Connect with us

Opini

Eropa Babak Belur, AS Raup Untung Perang Ukraina

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin terbiasa dengan absurditas, ada kabar yang membuat dahi berkerut sekaligus mulut tersenyum getir: Ukraina meminta Eropa merogoh kocek sebesar seratus miliar dolar untuk membeli senjata buatan Amerika. Seratus miliar dolar, bukan angka main-main. Di negeri-negeri Eropa yang sedang kalut dengan inflasi, harga energi melambung, dan keresahan sosial akibat dompet yang kian tipis, permintaan itu terdengar seperti lelucon pahit yang dipaksakan agar semua orang tertawa, meski hati menjerit.

Kiev, yang jelas berada di posisi terjepit, memang berhak meminta bantuan. Mereka sedang berperang, kehilangan wilayah, dan terus terdesak oleh mesin perang Rusia yang tak kenal lelah. Tetapi ironinya, permintaan itu bukan sekadar soal bantuan moral, melainkan soal uang tunai dalam jumlah raksasa. Uang yang harus keluar dari kantong Eropa, tapi pada akhirnya masuk ke pundi-pundi industri militer Amerika. Jadi siapa sebenarnya yang sedang berperang? Ukraina yang berdarah-darah, Eropa yang membayar, atau Amerika yang menuai keuntungan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Trump, dengan gaya khasnya yang blak-blakan, sudah sejak lama mempertanyakan mengapa Washington harus menanggung biaya begitu besar untuk Kiev. Ia lalu memutarbalikkan meja permainan: senjata boleh dari Amerika, tetapi uangnya Eropa yang bayar. Sebuah trik dagang yang cerdik. Amerika tetap tampil sebagai “penolong,” industri senjatanya terus berputar, tetapi bebannya dialihkan ke Eropa. Washington seolah berkata: silakan perang berlanjut, kami hanya penyedia toko senjata, bukan donatur amal.

Sementara itu, Ukraina tak berhenti menuntut. Seratus miliar dolar untuk senjata impor belum cukup; mereka menyiapkan rencana lima puluh miliar dolar lagi untuk membangun industri drone domestik. Angka-angka ini melayang-layang seperti mimpi, tapi ditulis rapi dalam dokumen yang konon sudah dibagi ke pihak Amerika. Sepuluh sistem rudal Patriot masuk dalam daftar, seolah-olah rudal itu jaminan keselamatan abadi. Padahal kita tahu, di medan perang, tidak ada senjata yang bisa menjanjikan keabadian.

Eropa sendiri, mari jujur, sedang kepayahan. Harga energi yang meroket setelah sanksi terhadap Rusia, resesi yang mengintip di banyak negara, dan gelombang protes sosial membuat pemerintah di Berlin, Paris, atau Roma harus berhitung keras. Menambah beban seratus miliar dolar untuk Ukraina bukan hanya keputusan politik, melainkan juga taruhan terhadap stabilitas dalam negeri. Bayangkan jika di Jakarta harga beras naik, listrik mahal, tapi pemerintah kita masih harus memikul beban ratusan triliun untuk perang orang lain—apakah rakyat akan diam saja? Eropa sedang mengalami dilema serupa, hanya saja skalanya jauh lebih brutal.

Trump sendiri, dalam pertemuan di Alaska, mengklaim bahwa Putin siap memberikan jaminan keamanan untuk Ukraina. Tetapi apa arti “jaminan” dalam kamus Kremlin? Sangat mungkin berbeda jauh dengan yang dibayangkan Zelensky. Ukraina ingin jaminan setara dengan Pasal 5 NATO: serangan terhadap satu berarti serangan terhadap semua. Rusia jelas tak akan menerima kehadiran pasukan NATO di dekat perbatasannya. Jadi “jaminan” ala Putin bisa jadi hanya janji samar tanpa isi, sekadar kata-kata manis untuk menunda konfrontasi langsung.

Dan di sinilah letak absurditas yang sebenarnya. Ukraina menginginkan jaminan mutlak. Rusia menolak kompromi yang menurunkan wibawanya. Amerika memilih posisi untung, sementara Eropa dipaksa menjadi dompet berjalan. Perang ini pada akhirnya memperlihatkan siapa yang benar-benar membayar harga. Ukraina membayar dengan darah. Eropa membayar dengan uang. Amerika mendapat laba. Rusia mempertaruhkan wibawa kekaisaran lamanya. Masing-masing bermain dalam logika sendiri, tetapi yang menderita paling nyata adalah mereka yang tidak punya pilihan selain menanggung beban.

Saya rasa kita perlu melihat situasi ini dengan kacamata yang lebih dekat dengan keseharian. Bayangkan sebuah kampung di mana seorang tetangga bertengkar hebat dengan preman pasar. Tetangga itu minta tolong ke semua warga agar patungan membeli senjata dari toko sebelah desa. Toko itu milik orang yang licik, selalu untung apa pun yang terjadi. Warga desa, meski keberatan, akhirnya dipaksa membayar demi menjaga keamanan bersama. Tetapi lama-lama, warga mulai sadar: mengapa kita yang harus terus bayar, sementara toko senjata makin kaya, dan pertengkaran tak juga selesai?

Situasi Ukraina-Eropa-AS tak jauh beda. Zelensky menuntut lebih banyak, seolah-olah Eropa punya dompet tak terbatas. Eropa mengeluh tapi tetap membayar, karena kalau menolak, mereka akan dianggap lemah di hadapan Rusia. Amerika, di sisi lain, memegang kendali penuh atas suplai senjata, menjadikan dirinya pemenang ekonomi dalam perang yang tak ia jalani langsung. Di balik retorika solidaritas, ada praktik bisnis dingin yang terus berjalan.

Ironinya, Eropa yang dulu merasa sebagai pusat peradaban kini seperti jongos di meja perundingan. Mereka membayar mahal, tapi tidak menentukan arah perang. Trump bahkan menekan mereka dengan tarif perdagangan, seolah mengingatkan: jangan lupa, kalau mau aman, dompet kalian harus terbuka lebar, tidak hanya untuk perang tapi juga untuk hubungan dagang. Eropa, yang sudah lelah, kini dihadapkan pada dua pilihan pahit: menjadi “ATM” bagi Ukraina, atau menghadapi risiko geopolitik dan diplomatik bila berhenti membayar.

Saya melihat situasi ini bukan sekadar drama internasional, melainkan juga cermin tentang bagaimana kekuasaan bekerja. Ada pihak yang bertarung di garis depan, ada yang jadi penyandang dana, ada yang jadi pedagang, dan ada yang memegang veto atas jalan damai. Semua peran itu berjalan bersamaan, menciptakan ironi global di mana mereka yang paling babak belur justru yang paling keras diminta berkorban.

Kita bisa bertanya dengan getir: berapa lama Eropa bisa bertahan dalam posisi ini? Apakah mereka akan terus menjadi juragan yang hanya tahu mengeluarkan uang tanpa pernah memetik hasil? Atau akan ada titik jenuh, ketika rakyat mulai berkata cukup, dan para pemimpin Eropa terpaksa mencari jalan keluar yang berbeda? Ukraina tentu berharap Eropa tidak menyerah, karena tanpa dompet Eropa, pertahanan mereka akan runtuh. Tetapi berharap tanpa batas pada pihak yang sudah kepayahan adalah taruhan berbahaya.

Pada akhirnya, perang ini tidak hanya menguji kekuatan militer atau ketahanan diplomasi, tetapi juga menguji siapa yang sanggup menanggung penderitaan lebih lama. Ukraina dengan darahnya, Eropa dengan uangnya, Rusia dengan harga dirinya, dan Amerika dengan reputasinya sebagai penjual senjata global. Kita semua tahu, pada satu titik, semua pertunjukan ini akan kehilangan penonton. Yang tersisa hanyalah lelah, getir, dan pertanyaan yang terus mengambang: apakah semua ini benar-benar demi keamanan, atau hanya demi keuntungan segelintir orang?

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Eropa Bertaruh di Ukraina, Rakyat yang Membayar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer