Opini
Eropa Didesak Gantikan AS di Perang Ukraina

“Washington tidak akan lagi mendanai Ukraina,” kata Wakil Presiden AS J.D. Vance kepada Fox News pada hari Minggu (10/8) — sebuah kalimat yang bunyinya seperti pintu palu yang ditutup pelan ketika semua orang di meja makan masih berharap ada sepiring lagi untuk dibagi. Pernyataan itu bukan sekadar headline; ia adalah sinyal keseimbangan geopolitik yang bergerak, dari janji pembiayaan langsung menuju peran baru: pemasok senjata sekaligus penonton politik yang memegang remote.
Bayangkan sebuah panggung diplomasi di mana Amerika, yang selama ini menanggung tagihan makan malam, sekarang berkata: “Kalian bersedia bayar? Silakan — kami tetap kirimkan hidangannya.” Ada kepentingan industri dan politik domestik di baliknya: tetap menjaga pasar pabrikan senjata Amerika, sekaligus merespons keluhan pemilih yang lelah dengan uang pajak untuk perang jauh. Itu bukan sekadar transfer biaya, melainkan transfer risiko politik — dari Washington ke ibukota-ibukota Eropa.
Di tengah ajakan semacam itu, suara dari Kiev tak terdengar seperti undangan kompromi. Volodymyr Zelensky menolak mentah-mentah gagasan tukar-menukar wilayah; “Ukrainians will not give their land to the occupier,” katanya, seakan menggarisbawahi bahwa harga kedaulatan tidak bisa dipreteli oleh kalkulasi realpolitik orang lain. Ini bukan hanya soal peta; ini soal martabat politik, konstitusi, dan momentum nasional yang susah kendalikan kembali begitu diberikan.
Sementara itu, di dalam negeri Ukraina, cerita lain menggerogoti legitimasi yang selama ini jadi mata uang paling berharga: reputasi bersih dari korupsi. Langkah yang sempat mengurangi independensi badan-badan anti-korupsi memicu protes besar dan kecaman dari mitra Barat — sebuah ironi pahit: negara yang meminta dukungan demokrasi luar negeri tersandung oleh praktik-praktik domestik yang mengikis kepercayaan. Akibatnya, dukungan internasional berpotensi bertransformasi menjadi dukungan bersyarat; bantuan tak lagi otomatis, melainkan terikat pada tata kelola.
Data elektoral dan survei menunjukkan tanda-tanda kelelahan dukungan publik terhadap pemerintahan yang terlihat goyah. Polls mencatat turunnya tingkat kepercayaan pada presiden sejak puncak simpatinya — sebuah reminder bahwa perang bukan vaksin bagi akuntabilitas; rakyat tetap ingin pemerintahan bersih walau berada di bawah ancaman. Ketika legitimasi internal melemah, tawaran kompromi luar yang mengandung pelepasan wilayah menjadi semakin sulit dijual ke publik.
Kabar skandal yang beredar — dari dugaan pencucian miliaran euro lewat transaksi yang rumit hingga penggeledahan terkait — menambah sisi gelap cerita. Pencarian yang dilakukan oleh lembaga anti-korupsi di rumah mantan pejabat di Jerman memberi dimensi transnasional pada masalah itu: ini bukan hanya urusan di Kiev, tapi juga soal kepercayaan mitra Eropa yang diminta membuka dompetnya. Ketika ada bau uang yang dipertanyakan, pesta solidaritas bisa dengan cepat berubah menjadi rapat audit.
Jadi, bagaimana nasib Ukraina ke depan, bila dua hal ini berjalan bersamaan: (1) AS mengurangi beban pembiayaan langsung; dan (2) legitimasi Kiev diuji oleh skandal domestik? Jawabannya tidak sederhana, tetapi pola-pola berikut bisa muncul: pertama, perang akan semakin menjadi perang yang dibiayai oleh pilihan-pilihan politik kolektif Eropa—bukan oleh dorongan tanpa syarat dari Washington. Kedua, Ukraina akan menghadapi tekanan berat untuk memperbaiki tata kelola sebagai prasyarat bantuan berkelanjutan. Ketiga, ruang untuk kompromi wilayah akan tetap tertutup selama legitimasi pemimpin dan front publik tetap menolak.
Lantas bagaimana Eropa bisa menggantikan posisi AS? Jawaban praktisnya: beberapa mekanisme fiskal dan politik tersedia, namun semuanya membutuhkan keberanian kolektif — dan uang. Pertama, pembelian bersama senjata (joint procurement) yang dibiayai oleh anggaran UE atau konsorsium negara bisa menjadi jalur cepat: Eropa membeli dari pabrikan AS atau Eropa untuk disalurkan ke Ukraina. Kedua, mekanisme pembiayaan seperti eurobonds darurat atau penggunaan instrumen ESM/EFSM yang dimodifikasi untuk tujuan keamanan dapat mengumpulkan dana besar tanpa menghancurkan anggaran nasional tunggal. Ketiga, negara-negara kaya Eropa dapat menggunakan kredit ekspor atau garansi pemerintah untuk mempercepat aliran persenjataan. Semua itu mungkin—jika ada kesepakatan politik. (Catatan: tidak ada solusi magis tanpa harga politik.)
Namun realitas ekonomi UE bukan dongeng yang penuh tabungan. Energi, inflasi, dan politik domestik pasca-pemilu membuat masing-masing pemerintah rentan terhadap narasi “kenapa kita bayar untuk perang orang lain?”. Di sinilah seni diplomasi Eropa diuji: menjelaskan bahwa kestabilan Ukraina adalah investasi keamanan jangka panjang — bukan amal musiman — dan bahwa biaya awal lebih murah dibandingkan gelombang pengungsi, kerusakan ekonomi regional, atau normalisasi agresi. Tapi untuk meyakinkan publik, Eropa perlu transparansi penuh dalam aliran bantuan — bukan sekadar janji.
Sindirannya, Eropa harus tampil seperti “suami yang rela meminjam kartu kredit untuk memperbaiki atap rumah tetangga yang terbakar” — mulia, namun politis dan berisiko. Di balik gagasan solidaritas, ada kebutuhan akan akuntabilitas: audit independen, saluran pembelian yang jelas, dan—yang paling penting—bukti bahwa bantuan tidak dimanipulasi oleh kepentingan oligark atau jaringan korupsi. Tanpa itu, publik Eropa bisa menuntut mundur dengan cepat.
Untuk Ukraina sendiri, pilihan strategis harus mencakup tiga hal sekaligus: menjaga daya juang militer, mereformasi tata kelola, dan menerangkan narasi nasional yang bisa menerima kompromi tertentu tanpa menjual martabat. Itu tidak mudah. Reformasi anti-korupsi harus menjadi aksi prioritas, bukan sekadar monolog retoris, karena itulah kunci membuka kembali dompet internasional. Jika Ukraina gagal menunjukkan perubahan nyata, bantuan Eropa akan dicekik oleh syarat-syarat legal dan politik.
Dalam bahasa yang lebih pragmatis: Eropa bisa mengambil peran lebih besar, tetapi bukan berarti Eropa harus menggantikan Amerika sepenuhnya—melainkan menstruktur ulang peran. Alih-alih menjadi “pengganti dana” yang mendadak, Eropa bisa menjadi arsitek pembiayaan kolektif yang membawa serta syarat pengawasan, dukungan ekonomi pasca-perang, dan paket rekonstruksi yang adil. Model ini mengurangi beban satu negara, mengikatkan bantuan pada reformasi, dan mempertebal legitimasi internasional terhadap keputusan Kyiv.
Ada juga ruang bagi negara-negara Eropa yang lebih pragmatis: membeli senjata dari AS dan menyalurkannya sendiri ke Ukraina seperti yang diusulkan, atau mempercepat produksi domestik. Namun ini membutuhkan konsistensi politik dan logistik—modal yang kerap terkikis oleh krisis domestik. Jadi, jalan tengah terbaik adalah kombinasi: pembelian bersama dan dana darurat Eropa, disertai pengawasan ketat dan langkah-langkah anti-penyalahgunaan.
Sikap saya? Jujur saja: optimisme butuh kerja keras dan sedikit naivitas. Realisme memaksa kita melihat bahwa geopolitik adalah kalkulasi kepentingan dan respons domestik. Ironisnya, solidaritas geopolitik paling efektif ketika dibingkai sebagai kepentingan nasional: Eropa harus menekan narasi bahwa membantu Ukraina adalah investasi pada stabilitas harga energi, rantai pasok, dan keamanan regional—hal-hal yang berdampak langsung pada kantong masyarakat Eropa sendiri. Jika itu berhasil disampaikan, maka dukungan publik bisa diubah dari belas kasihan menjadi perhitungan rasional.
Akhirnya, pembaca di sini—kita yang di luar lingkaran diplomasi—harus paham satu hal: konflik ini adalah proyek kolektif yang butuh lebih dari retorika heroik. Perubahan posisi AS memaksa Eropa untuk dewasa, memperlihatkan bahwa solidaritas bukan sekadar kata indah di konferensi pers, melainkan serangkaian keputusan fiskal, politik, dan etika yang berani. Ukraina? Nasibnya akan ditentukan oleh kombinasi kapasitas bertahan di medan, kemampuan membersihkan rumah sendiri dari korupsi, dan kecerdasan mitra-mitranya membiayai solusi yang adil dan berkelanjutan.
Kalau Anda masih ingin tersenyum getir setelah membaca ini, boleh saja — itu adalah reaksi yang wajar. Politik luar negeri sering memaksa kita menertawakan kontradiksi: negara-negara yang berbicara tentang demokrasi menuntut bukti integritas sebelum mengulurkan bantuan; pemimpin yang menolak kompromi harus menjaga legitimasi agar bisa menawar di meja perundingan. Yang pasti, jika Eropa ingin benar-benar menggantikan peran AS, ia harus punya lebih dari dompet: ia perlu legitimasi, strategi fiskal kolektif, dan keberanian untuk memaksa transparansi di pihak teman sekaligus lawan.
Sumber: