Connect with us

Opini

Erdogan, Al-Sharaa, dan Catur Berdarah di Suriah

Published

on

Di dunia yang semakin kejam namun penuh retorika lembut ini, Recep Tayyip Erdogan kembali naik panggung. Bukan untuk menengahi perang, bukan pula untuk menangis di hadapan mayat anak-anak Suriah—seperti yang pernah ia lakukan dengan dramatisme penuh air mata di panggung-panggung internasional—tetapi untuk memainkan peran favoritnya: raja dagang konflik, atau bila boleh kita sebut dengan lebih tepat: power broker yang licin, oportunis, dan fasih memoles tragedi menjadi modal politik.

“Kami tidak akan meninggalkan Presiden Ahmad al-Sharaa sendirian,” katanya. Sebuah pernyataan yang di permukaan terdengar seperti janji persahabatan, tapi jika dikupas, adalah deklarasi sinis tentang siapa yang berhak main di papan catur Suriah. Ia tidak berkata, “Kami bersama rakyat Suriah.” Ia tak mengucapkan, “Kami akan mendukung stabilitas dan rekonsiliasi di Suriah.” Yang ia janjikan adalah perlindungan terhadap satu orang—seorang figur yang kariernya dibaptis oleh darah dan kekacauan, seorang eks komandan kelompok ekstremis yang kini didandani sebagai “Presiden.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dan di sinilah absurditas itu mencuat: pernyataan Erdogan lebih menyerupai sumpah setia antar dua pria yang bermain di lorong-lorong kekuasaan, ketimbang dukungan diplomatik antarnegara. Ia tidak sedang menyambut negara tetangga yang kembali stabil, melainkan menegaskan ikatan personal dengan seseorang yang ia anggap bisa membuka pintu pengaruh Ankara. Kalimatnya terdengar seperti “Aku backup kamu,” bukan “Kami bersama rakyatmu.” Ini bukan politik luar negeri, ini politik pertemanan berbalut kepentingan.

Erdogan tahu apa yang ia lakukan. Ini bukan soal moralitas. Ini tentang posisi. Dan siapa yang berani menyanggahnya? Di antara reruntuhan rumah dan jeritan dari Sweida yang kini penuh mayat, Erdogan menyelipkan narasinya yang manis: stabilitas, perdamaian, dan tentu saja—bahaya besar bernama Israel. Semuanya disatukan dalam satu paket wacana yang tampak idealis tapi sejatinya penuh jebakan geopolitik.

Tapi tunggu sebentar. Apakah Erdogan betul-betul peduli pada rakyat Suriah? Ataukah ia hanya sedang memainkan peran barunya—broker kawasan—yang dengan lihainya menjual pengaruh ke semua pihak, sembari membangun pencitraan di hadapan dunia Islam sebagai pemimpin terakhir yang “berani” melawan zionis?

Jawaban mungkin tak perlu dirumuskan panjang-panjang. Lihat saja rekam jejaknya: saat jutaan pengungsi Suriah masuk ke wilayah Turki, Erdogan tak benar-benar memeluk mereka dengan cinta, tapi menjadikannya alat tawar dengan Uni Eropa. “Kalau kalian tak bayar, mereka akan kami lepas,” kira-kira begitu ancamannya. Lalu ketika Idlib berubah jadi zona perburuan udara antara Rusia dan AS, Erdogan lebih sibuk menghitung berapa pangkalan militer yang bisa ia bangun di sana ketimbang menghitung jumlah anak-anak yang tertimbun reruntuhan.

Kini, ia mendekap al-Sharaa dengan ucapan manis, sembari menuding Israel sebagai provokator utama. Tentu saja, sebagian dari tudingannya tak bisa begitu saja ditampik. Israel memang bermain kotor—selalu begitu. Mereka ingin Suriah tetap compang-camping, sebab negara yang sibuk berperang dengan dirinya sendiri tak akan sempat menoleh ke Dataran Tinggi Golan yang masih dijajah. Tapi ironinya, Israel tak perlu bekerja keras: para “saudara seiman” sudah saling menghancurkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dan kini, Erdogan masuk ke arena bukan untuk menghentikan perkelahian, tapi untuk memastikan bahwa kursinya di tepi ring tetap empuk dan strategis.

Lihat bagaimana dia memainkan semuanya: berbicara soal “kesatuan Suriah” sembari mendukung faksi yang bertikai dengan Damaskus. Mengutuk kekerasan atas nama kemanusiaan, tapi tetap memasok senjata ke wilayah yang ia nilai “menguntungkan secara geopolitik.” Erdogan adalah aktor panggung yang brilian—ia menangis dengan satu mata, dan mengedipkan mata lainnya ke para pedagang senjata.

Sementara itu, Sweida, provinsi kecil yang didominasi komunitas Druze, berubah jadi kuburan massal. Seribu lebih nyawa hilang dalam satu minggu. Ada bayi yang mati tanpa sempat diberi nama. Ada ibu yang kehilangan empat anak sekaligus dan hanya bisa mengubur dua, karena dua lainnya hilang entah ke mana. Rumah sakit penuh. Mayat membusuk. Air tak ada. Listrik mati. Sinyal putus. Tapi dunia tetap sibuk menyaksikan Erdogan berpidato. Bahkan PBB—yang biasanya sangat rajin menyampaikan kekhawatiran—kali ini nyaris sunyi. Mungkin karena terlalu bingung: siapa sekarang yang boleh disebut “pemerintah sah Suriah”?

Kita, dari negeri yang konon penuh dengan semangat kemanusiaan dan doa bersama untuk perdamaian dunia, juga tak lebih dari penonton pasif. Media kita lebih sibuk memberitakan seleb tiktok yang ganti pacar daripada menjelaskan mengapa anak-anak di Sweida tidur di reruntuhan dengan tubuh tertutup debu dan luka bakar.

Dan Erdogan tahu itu. Ia tahu bahwa perhatian dunia adalah komoditas langka. Maka ia memainkan waktu, memainkan narasi, dan memainkan emosi umat. Ia bicara soal “umat Islam,” tapi menjual kesepakatan gas dengan Rusia. Ia bicara soal “musuh zionis,” tapi tetap menjalin kerja sama ekonomi dengan Tel Aviv. Semua demi satu hal: posisi tawar.

Jadi, Erdogan bukan pemimpin dunia Islam. Ia bukan juga penjaga moralitas global. Ia adalah politisi ulung yang tahu cara memerah tragedi menjadi pengaruh. Ia adalah penjual lidah yang bisa menyebut nama Allah di depan rakyatnya sambil berjabat tangan dengan tangan penuh darah di ruang tertutup. Dan sayangnya, banyak yang tetap menyebutnya “pemimpin pemberani.”

Mungkin inilah kekejaman zaman ini: bahwa kebohongan bisa tampak gagah, dan pelaku perang bisa dipuja seperti penyelamat. Bahwa Erdogan, yang tangannya tak sepenuhnya bersih dari luka Suriah, bisa tampil sebagai juru damai. Bahwa yang membangun rumah sakit di satu kota, juga adalah yang menjual bom ke kota lain. Dan bahwa yang mengutuk Israel di mikrofon, diam-diam makan siang bersama perwakilannya di ruang perundingan.

Pada akhirnya, siapa yang benar-benar menang? Bukan rakyat Suriah, tentu. Mereka kehilangan negara, kehilangan rumah, kehilangan harapan. Bukan pula para pengungsi, yang kini jadi beban politik di negara-negara tempat mereka mengungsi. Bukan juga para faksi bersenjata yang terus bertikai sambil menonton pemimpin mereka kaya mendadak.

Pemenangnya adalah yang paling tak berdarah tangan, tapi paling diuntungkan dari darah yang tumpah: Israel. Ia tak perlu mengirim banyak pasukan ke Suriah. Ia cukup duduk, menonton, dan sesekali membom konvoi senjata. Ia biarkan semua pihak saling baku hantam—dari jihadis sampai pemerintah. Dan ketika semua lelah, ia datang sebagai yang “paling stabil,” paling demokratis, paling pantas diberi dana dan simpati dunia.

Dan di belakang layar, Erdogan mungkin tersenyum kecil. Ia tahu, kekacauan adalah pasar yang paling menjanjikan. Ia tak perlu memenangkan perang. Ia hanya perlu memastikan bahwa ia ada di meja ketika perjanjian ditandatangani. Karena dalam dunia ini, yang penting bukan siapa yang menang—tetapi siapa yang menjual peta dan menentukan siapa yang pantas disebut ‘teman’.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer