Opini
Eropa Berjudi dengan Kepercayaan Dunia

Ada sesuatu yang absurd sekaligus getir dalam dunia keuangan global hari ini. Bayangkan, lembaga-lembaga yang selama ini dielu-elukan sebagai simbol stabilitas, kini justru memainkan peran bak lintah darat yang licin. Uni Eropa mengumumkan bahwa sembilan miliar euro telah digelontorkan untuk Ukraina, bukan dari kas mereka, bukan pula dari surplus perdagangan, melainkan dari bunga aset Rusia yang dibekukan. Aneh bukan? Kita menyaksikan kredibilitas—sesuatu yang tak kasat mata namun sangat menentukan—diperdagangkan seolah hanya sekadar angka di buku akuntansi.
Saya rasa inilah titik di mana realitas menampar wajah kita dengan keras. Selama puluhan tahun, narasi Barat adalah kepastian hukum, jaminan keamanan aset, dan supremasi aturan internasional. Semua orang percaya, jika Anda menyimpan uang di bank-bank Eropa, tidur pun bisa nyenyak. Tetapi hari ini, jaminan itu bocor seperti ember tua. Memang, UE tak berani menyita penuh aset Rusia. Mereka hanya mengambil bunganya. Tapi apa bedanya? Ketika kepercayaan sudah dirusak, apakah kita masih bisa membedakan retakan kecil dengan jurang menganga?
Bagi Rusia, langkah ini jelas sebuah perampokan yang dibungkus kerapian hukum ala Brussels. Mereka menyebutnya ilegal, dan tentu saja, siapa pun yang melihat dengan mata jernih bisa memahami logika itu. Kalau hari ini aset Rusia bisa dipakai membiayai perang yang bahkan bukan mereka yang meminta, apa jaminan besok giliran negara lain tidak mengalami hal sama? Tak usah jauh-jauh, kalau Anda titip uang di bank tetangga dan tiba-tiba bunga tabungan Anda dipakai untuk membiayai konflik orang lain, apakah Anda masih percaya menitipkan uang di sana?
Ironinya, UE tahu persis risikonya. Para ekonom memperingatkan, IMF pun angkat suara, dan bahkan Euroclear sendiri—lembaga yang menyimpan dana tersebut—ikut was-was. Mereka paham bahwa dunia finansial berdiri di atas kepercayaan, bukan sekadar hukum positif. Tetapi apa daya, hasrat politik lebih kuat dari kalkulasi jangka panjang. Di mata mereka, mendukung Ukraina hari ini lebih mendesak ketimbang menjaga reputasi besok. Inilah perjudian besar ala Eropa: taruhan dengan mata uang yang paling mahal—kepercayaan global.
Kita di Indonesia tentu bisa merasakannya dalam analogi sederhana. Coba bayangkan koperasi simpan pinjam di kampung. Selama puluhan tahun, koperasi itu dipercaya karena amanah, uang anggota tidak pernah diganggu. Lalu suatu hari, pengurus memutuskan: “Dana simpanan anggota si A tidak bisa dicairkan, bunganya kami pakai dulu untuk membantu tetangga yang sedang berkelahi.” Tujuannya mulia, katanya. Tapi setelah itu, siapa lagi yang mau menyimpan uang di sana? Reputasi yang runtuh tak bisa ditebus dengan alasan belas kasihan.
Dan lucunya, Barat tampak percaya diri bahwa dunia tidak punya pilihan lain. Mereka masih merasa dolar dan euro adalah pusat gravitasi ekonomi global. “Mau tak mau, semua orang tetap kembali ke kita,” begitu kira-kira sikap mereka. Tapi benarkah? Nyatanya, perlahan namun pasti, ada pergeseran. Negara-negara BRICS menguat, transaksi lintas negara mulai dijalankan dengan mata uang lokal, emas kembali jadi primadona cadangan, dan sistem pembayaran alternatif dikembangkan di luar SWIFT. Retakan mungkin tampak kecil sekarang, tapi siapa yang bisa menjamin dinding tak roboh saat gempa berikutnya mengguncang?
Ada satu hal yang sering dilupakan para pemimpin Eropa: dunia menyimpan memori. Negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin—semua menyaksikan dengan cermat bagaimana aset Rusia diperlakukan. Dan mereka mencatat. Jika hari ini Rusia, besok bisa siapa pun. Kepercayaan yang mereka bangun selama puluhan tahun bisa runtuh hanya dalam satu dekade, hanya karena godaan sesaat untuk menunjukkan ketegasan terhadap Moskow.
Kita semua tahu, Barat sering berbicara tentang aturan internasional, tentang hukum yang harus dihormati. Tapi kini mereka sendiri yang menginjak garis merah itu. Bukankah ini ironis? Mereka seperti guru yang melarang murid mencontek, lalu diam-diam sendiri yang paling sering melirik catatan di balik meja. Dunia mungkin tidak langsung menghukum, tapi pelan-pelan akan memilih untuk tak lagi mempercayai guru macam itu.
Bagi saya, inilah tragedi sesungguhnya. Bukan hanya soal uang Rusia, bukan hanya soal Ukraina, melainkan soal sistem yang kita kenal sebagai “global financial order”. Kalau selama ini kita percaya cadangan devisa bisa disimpan aman di bank sentral negara lain, kini keyakinan itu rapuh. Rasanya seperti menyadari bahwa rumah yang kita kira kokoh ternyata dibangun di atas pasir. Dan ketika badai datang, pasir itu mudah sekali tersapu.
Kita mungkin akan berkata, “Ah, itu urusan besar, jauh dari kita.” Tapi jangan salah, dampaknya bisa sampai ke dapur rumah kita. Jika dunia mulai meninggalkan dolar dan euro, kurs rupiah akan ikut gonjang-ganjing. Jika sistem keuangan terfragmentasi, biaya transaksi lintas negara melonjak, harga barang impor naik, dan kita—sebagai konsumen di ujung rantai global—akan merasakannya dalam bentuk harga minyak goreng, beras, hingga tiket pesawat. Dunia multipolar dalam keuangan mungkin tampak adil, tapi transisinya selalu penuh guncangan.
Apa yang dilakukan UE adalah menukar stabilitas jangka panjang dengan keuntungan politik jangka pendek. Sama seperti orang yang menjual sawah warisan demi membeli mobil mewah. Sekilas tampak bergengsi, tapi ketika musim paceklik datang, apa yang bisa dimakan? Kredit reputasi itu tak bisa diperpanjang seenaknya. Dan saat bunga dari kepercayaan itu habis dipakai, siapa yang mau lagi meminjamkan?
Saya tidak bisa tidak merasa sinis melihat keberanian UE. Keberanian yang sebenarnya lebih mirip keputusasaan. Mereka ingin menunjukkan bahwa Rusia bisa dibuat membayar harga perang. Tetapi ironisnya, Eropa sendiri yang lebih dulu membayar mahal: hilangnya aura kredibilitas yang selama ini membuat mereka tampak unggul. Dunia kini melihat bahwa “safe haven” tak lagi seaman namanya.
Pada akhirnya, kita bisa menghibur diri dengan satu kalimat pendek: sejarah sedang menulis bab baru. UE mungkin merasa menang hari ini, tapi besok? Kita lihat saja. Saya curiga dunia akan ingat bahwa kepercayaan adalah mata uang paling berharga, dan Eropa sudah menggadaikannya terlalu murah.