Opini
Eropa Jadi Figuran dalam Drama Geopolitik

Moskow muncul sebagai pemenang dalam pertemuan terbaru AS-Rusia di Arab Saudi, dengan menetapkan agenda untuk negosiasi, begitulah klaim diplomat tinggi Uni Eropa Kaja Kallas.
Ah, betapa ironisnya. Setelah berbulan-bulan Eropa menjerit-jerit soal “solidaritas”, “persatuan”, dan “melawan agresi”, tiba-tiba mereka menyadari bahwa mereka hanyalah figuran dalam panggung besar geopolitik. Tuan rumah pesta ternyata tidak mengundang mereka ke meja makan.
Tentu saja, Washington bisa bertemu siapa saja yang mereka mau. Tapi bayangkan betapa malunya Brussels saat menyadari bahwa pesta negosiasi besar ini berlangsung tanpa mereka. Uni Eropa, yang selama ini menggembar-gemborkan “kemerdekaan politik” dan “kekuatan diplomatik”, kini hanya bisa meratapi nasibnya sambil menatap layar berita. Mereka tak lebih dari penonton setia di tribun.
Kallas menegaskan bahwa perjanjian damai untuk Ukraina hanya akan efektif jika Eropa dan Ukraina sendiri ikut serta. Lucu sekali. Sejak kapan para pemenang perang meminta izin dari mereka yang tidak punya daya tawar? Apakah Napoleon bertanya kepada Austria sebelum membagi Eropa? Apakah Stalin berkonsultasi dengan Polandia sebelum menggambar ulang peta dunia?
Sementara itu, AS memberikan pesan yang semakin hari semakin membingungkan. Satu hari mereka berjanji untuk membantu Ukraina sampai titik darah penghabisan, keesokan harinya mereka duduk manis dengan Moskow sambil menyeruput kopi Arab. Uni Eropa berusaha memahami sinyal yang datang dari Washington, seperti seorang kekasih yang menebak-nebak apakah ia masih dicintai atau sudah ditinggalkan.
Dan di balik layar, Moskow tentu tertawa. Mereka cukup duduk manis, menunggu Barat kehilangan kesabaran dan akhirnya datang dengan kepala tertunduk. Mereka tidak perlu mendesak, cukup membiarkan Eropa dan AS bertengkar sendiri. Dan ketika akhirnya delegasi datang dengan “proposal damai”, Putin cukup tersenyum dan berkata, “Akhirnya kalian sadar, bukan?”
Namun, jangan khawatir, Uni Eropa masih punya rencana! Mereka akan mengirim lebih banyak senjata ke Ukraina, karena tentu saja, itulah solusi untuk semua masalah. Lagi-lagi, mereka merogoh kocek miliaran euro, bukan untuk kesejahteraan rakyat mereka, tetapi untuk memperpanjang konflik yang sudah tak lagi mereka kendalikan. Seperti seorang penjudi yang terus menaikkan taruhan meskipun sudah kalah berkali-kali.
Sementara itu, ekonomi Eropa merangkak seperti pasien yang kekurangan darah, harga energi melonjak, dan protes sosial semakin membesar. Tapi tak apa, para pemimpin Eropa tetap tersenyum, meyakinkan rakyatnya bahwa ini semua adalah “harga yang harus dibayar untuk demokrasi”. Ah, betapa indahnya pengorbanan demi tujuan mulia—meskipun yang berkorban hanyalah rakyat biasa.
Tapi yang paling menarik adalah ketidakmampuan Uni Eropa untuk menyadari bahwa mereka telah kehilangan kendali atas narasi ini. Mereka bukan lagi pemain utama, hanya penonton yang berharap seseorang akan mengundangnya kembali ke panggung. Sementara itu, di Washington dan Moskow, negosiasi berjalan lancar, dan di Kyiv, tentara terus bertempur, berharap mereka tidak hanya menjadi pion dalam permainan besar.
Namun, mari kita berikan sedikit harapan untuk Eropa. Mungkin suatu hari mereka akan menemukan kembali suara mereka, mungkin mereka akan belajar untuk bertindak bukan hanya sebagai perpanjangan tangan Washington, tetapi sebagai entitas yang benar-benar mandiri. Atau mungkin, mereka akan terus memainkan peran mereka sebagai satelit yang setia, berputar mengelilingi pusat gravitasi yang tak pernah bisa mereka kendalikan.
Jadi, sementara Moskow dan Washington berbincang di Riyadh, Eropa hanya bisa menunggu dan menonton. Menunggu apakah mereka akan mendapat secuil peran dalam drama ini, atau apakah mereka akan tetap berada di pinggiran sejarah, bersorak dari jauh, berharap ada yang peduli. Dan ironinya, semua ini terjadi setelah mereka menghabiskan miliaran euro dan bertahun-tahun berteriak tentang “persatuan” dan “demokrasi”. Betapa menghiburnya dunia ini.