Connect with us

Opini

E1: Paku Terakhir di Peti Mati Palestina

Published

on

Di sebuah peta, E1 hanyalah sepetak kecil tanah di antara Ma’ale Adumim dan al-Quds Timur. Dua belas kilometer persegi—terlihat sepele bagi mata awam. Tapi di dunia nyata, ia adalah kunci yang bisa mengubah nasib jutaan orang dan mematikan sebuah mimpi yang sudah terengah-engah: berdirinya negara Palestina yang utuh. Ironinya, masa depan sebuah bangsa kini tergantung pada sebidang tanah yang bisa ditempuh dengan bersepeda dalam setengah jam.

Kita bicara tentang E1 bukan sekadar sebagai lokasi. Ia adalah garis merah. Garis yang, jika dilangkahi, akan membelah Tepi Barat menjadi dua wilayah terisolasi. Ramallah akan terpisah dari Betlehem dan Yerikho. Jalur alami yang seharusnya menghubungkan utara dan selatan Palestina akan diputus permanen oleh beton, aspal, dan pagar kawat berduri. Ini bukan sekadar pembangunan rumah—ini pembedahan paksa pada tubuh Palestina, tanpa bius, dan tanpa izin.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Apa itu E1? Ia adalah proyek permukiman Israel yang menghubungkan Ma’ale Adumim—permukiman ilegal terbesar di Tepi Barat—dengan al-Quds Timur yang juga diduduki. Rencananya, 3.401 unit hunian baru akan berdiri di sana. Israel menyebutnya pengembangan. Dunia internasional menyebutnya pelanggaran hukum. Saya menyebutnya manuver yang terang-terangan ingin menghapus garis tengah di peta politik, sekaligus memaku rapat peti mati solusi dua negara atau pun satu negara.

Mengapa E1 menjadi garis merah? Karena ia adalah titik strategis yang menentukan apakah Palestina masih mungkin berdiri sebagai negara berdaulat. Tanpa E1, masih ada sedikit ruang untuk merangkai wilayah yang bersambung. Dengan E1, yang tersisa hanyalah kantong-kantong penduduk yang terjebak, mirip seperti yang kita lihat di peta Afrika Selatan era apartheid. Bahkan Mahkamah Internasional pada 2024 sudah jelas menyatakan semua permukiman di wilayah pendudukan melanggar Konvensi Jenewa Keempat. Jadi, membangun di E1 bukan cuma tak etis—ia ilegal secara mutlak.

Lucunya, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich tidak mencoba menyamarkannya. Dia bilang ini akan menjadi “paku terakhir di peti mati” negara Palestina. Jarang-jarang ada politisi yang begitu jujur ketika sedang melanggar hukum internasional. Ia bahkan mengklaim langkah ini dilakukan dengan koordinasi penuh bersama Netanyahu dan “teman-teman di Amerika Serikat.” Kalau itu benar, maka kita sedang menyaksikan bagaimana hukum internasional bisa dipinggirkan hanya dengan segelintir kata “kami sepakat.”

Yang membuat situasi ini semakin absurd adalah respon masyarakat internasional. Kecaman datang dari Uni Eropa, dari Yordania, dari berbagai pihak yang sudah terbiasa mengutuk. Tapi hanya itu—kata-kata yang indah di podium diplomasi. Tidak ada sanksi nyata, tidak ada tekanan ekonomi, tidak ada langkah hukum yang dijalankan dengan tegas. Dunia seolah lebih sibuk memelihara ilusi “proses perdamaian” ketimbang menghadapi fakta bahwa proses itu sedang dibongkar bata demi bata oleh buldoser permukiman.

Saya rasa, kalau ini terjadi di halaman belakang rumah kita, kita tidak akan diam. Bayangkan pemerintah tetangga memutuskan untuk membangun tembok besar tepat di tengah jalan yang menghubungkan kampung kita dengan pasar, sekolah, dan rumah sakit. Mereka bilang, “Ini demi keamanan kami.” Kita marah, protes, dan menuntut bantuan. Tapi bayangkan jika orang-orang yang kita minta tolong hanya berkata, “Kami menentang ini,” sambil duduk nyaman di kursi rapat ber-AC, tanpa menggerakkan satu jari pun untuk menghentikannya. Itulah yang dirasakan rakyat Palestina hari ini.

E1 penting karena ia bukan sekadar tentang lahan—ia adalah simbol. Simbol bahwa jika Anda cukup kuat, Anda bisa mengabaikan hukum dan mengubah peta seenaknya. Jika proyek ini berjalan, maka pesan yang disampaikan ke seluruh dunia adalah: “Hukum internasional berlaku hanya untuk yang lemah.” Dan itu berbahaya, bukan hanya untuk Palestina, tapi untuk semua negara kecil yang mengandalkan hukum internasional sebagai pelindung terakhir dari kesewenang-wenangan.

Bahkan dari sisi keamanan regional, E1 adalah bahan bakar. Dengan memotong konektivitas Palestina, Israel bukan menciptakan stabilitas, melainkan memprovokasi kemarahan dan frustrasi yang akan mendidih menjadi perlawanan. Hamas, PFLP, DFLP—semuanya sudah menyatakan bahwa ini adalah deklarasi perang, seruan untuk intifada baru. Dan kalau itu terjadi, lingkaran kekerasan yang sudah lama berjalan akan kembali berputar, hanya lebih cepat dan lebih panas.

Kita harus jujur: selama ini, proyek-proyek seperti E1 bisa berjalan karena dunia membiarkannya. Kecaman tanpa konsekuensi hanyalah musik latar yang membuat pelanggaran lebih mudah dilakukan. Smotrich dan Netanyahu paham itu. Mereka tahu, protes internasional akan reda, perhatian media akan bergeser, dan bangunan-bangunan baru di E1 akan berdiri kokoh, tidak peduli siapa yang marah.

Ada ironi yang getir di sini. Barat, yang selalu menyebut dirinya pembela hukum dan demokrasi, justru memberi ruang atau bahkan dukungan bagi pelanggaran hukum internasional paling jelas di abad ini. Mereka yang dulu menekan Israel agar tidak melangkah ke E1, kini diam atau bahkan ikut bertepuk tangan. Dalam bahasa sederhana, ini adalah pembiaran aktif—passive-aggressive diplomacy, kalau mau terdengar lebih halus.

Dunia internasional seharusnya tahu, E1 bukanlah sekadar proyek real estat. Ini adalah infrastruktur apartheid yang sedang dibangun di depan mata kita. Dan kalau masyarakat internasional benar-benar menganggap kemerdekaan Palestina masih hidup, mereka tidak punya kemewahan untuk hanya “menyatakan keprihatinan.” Diperlukan langkah nyata: sanksi ekonomi, boikot diplomatik, penarikan investasi dari perusahaan yang terlibat dalam proyek E1.

Sebagian orang mungkin akan bilang, “Tapi itu tidak realistis.” Pertanyaan saya sederhana: kalau mempertahankan keutuhan wilayah Palestina saja dianggap tidak realistis, lalu kenapa kita masih pura-pura membicarakan perdamaian? Lebih jujur rasanya untuk mengakui bahwa kita sedang membiarkan satu pihak mendikte segalanya, sementara pihak lain dipaksa menerima sisa-sisa yang tertinggal.

Smotrich menyebut E1 sebagai “paku terakhir di peti mati” negara Palestina. Kata-kata itu seharusnya menjadi sirene yang memekakkan telinga diplomasi dunia. Kalau kita hanya berdiri di pinggir jalan, menonton proses pemakaman ini tanpa mencoba merebut palu dari tangan sang penggali kubur, maka kelak kita tidak bisa berkata, “Kami tidak tahu.” Kita tahu. Kita hanya memilih untuk tidak berbuat.

Selama E1 masih disebut “proyek,” ada peluang, meski kecil, untuk menghentikannya. Tapi peluang itu akan hilang begitu mesin-mesin konstruksi mulai bekerja. Dan ketika itu terjadi, jangan kaget kalau suatu hari nanti kita melihat peta Palestina di buku-buku sekolah hanya sebagai catatan kaki—sebuah negeri yang nyaris ada, tapi diputus sebelum sempat berdiri.

Kalau ini bukan alasan untuk bertindak, lalu apa lagi?

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer