sekadar tindakan hukum. Ini adalah bagian dari upaya membangun tekanan internasional terhadap Belarus, yang resonansinya jelas menyasar Rusia. Di balik permintaan ganti rugi, terselip pesan politis: bahwa provokasi tidak akan dibiarkan berlalu tanpa balasan. Tapi pertanyaannya—apakah semua ini benar-benar demi keadilan, atau sekadar manuver dalam babak baru “perang dingin”?
Refleksi atas krisis ini mengantarkan kita pada pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa isu kemanusiaan sering kali menjadi korban ambisi politik? Di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana masyarakat Aceh menyambut pengungsi Rohingya dengan tangan terbuka, tetapi kemudian menghadapi keterbatasan kebijakan dan birokrasi. Kita tahu bahwa membantu migran bukan hanya soal logistik, tetapi juga soal menjaga martabat manusia. Di perbatasan Baltic, martabat itu seakan tergerus, tertutup kabut kepentingan geopolitik.
Amnesty International mencatat bahwa dalam upaya mempertahankan keamanannya, Lithuania melanggar hak asasi para migran. Di sisi lain, Belarus pun tak luput dari kecaman karena gagal melindungi para migran di wilayahnya. Dalam tarik-menarik dua kutub kekuasaan ini, para migran terperangkap di tengah—tanpa kepastian, tanpa perlindungan.
Apa yang bisa kita pelajari? Bahwa kemanusiaan kerap dikorbankan di atas papan catur politik global. Lithuania mungkin memiliki kepentingan sah dalam menjaga perbatasan dan melindungi rakyatnya. Namun, membawa kasus ini ke pengadilan internasional juga berisiko memperkuat kesan bahwa penderitaan migran telah dipolitisasi. Rusia, lewat dukungannya terhadap Belarus, tak bisa mengelak dari tanggung jawab. Lonjakan penerbangan dari Timur Tengah pada 2021 tidak terjadi tanpa perencanaan. Tapi alih-alih mencari solusi bersama, masing-masing pihak sibuk menyusun narasi dan saling menyalahkan.
Indonesia bisa belajar banyak dari situasi ini. Jika suatu hari kita dihadapkan pada lonjakan migrasi yang mencurigakan, bagaimana sebaiknya kita bertindak? Apakah kita akan memilih jalur konfrontasi, atau membangun dialog dan kerja sama regional? Krisis ini mengingatkan kita untuk menimbang ulang batas antara kedaulatan politik dan tanggung jawab kemanusiaan. Apakah mungkin menyelesaikan persoalan migran tanpa menjadikan mereka sebagai alat tawar?
Pada akhirnya, krisis ini bukan hanya soal Lithuania dan Belarus. Ini tentang bagaimana dunia memilih merespons penderitaan manusia. Ketika Uni Eropa, lewat Lithuania, mengirim sinyal keras terhadap Rusia, suara para migran tenggelam dalam bisingnya kepentingan politik. Mungkin kini saatnya bertanya dengan lebih jujur: kapan kemanusiaan akan benar-benar dijadikan prioritas—bukan hanya alat dalam permainan kekuasaan?