Connect with us

Opini

Eropa Baru, Eropa Siap Perang

Published

on

Tujuh juta meter persegi tanah Eropa kini disulap menjadi pabrik-pabrik senjata, berderet dari Norwegia hingga Hungaria, seakan benua ini sedang mengulang bab lama yang dulu mereka sumpahi tak akan diulangi. Data satelit membocorkan geliat ini: konstruksi yang tumbuh tiga kali lipat lebih cepat sejak konflik Ukraina meletus. Rheinmetall membangun fasilitas baru di Hungaria, MBDA memperluas produksi rudal Patriot di Jerman, dan Kongsberg di Norwegia sudah memotong pita pembukaan pabrik pada 2024. Media Barat menyebutnya “rearmament on a historic scale.” Saya lebih suka menyebutnya: pesta persenjataan dengan dress code trauma sejarah.

Para pemimpin Eropa berkilah, semua ini demi “mencegah agresi Rusia” dan memenuhi target NATO. Kanselir Jerman, Friedrich Merz, bahkan bertekad membangun “tentara terkuat di Eropa,” sementara Menteri Pertahanannya, Boris Pistorius, tak segan membicarakan kembalinya wajib militer—sesuatu yang dulu dianggap fosil dari era kelam. Di sisi lain, Moskow menatap semua ini dengan campuran sinis dan waspada. Sergey Lavrov menuduh Barat tengah menyiapkan perang besar, bukan sekadar perang hibrida, dan menyebut Eropa telah terjebak dalam “Russophobic frenzy” yang tak terkendali, sambil melontarkan analogi “Fourth Reich” yang tentu akan membuat redaksi media Barat garuk kepala sambil menulis editorial marah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kalau ini bukan tanda bahwa Eropa sedang bersiap untuk perang, saya tak tahu lagi apa definisinya. Yang jelas, ini adalah transformasi psikologis sekaligus politik yang besar: dari benua yang selama tiga dekade menikmati “dividen perdamaian” pasca-Perang Dingin, menjadi blok militer yang berpacu membangun kemampuan tempur. Sebuah ironi, karena Uni Eropa pernah menjual dirinya sebagai proyek perdamaian terbesar abad ini. Sekarang, perdamaian itu tampak lebih seperti masa jeda sebelum babak berikutnya dimulai.

Masalahnya, Eropa bukan hanya mempersiapkan perang, mereka juga sedang mengejar ketertinggalan. Mari kita jujur: di banyak sektor teknologi militer modern—terutama drone, rudal presisi murah, dan strategi asymmetric warfare—Eropa bukanlah pemain terdepan. Lihat saja Yaman, negara miskin yang bisa membuat Tel Aviv kehilangan tidur dan memaksa Washington menyesuaikan langkahnya. Ini bukan sekadar soal uang atau industri besar, tapi soal kreativitas dan adaptasi medan tempur, sesuatu yang tak bisa dibeli dengan anggaran triliunan euro begitu saja. Eropa mungkin bisa membeli mesin produksi tercanggih, tapi mereka tak bisa membeli pengalaman tempur yang sudah ditempa di perang Yaman, Suriah, atau Nagorno-Karabakh.

Lambannya birokrasi dan tarik-menarik kepentingan antar negara anggota membuat inovasi militer di Eropa sering terasa seperti lomba lari estafet—terlalu banyak yang memegang tongkat, terlalu lama waktu yang terbuang saat perpindahan. Selama ini mereka mengandalkan perlindungan payung militer AS, membiarkan kemampuan domestik mereka tidur nyenyak di gudang dokumen dan laboratorium yang sesekali mendapat proyek riset. Sekarang, ketika dunia berubah lebih cepat daripada rapat Komisi Eropa, mereka sadar ketertinggalan itu mahal untuk ditebus.

Tapi yang paling menarik dari drama ini bukan hanya soal senjata atau strategi, melainkan nasib publik Eropa sendiri. Ketika miliaran euro dialihkan untuk membangun pabrik amunisi dan rudal, selalu ada yang harus dikorbankan. Sekolah-sekolah, rumah sakit, subsidi energi—semua berpotensi mendapat potongan anggaran. Pajak bisa naik, harga barang bisa melonjak, sementara retorika “demi keamanan nasional” akan menjadi mantra yang membius sebagian dan memuakkan sebagian lainnya. Bayangkan saja, generasi muda yang dibesarkan dengan janji kebebasan dan integrasi kini mungkin akan menerima surat panggilan wajib militer. Dari liburan musim panas di Barcelona, ke musim panas di barak militer.

Di tengah semua ini, ada perubahan halus tapi nyata dalam iklim sosial. Diskursus publik mulai dipenuhi narasi ancaman, media lebih sering menampilkan gambar tank ketimbang taman bunga musim semi, dan politisi belajar bahwa menakut-nakuti rakyat dengan bayangan invasi lebih efektif daripada menjanjikan reformasi. Demokrasi Eropa, yang dulu dibanggakan sebagai model dunia, pelan-pelan mengadopsi gaya retorika darurat yang selalu punya alasan untuk menunda kebebasan demi “situasi keamanan.”

Sebagian orang akan berkata bahwa ini adalah langkah realistis di dunia yang makin berbahaya. Dan memang benar, ancaman itu ada, bahkan jika kita memfilter retorika berlebihan dari kedua belah pihak. Namun, yang sering dilupakan adalah bahwa perlombaan senjata punya logika sendiri: ia menggerakkan roda ekonomi, menguatkan posisi politik tertentu, dan menciptakan kepentingan yang justru membutuhkan ketegangan agar tetap relevan. Ketika sudah terjebak di dalamnya, sulit untuk berhenti, apalagi mundur.

Eropa tentu paham bahwa mereka bukan satu-satunya yang bersenjata. Dunia kini penuh pemain yang sudah menguasai taktik dan teknologi untuk menyaingi bahkan mengungguli kekuatan konvensional Barat. Rusia dengan rudal hipersoniknya, Iran dengan drone murah tapi efektif, dan ya—Yaman, yang bahkan tanpa PDB besar bisa membuat Washington berpikir dua kali sebelum melancarkan operasi penuh. Fakta ini seharusnya membuat Eropa rendah hati, tapi justru sering membuat mereka semakin tergesa-gesa, seperti pelari maraton yang mencoba sprint di kilometer terakhir.

Bagi publik Eropa, semua ini bukan sekadar berita luar negeri. Ini adalah pergeseran hidup sehari-hari: dari rasa aman menjadi kewaspadaan permanen, dari perdebatan soal kualitas roti di pasar lokal menjadi perdebatan soal anggaran pertahanan dan siapa yang harus siap angkat senjata. Akan selalu ada yang mendukung langkah ini demi “keamanan bersama,” tetapi juga akan ada yang bertanya apakah semua ini benar-benar membuat mereka lebih aman, atau justru memanggil badai yang selama ini masih jauh di horizon.

Pada akhirnya, “Eropa Baru” ini bukan hanya benua dengan lebih banyak pabrik senjata. Ia adalah benua yang perlahan mengubah definisi dirinya, dari mercusuar perdamaian menjadi benteng bersenjata. Dan seperti semua benteng, ia akan selalu hidup dengan rasa curiga terhadap dunia luar, sambil berharap temboknya cukup tinggi untuk menahan apa pun yang datang. Tapi sejarah punya selera humor yang kejam: tembok-tembok yang dibangun untuk melindungi, sering kali juga menjadi penjara bagi mereka yang ada di dalamnya.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Jerman Siap Perang, Sejarah Tersenyum Pahit

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer