Opini
€100 Miliar untuk Ukraina: Bantuan atau Dosa Kolektif?

Pejabat Uni Eropa sedang mempertimbangkan sebuah proposal untuk memberikan Ukraina tambahan sebesar €100 miliar (setara dengan $117 miliar) dalam bentuk hibah dan pinjaman berbunga rendah, demikian dilaporkan Bloomberg pada hari Selasa, mengutip sumber yang mengetahui hal tersebut.
Bayangkan sejenak angka itu: seratus miliar euro. Uang sebanyak itu, kalau mau, bisa mendanai sekolah gratis di sepuluh negara miskin selama satu dekade, menyelamatkan ratusan ribu jiwa dari kelaparan, atau—kalau sedang nafsu spiritual—memperluas gereja dan masjid di seluruh Eropa. Tapi tidak. Ia justru disiapkan untuk menopang sebuah negara yang ekonominya nyaris bubar, angkatan bersenjatanya terjerat skandal, dan masa depannya lebih mirip teka-teki kabur daripada visi geopolitik. Eropa, dengan segala kebanggaannya atas rasionalitas dan nilai kemanusiaan, memilih untuk mengucurkan dana itu ke Ukraina—sebuah proyek panjang yang makin hari makin terlihat seperti perjudian kolektif, atau jangan-jangan, dosa kolektif.
Jika proposal ini disetujui, dana akan mulai dicairkan pada 2028. Ya, bahkan jadwal penyalurannya saja menunjukkan keputusasaan. Kita belum tahu apa yang akan terjadi pada Ukraina empat tahun lagi, apakah negara itu masih utuh, atau sudah menjadi zona abu-abu dalam peta pascaperang yang disusun ulang. Tapi rencana sudah dibuat, anggaran disiapkan, dan tentu saja—narasi disebarkan: ini semua demi “kebebasan”, “demokrasi”, dan “integritas wilayah”. Frasa-frasa indah yang telah kehilangan makna karena terlalu sering dipakai untuk membungkus kesepakatan yang busuk.
Uang ini bukan muncul dari ruang hampa. Ini uang pajak rakyat Eropa. Dari pekerja pelabuhan di Marseille, perawat di Warsawa, buruh tani di Portugal, hingga pelayan restoran di Athena. Mereka yang kini harus berhemat karena harga gas naik, layanan publik dipangkas, dan subsidi sosial menipis. Tapi elite politik di Brussel punya prioritas lain. Mereka tak sedang membangun masa depan Eropa—mereka sedang menyelamatkan muka. Seratus miliar euro ini bukan cuma untuk Ukraina, tapi untuk mempertahankan citra Uni Eropa yang katanya “solid”, “berani”, dan “setia pada mitra”.
Yang lucu, bahkan sebelum bantuan itu disalurkan, kita sudah disuguhi parade korupsi yang tak malu-malu. Rumah eks Menteri Pertahanan Ukraina, Aleksey Reznikov, digeledah karena dugaan penyelewengan dana. Padahal pria ini dulu dielu-elukan sebagai reformis yang bersih, wajah segar Ukraina pro-Barat. Kini, namanya tenggelam bersama nota-nota belanja senjata dan kontrak palsu yang mengendap di meja auditor.
Dan semua ini terjadi sementara utang nasional Ukraina mendekati $171 miliar—angka yang menyamai seluruh Produk Domestik Bruto mereka. Singkatnya, setiap sen yang dihasilkan Ukraina tahun ini, bahkan jika tak dibelanjakan untuk rakyatnya sendiri, tak cukup untuk menutup lubang itu. Tapi siapa peduli? Dana terus mengalir, janji terus ditebar, dan perang terus dinyalakan agar tetap ada alasan untuk semua kegagalan itu.
Namun ini bukan sekadar kisah tentang Ukraina yang dirampok dari dalam dan dipompa dari luar. Ini juga tentang Eropa. Lebih tepatnya: tentang krisis jati diri Uni Eropa. Dulu mereka dikenal sebagai kekuatan lunak—soft power—yang menjual budaya, peradaban, dan diplomasi. Kini mereka lebih mirip pengepul utang dan distributor senjata, tapi masih gemar mengutip deklarasi HAM dalam setiap konferensi pers. Mereka mencaci Rusia sebagai tirani, menyindir Tiongkok sebagai negara pengawasan digital, tapi tak sadar telah menjadi cermin yang memantulkan wajah mereka sendiri—penuh kontradiksi, licin, dan kehilangan kompas moral.
Tak ada rencana damai yang serius. Tak ada diplomasi yang sungguh-sungguh. Yang ada hanyalah strategi mempertahankan status quo: membakar uang agar perang tetap menyala, sebab api yang padam akan menyisakan asap pertanyaan yang menyengat: untuk apa semua ini?
Dalam diam, publik Eropa makin letih. Demonstrasi buruh makin sering. Kepercayaan pada lembaga Uni Eropa makin rapuh. Tapi selama rakyat tetap membayar pajak dan media arus utama menyibukkan mereka dengan wacana identitas atau gosip pemilu, proyek dosa kolektif ini bisa terus berlangsung tanpa banyak interupsi. Mereka yang diam, atau pura-pura sibuk dengan urusan domestik, juga bagian dari drama ini. Sebab, dalam dosa kolektif, penonton pasif pun ikut menandatangani kontraknya.
Kadang, dari sudut dunia seperti Indonesia, kita menyimak ini semua sambil mengernyit. Negara-negara kaya itu punya triliunan rupiah untuk menyelamatkan Ukraina, tapi enggan membantu Palestina secara konkret. Mereka bisa mengatur ulang tatanan finansial global untuk mendanai perang, tapi mendadak lupa cara mendistribusikan vaksin atau menghapus utang negara miskin. Mungkin karena kita terlalu cinta damai. Atau mungkin karena kita tak cukup berguna sebagai pion geopolitik Barat.
Tapi bantuan seperti ini tidak pernah datang tanpa harga. Eropa mungkin bisa membungkam kritik hari ini, bisa menepuk dada di hadapan kamera, bisa menyusun konferensi pers penuh jargon. Tapi sejarah mencatat dengan presisi yang lebih jujur. Dan jika pola ini terus berlanjut, maka Eropa akan menghadapi konsekuensi yang tidak bisa ditebus dengan uang.
Akibat jangka panjang pertama adalah keretakan internal. Negara-negara anggota akan semakin terbelah antara mereka yang bersedia membakar uang demi proyek NATO, dan mereka yang ingin fokus pada masalah dalam negeri. Negara-negara selatan yang lebih miskin akan bertanya-tanya mengapa mereka harus menalangi perang yang tak mereka mulai. Sentimen anti-Uni Eropa akan tumbuh, bukan dari ekstremis, tapi dari orang biasa yang merasa dikhianati.
Kedua, kepercayaan publik pada institusi Eropa akan terus menurun. Birokrasi Brussel akan dilihat bukan sebagai pelayan rakyat, tapi sebagai operator proyek-proyek besar yang tak berpijak pada kenyataan. Ketika dana bantuan sosial dipotong tetapi €100 miliar disiapkan untuk Ukraina, orang akan tahu siapa yang didahulukan dan siapa yang ditinggalkan.
Ketiga, beban fiskal jangka panjang akan memukul ekonomi Eropa. Utang publik akan naik, dan pasar akan mulai mempertanyakan stabilitas Eropa. Bukan tak mungkin, dalam dua dekade ke depan, Eropa mengalami dekadensi fiskal yang mirip dengan krisis utang Amerika Latin di era 1980-an—hanya saja dalam balutan setelan jas Armani.
Keempat, dan mungkin paling mengkhawatirkan, adalah hilangnya posisi moral Eropa di mata dunia. Ketika bantuan kemanusiaan diselewengkan jadi alat geopolitik, dan ketika penderitaan hanya dihitung bila menguntungkan strategi, maka kredibilitas Eropa akan luntur di hadapan dunia Selatan. Kita akan melihat negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin berpaling ke arah lain—ke China, ke Rusia, atau cukup pada diri sendiri.
Seratus miliar euro ini bukan hanya angka. Ia adalah simbol. Ia menunjukkan bahwa Eropa lebih takut terlihat gagal oleh Washington daripada terlihat munafik oleh sejarah. Bahwa alih-alih membangun ulang peradaban yang menjunjung kedamaian dan hak hidup, mereka lebih suka mempertahankan ilusi kekuasaan dengan mengorbankan nalar, anggaran, dan kadang—manusia.
Mungkin, kelak ketika reruntuhan Ukraina menjadi museum ketidakpedulian, Eropa akan menatap ke belakang, menyadari bahwa yang mereka kirim bukan hanya bantuan—tapi bagian dari dosa yang ditanggung bersama. Sebab dalam dunia hari ini, perang bukan lagi kekeliruan, tapi komoditas; dan bantuan bukan lagi kebaikan, tapi sarana penebusan rasa bersalah yang tak ingin mereka akui.
Dan mungkin, yang paling menyedihkan bukanlah kenyataan bahwa dunia ini tak lagi waras, tapi bahwa kita semua telah belajar untuk membiasakan diri dengannya.
Pingback: Eropa Babak Belur, AS Raup Untung Perang Ukraina - vichara.id