Opini
Eropa Bersiap untuk Perang?

Delapan negara Uni Eropa—Belgia, Estonia, Finlandia, Latvia, Lituania, Luksemburg, Belanda, dan Swedia—pada Kamis lalu meluncurkan sebuah “koalisi yang bersedia” untuk kesiapsiagaan krisis. Mereka menyerukan tindakan terkoordinasi yang mendesak di tingkat Eropa guna meningkatkan ketangguhan benua menghadapi bencana, baik yang bersumber dari alam maupun ulah manusia. Diberitakan oleh Euronews, inisiatif ini bukan sekadar langkah teknokratis. Ia menyiratkan kegelisahan yang tengah menyelimuti Eropa—sebuah perubahan atmosfer dari rasa aman yang dulu nyaris dianggap pasti, kini berubah menjadi kecemasan yang tak bisa lagi ditepis.
Retorika mengenai “ketahanan” dalam dokumen resmi menyembunyikan satu kenyataan getir: Eropa tengah bersiap untuk menghadapi kondisi terburuk. Mungkin bukan perang dalam bentuk klasik, tapi situasi genting yang mendekatinya. Koalisi ini menyatakan bahwa ancaman kini tak lagi mengenal batas negara. Bentuknya pun kian beragam—mulai dari militer konvensional, serangan hibrida, terorisme, hingga manipulasi asing yang kompleks dan lintas teritori. Menteri Pertahanan Sipil Swedia, Carl-Oskar Bohlin, secara lugas menunjuk Rusia sebagai aktor destabilisasi utama, yang dapat mengguncang stabilitas Uni Eropa, terutama bila konflik di Ukraina mulai mereda dan Rusia mengalihkan fokus agresinya.
Bukan sekadar spekulasi belaka, invasi Rusia ke Ukraina sejak 2022 telah mengubah persepsi keamanan Eropa secara mendasar. Wilayah yang selama ini menikmati perdamaian pasca-Perang Dingin kini harus bersiap diri. Rasa aman yang dibangun puluhan tahun bisa lenyap dalam sekejap. Kini, Komisi Eropa menganjurkan setiap warga memiliki perlengkapan bertahan hidup untuk 72 jam: makanan, air, obat-obatan, radio, senter, dan dokumen penting. Satu dekade lalu, hal semacam ini mungkin terdengar berlebihan. Kini, ia menjadi instruksi resmi.
Awalnya, anjuran tersebut dianggap alarmis. Namun, pemadaman listrik nasional di Spanyol pada April 2025 menjadi pembuktian nyata. Ribuan warga terjebak dalam gelap, tanpa akses ke kebutuhan dasar, dalam cuaca yang ekstrem. Peristiwa ini menunjukkan bahwa krisis tak selalu datang dalam wujud tank atau rudal. Kadang, cukup dengan runtuhnya infrastruktur untuk mengubah rutinitas menjadi kekacauan. Di Indonesia, kita akrab dengan bencana alam seperti gempa dan banjir. Namun, Eropa kini menghadapi spektrum ancaman yang lebih luas—dari serangan siber hingga disinformasi—yang mampu melumpuhkan masyarakat modern hanya dalam hitungan jam.
Koalisi ini menyadari bahwa kesiapsiagaan memang tanggung jawab masing-masing negara. Namun, ancaman lintas batas menuntut kerja sama kolektif. Negara-negara seperti Belgia, negara Baltik, dan Skandinavia, yang memiliki kedekatan geografis maupun sejarah dengan Rusia, sudah sejak lama meningkatkan kewaspadaan. Swedia dan negara-negara Baltik memiliki pengalaman panjang menghadapi tekanan dari timur. Menteri Kehakiman dan Keamanan Belanda, David van Weel, menekankan pentingnya belajar dari mereka yang telah lebih dulu membangun sistem ketahanan yang tangguh.
Di Belanda, misalnya, warga dilatih menjadi pekerja perlindungan sipil—mereka bisa memadamkan api, memberi pertolongan pertama, atau mengevakuasi warga dalam kondisi darurat. Ini bukan sekadar soal memiliki senter dan baterai cadangan, tapi tentang membentuk masyarakat yang siap dan tak mudah goyah ketika bencana datang.
Di Indonesia, konteks ini bisa dikaitkan dengan pelatihan tanggap bencana yang digalakkan oleh BNPB. Bedanya, di Eropa ancamannya jauh lebih kompleks dan berlapis. Komisi Eropa mendorong penimbunan alat medis, bahan baku penting, dan perlengkapan energi. Ini bukan langkah biasa—ini adalah strategi antisipatif terhadap krisis geopolitik dan gangguan rantai pasok yang bisa datang sewaktu-waktu. Bayangkan jika Indonesia harus menyimpan stok BBM atau obat-obatan untuk mengantisipasi eskalasi ketegangan di Laut Cina Selatan. Kita belum sampai di sana, tapi Eropa sudah lebih dulu merasakan urgensinya.
Bagi masyarakat Eropa, terutama di bagian barat yang telah lama hidup dalam bayang-bayang damai sejak 1945, semua ini bisa terasa asing sekaligus mengkhawatirkan. Warga yang terbiasa dengan kenyamanan listrik tanpa putus, koneksi internet cepat, dan toko swalayan yang selalu penuh kini diminta bersiap menghadapi ketidakpastian. Senter, baterai cadangan, hingga peta fisik kembali menjadi kebutuhan pokok. Ini bukan sekadar pergeseran logistik, tapi transformasi mental. Bagi kita di Indonesia yang lebih terbiasa hidup dengan fluktuasi infrastruktur dan cuaca ekstrem, tantangan ini mungkin lebih familiar. Tapi bagi Eropa, ini adalah realitas baru.
Ketika Carl-Oskar Bohlin mengatakan bahwa masyarakat harus menunjukkan bahwa “kita tak akan menyerah,” ia menyampaikan pesan kunci: ketahanan sipil adalah bentuk pertahanan yang paling mendasar. Musuh—baik negara maupun non-negara—akan lebih berani menyerang bila melihat masyarakat yang rapuh dan tidak siap. Sebaliknya, masyarakat yang kuat dan siaga bisa menjadi benteng yang kokoh. Analogi ini sangat relevan bagi Indonesia, terutama dalam konteks ketahanan pangan atau energi saat ketegangan geopolitik di kawasan meningkat.
Namun, tetap ada tantangan besar: bagaimana menyampaikan urgensi ini tanpa menciptakan kepanikan. Ketika Komisi Eropa mendorong perlengkapan darurat, sebagian pihak menuduhnya menyebarkan ketakutan. Tapi pengalaman masa lalu, seperti tsunami Aceh 2004, mengajarkan bahwa kesiapsiagaan selalu lebih baik daripada penyesalan. Kini, negara-negara lain seperti Jerman dan Polandia juga menunjukkan minat bergabung dalam koalisi. Kesadaran akan ancaman bersama kini menyebar luas, melampaui batas timur Eropa.
Jika direnungkan, apa yang membuat Eropa kini siaga seperti ini? Konflik Rusia-Ukraina memang menjadi pemicu utama, namun lebih dari itu, ada pengakuan bahwa dunia telah berubah. Globalisasi yang memudahkan koneksi juga menghadirkan kerentanan baru. Satu serangan siber bisa menghentikan sistem logistik, satu gangguan pada pasokan energi bisa menutup rumah sakit. Indonesia pun mengalami hal serupa saat pandemi COVID-19 memperlihatkan betapa rapuhnya sistem global kita.
Koalisi ini dijadwalkan bertemu dua kali setahun, dengan pertemuan selanjutnya di Swedia. Ini bukan akhir, melainkan awal dari proses panjang membangun Eropa yang lebih tangguh. Pertanyaan yang tersisa: sampai sejauh mana Eropa harus bersiap? Apakah ini persiapan untuk perang, atau semata-mata upaya bertahan di tengah dunia yang semakin tak pasti?
Di Indonesia, kita pun layak bertanya: bila eskalasi konflik di kawasan meningkat, apakah kita cukup siap? Eropa mengajarkan bahwa kesiapsiagaan bukan berarti ketakutan. Ia adalah bentuk keberanian untuk tetap berdiri tegak, apa pun yang datang menghadang. Tapi, satu hal yang tak bisa diingkari: semua persiapan ini takkan pernah muncul tanpa sebab. Dan sebab itu, bagaimana pun kita ingin menyangkalnya, adalah bayang-bayang konflik yang semakin mendekat.