Opini
Eropa Bertaruh Mahal, Ukraina Belum Menang

Di sebuah forum bergengsi di Slovenia, Presiden Dewan Eropa Antonio Costa mengumumkan angka yang membuat kepala bergeleng: lebih dari €170 miliar sudah digelontorkan Uni Eropa untuk menopang Ukraina sejak perang pecah. Angka itu tidak lagi sekadar statistik, melainkan potret absurditas zaman: di tengah rakyat Eropa yang bergulat dengan tagihan listrik membengkak dan harga pangan meroket, miliaran euro justru melayang ke medan perang yang ujungnya belum jelas. Ironi ini terlalu telanjang untuk ditutupi dengan jargon tentang kedaulatan dan keamanan bersama.
Kita semua tahu, setiap bangsa punya harga diri. Tapi ketika harga diri itu dibeli dengan ongkos keseharian rakyat, bukankah ada sesuatu yang melenceng? Eropa hari ini bukan hanya donor terbesar Ukraina, tapi juga donor paling nekat. Mereka tidak sekadar menyumbang, melainkan mempertaruhkan stabilitas rumah tangga sendiri. Costa menyebut “resiliensi Ukraina adalah resiliensi Eropa.” Pernyataan itu terdengar gagah, namun di baliknya ada jutaan keluarga yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk sekadar menghangatkan rumah atau menyalakan kompor di musim dingin.
Kalau kita mau jujur, ini seperti seseorang yang rela menggadaikan rumah demi menjaga reputasi di mata tetangga. Apa pantas? Mungkin di atas kertas, ya. Tapi di lapangan, konsekuensinya nyata: industri baja, kimia, dan manufaktur Eropa megap-megap karena biaya energi melambung setelah pasokan murah dari Rusia diputus. Ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, sementara para pejabat sibuk berpidato tentang pentingnya solidaritas lintas batas. Solidaritas yang entah untuk siapa, karena bagi sebagian rakyat, solidaritas itu lebih mirip pengkhianatan.
Tentu, tak bisa dipungkiri bahwa agresi Rusia menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan Ukraina. Tapi apakah solusi terbaik bagi Eropa adalah menyiram api perang dengan bensin? Kritik datang bukan dari luar, melainkan dari dalam tubuh Uni Eropa sendiri. Banyak yang melihat miliaran euro itu sebagai proyek sia-sia, apalagi ketika hasilnya di medan tempur tidak seindah narasi. Ukraina memang masih berdiri, tetapi dengan luka yang semakin dalam, sementara Rusia tetap kukuh bahkan sesekali justru lebih diuntungkan oleh kegagalan Eropa menjaga konsolidasi energi dan ekonomi.
Saya rasa inilah inti kegelisahan: Eropa sudah terlalu jauh melangkah. Mereka tidak lagi sekadar membantu Ukraina, tapi menjadikan perang ini semacam ujian eksistensial. Ukraina harus menang, Rusia harus kalah, titik. Karena kalau tidak, Eropa sendiri yang akan tampak lemah, kehilangan wibawa, dan mungkin lebih cepat lagi terjerumus ke dalam krisis internal. Harga diri kolektif mereka kini bergantung pada keberhasilan sebuah negara yang secara ekonomi dan militer jauh lebih rapuh. Itu bukan sekadar taruhan—itu perjudian.
Dan perjudian ini punya efek domino. Ketika €170 miliar sudah keluar, siapa yang berani bilang “cukup”? Tidak ada. Karena mundur sekarang berarti mengakui bahwa seluruh pengorbanan itu sia-sia. Jadi Eropa akan terus menyetor, terus membakar, sampai entah kapan. Kita bisa belajar dari dunia bisnis: orang yang sudah telanjur investasi besar sering kali enggan berhenti meski jelas rugi. Sunk cost fallacy bukan hanya penyakit investor, tapi juga penyakit politik. Dan kini Eropa sedang terjangkit parah.
Bagi kita di Indonesia, situasi ini tidak asing. Bukankah kita juga sering melihat bagaimana elite mempertaruhkan kepentingan rakyat demi gengsi politik? Bedanya, skala Eropa jauh lebih besar. Namun pola pikirnya sama: harga diri pemimpin dibayar dengan kesulitan rakyat. Yang membedakan hanya siapa yang membayar paling mahal. Di Eropa, pekerja dan kelas menengah harus menanggung inflasi dan PHK, sementara di sini mungkin rakyat kecil yang jadi korban kebijakan serampangan. Analogi ini membuat kita bisa sedikit lebih memahami betapa getirnya hidup sebagai “penopang harga diri elite.”
Ironi semakin kental ketika kita mendengar Rusia menegaskan bahwa setiap konvoi senjata menuju Ukraina adalah target sah. Artinya, setiap euro yang dikirim berpotensi berakhir sebagai asap di udara. Tapi bukannya mundur, Eropa justru menegaskan komitmen lebih dalam. Seolah-olah semakin besar ancaman, semakin keras pula tekad mereka. Ini bukan lagi rasionalitas politik, melainkan semacam hipnosis kolektif: keyakinan bahwa dengan cukup banyak uang dan senjata, sejarah bisa dibelokkan. Padahal kenyataan di lapangan jauh lebih bandel daripada retorika.
Mari kita lihat lebih dekat absurditasnya: €170 miliar. Angka itu bisa membiayai pendidikan gratis untuk jutaan anak di Eropa. Bisa membangun ribuan rumah sakit modern. Bisa memperkuat transisi energi bersih yang selalu mereka banggakan di forum internasional. Tapi alih-alih dipakai untuk itu semua, uang rakyat dialirkan ke medan perang. Bukan berarti Ukraina tidak layak dibantu, tapi ketika bantuan itu berubah menjadi obsesi yang memakan korban internal, bukankah itu sudah melampaui batas logika?
Eropa kini seperti orang yang menolak mengakui sakit meski tubuhnya sudah demam tinggi. Mereka terus tersenyum, berkata “kami baik-baik saja,” padahal rakyat mereka mulai menjerit. Protes sosial yang muncul di berbagai negara hanyalah gejala awal. Kalau inflasi terus berlanjut, kalau lapangan kerja terus tergerus, maka gelombang ketidakpuasan bisa jadi lebih berbahaya bagi stabilitas Eropa dibanding ancaman Rusia. Tapi sekali lagi, harga diri dan gengsi politik sering kali lebih berisik daripada suara perut lapar.
Saya tidak mengatakan Eropa akan runtuh sebagai kekuatan politik. Tapi sebagai kekuatan ekonomi, risiko kejatuhan itu nyata. Apalagi di tengah kompetisi global dengan Tiongkok dan AS, Eropa tidak bisa selamanya mengandalkan simbol moral. Dunia bisnis tidak peduli siapa yang menang perang; yang penting siapa yang bisa menawarkan energi murah, pasokan stabil, dan pasar yang sehat. Jika Eropa terus membakar sumber daya demi perang yang belum tentu dimenangkan, mereka bisa kehilangan posisi strategis di panggung ekonomi dunia.
Dan di situlah letak tragedinya: dalam upaya mati-matian menjaga “ketahanan Eropa” melalui Ukraina, mereka justru membuka pintu kehancuran perlahan dari dalam. Bukan kehancuran negara, tapi kehancuran daya saing, kesejahteraan, dan kepercayaan rakyat pada elite mereka. Jika pada akhirnya Eropa harus jatuh, itu bukan karena Rusia terlalu kuat, melainkan karena mereka sendiri terlalu sibuk mempertahankan ilusi harga diri hingga lupa pada realitas yang menatap langsung dari depan mata.
Pada titik ini, saya hanya bisa mengingatkan diri sendiri dan kita semua: jangan sampai terjebak pada pola yang sama. Jangan sampai harga diri politik elite kita membuat rakyat harus membayar tagihan yang terlalu mahal. Karena sekali jatuh dalam perjudian seperti itu, sulit untuk berhenti. Eropa sedang membuktikan hal itu hari ini—dan barangkali suatu hari nanti, mereka akan tersadar bahwa kemenangan yang mereka impikan hanyalah fatamorgana, sementara kerugian yang ditanggung sudah terlalu nyata.