Connect with us

Opini

€150 Miliar untuk Bertahan: Eropa dan Biaya Menjadi Mandiri

Published

on

Angka €13 miliar mungkin terdengar besar. Tapi tidak dalam konteks ancaman yang kini mengelilingi Eropa. Itulah dana yang disediakan Uni Eropa dalam anggaran jangka panjangnya 2021–2027 untuk sektor keamanan dan pertahanan. Namun bagi para pelaku industri di sektor ini, jumlah itu tak lebih dari setetes air di tengah samudra. Mereka menyebutnya tidak sebanding dengan kenyataan yang mengancam: agresi Rusia, ketidakpastian trans-Atlantik, dan meningkatnya tekanan global di bidang teknologi dan militer.

Kekhawatiran mereka bukannya tanpa dasar. Selama beberapa dekade terakhir, Eropa menikmati apa yang mereka sebut sebagai peace dividend—dividen perdamaian pasca-Perang Dingin—yang membuat banyak negara memangkas anggaran militernya. Logika masa itu sederhana: jika ancaman perang besar telah berlalu, maka dana publik bisa dialihkan ke sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Tapi kenyataan hari ini jauh dari masa lalu yang damai itu.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ketika Rusia menginvasi Ukraina, ilusi keamanan kolektif di Eropa seketika retak. Negara-negara yang semula nyaman dalam perlindungan payung militer Amerika Serikat kini mulai menyadari betapa rapuhnya posisi mereka jika harus berdiri sendiri. Uni Eropa memang telah mengusulkan rencana besar senilai €800 miliar untuk memperkuat pertahanan, namun laju realisasinya lambat dan tidak setara dengan urgensi yang dihadapi. Dalam laporan terbaru, Asosiasi Industri Dirgantara, Keamanan, dan Pertahanan Eropa (ASD) bahkan menyebut investasi yang ada saat ini “tidak memadai untuk menghadapi kontinjensi militer paling ekstrem.”

ASD menegaskan bahwa setidaknya dibutuhkan €150 miliar untuk pertahanan dan keamanan dalam siklus anggaran berikutnya mulai 2028. Angka itu mencerminkan bukan hanya ambisi, tetapi juga kenyataan bahwa Eropa telah mengabaikan pembangunan kekuatan militernya selama puluhan tahun. Sebuah “defisit pertahanan” sebesar €600 miliar pun terbentuk—bukan hanya secara finansial, tetapi juga dalam kapasitas produksi senjata, logistik militer, dan penguasaan teknologi strategis seperti satelit, AI, dan sistem komando terpadu.

Perubahan besar kini sedang dirancang. Komisi Eropa akan mengusulkan pembentukan European Competitiveness Fund (ECF)—sebuah instrumen baru yang akan menggabungkan hingga 14 pos anggaran berbeda, dari dana pertahanan hingga program kesehatan dan lingkungan. Ini bukan sekadar manuver birokratis. Ini adalah pergeseran paradigma besar: dari Eropa yang dulunya menjunjung nilai damai, kini bergerak menuju kemandirian strategis berbasis industri pertahanan.

Namun, langkah ini bukan tanpa kontroversi. Menggabungkan Common Agricultural Policy (CAP) dan kebijakan kohesi—dua pos terbesar dalam anggaran Uni Eropa—ke dalam satu kerangka bersama ECF bisa menimbulkan gesekan politik yang serius. Negara-negara yang bergantung pada dana pertanian atau pembangunan wilayah akan merasa dirugikan. Apakah solidaritas Eropa akan mampu menampung prioritas baru ini? Atau akan muncul jurang antara negara “inti” yang kuat secara industri dengan negara “pinggiran” yang lemah?

Pertanyaan itu penting, bukan hanya untuk Eropa. Indonesia, sebagai negara yang juga berada di tengah arus kompetisi geopolitik global, bisa memetik pelajaran berharga dari transformasi ini. Kita sering membanggakan anggaran pertahanan yang meningkat, modernisasi alutsista, atau kerja sama militer dengan kekuatan besar. Tapi apakah kita juga telah membangun basis industri pertahanan yang tangguh dan mandiri seperti yang kini coba dilakukan Eropa? Ataukah kita masih menjadi konsumen dari konflik global, tanpa kemandirian strategis yang memadai?

ASD juga memperingatkan bahwa tanpa investasi besar dalam pengembangan sistem ruang angkasa, Eropa akan tertinggal. Saat ini, anggaran untuk sistem luar angkasa hanya sekitar €17 miliar. Tapi untuk menjaga otonomi strategis, angka itu harus jauh ditingkatkan. Komisioner Eropa untuk Pertahanan dan Luar Angkasa, Andrius Kubilius, bahkan mengatakan bahwa tanpa proyek besar dalam 10 tahun ke depan, Eropa bisa menghadapi “situasi yang sangat tidak menarik” pada 2035. Kata-katanya mungkin terdengar halus, tapi maknanya tajam: ketergantungan pada AS atau Cina di bidang luar angkasa bisa menjadi kerentanan strategis.

Kondisi ini mencerminkan perubahan besar dalam cara negara-negara memandang teknologi dan pertahanan. Dulu, dominasi luar angkasa atau produksi munisi massal dianggap semata-mata soal militer. Kini, keduanya juga menyangkut kedaulatan data, pengawasan, konektivitas, dan ketahanan ekonomi. Kedaulatan digital, kecerdasan buatan, dan teknologi biosekuriti juga masuk ke dalam kerangka ECF. Tidak mengherankan bila klausul “preferensi Eropa” disisipkan untuk mendukung industri lokal agar tidak kalah dalam persaingan global.

Ini semua bukan semata soal persenjataan. Ini tentang orientasi masa depan. Tentang bagaimana sebuah kawasan berusaha menemukan keseimbangan antara nilai-nilai demokrasi dan kebutuhan untuk bertahan dalam dunia yang keras. Jika Eropa yang selama ini identik dengan multilateralisme dan diplomasi kini merasa harus mempersenjatai diri, dunia jelas sedang berubah.

Tapi perubahan seperti ini juga membawa risiko. Ketika pertahanan menjadi agenda utama, akankah sektor sipil dikesampingkan? Jika anggaran pertahanan membengkak, adakah jaminan bahwa pendidikan, lingkungan, atau keadilan sosial tidak akan dikorbankan? Ini adalah dilema yang juga relevan bagi Indonesia, yang setiap tahun menghadapi pertarungan anggaran antara kebutuhan militer dan pembangunan sosial.

Eropa kini berada di persimpangan. Mereka sedang merancang ulang siapa mereka, dan bagaimana seharusnya mereka bertahan. Bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara militer dan strategis. Mereka sedang berusaha keluar dari bayang-bayang perlindungan AS, yang kini lebih fokus pada Indo-Pasifik. Tapi seperti halnya setiap transisi besar, hasil akhirnya tak pernah pasti. Bisa menjadi loncatan besar menuju kemandirian, atau justru menimbulkan perpecahan internal yang melemahkan.

Kita yang berada jauh di Asia Tenggara mungkin merasa ini bukan urusan kita. Tapi realitas global hari ini tidak mengenal jarak. Jika Eropa gagal mengelola transisi ini dengan baik, efeknya bisa terasa hingga ke kawasan seperti ASEAN. Krisis pasokan, disrupsi teknologi, dan persaingan geopolitik bisa merambat lewat jalur diplomasi, perdagangan, hingga pertahanan. Kita perlu bertanya: apakah kita siap?

Membangun pertahanan bukan sekadar membeli senjata. Ia adalah soal merancang masa depan. Uni Eropa kini sedang mengajarkan kepada dunia bahwa kemandirian bukan hanya wacana, melainkan investasi yang mahal dan penuh pertaruhan. Tapi bisa jadi itulah harga yang harus dibayar untuk menjaga dunia dari kegilaan baru yang sedang tumbuh di balik retorika kekuatan dan dominasi.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Eropa Baru, Eropa Siap Perang - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer