Opini
Dunia Tanpa Kelompok Perlawanan: Stabilitas atau Hegemoni?

Kabinet Lebanon kembali duduk bersama, membicarakan soal pelucutan senjata Hizbullah. Itu bukan berita baru, tetapi kali ini atmosfernya berbeda: ada bayang-bayang Washington yang memanjang ke meja rapat, membisikkan “stabilitas” dan “keamanan” sambil menyodorkan proposal yang intinya sederhana—biar negara saja yang pegang senjata. Sederhana di atas kertas, tapi absurd jika mengingat roket Israel yang kemarin baru saja jatuh di selatan Lebanon, merenggut nyawa enam orang. Ironi yang hampir terlalu telanjang untuk disebut kebetulan.
Perdana Menteri Nawaf Salam mengumumkan bahwa menteri-menteri telah menyetujui “tujuan” dari proposal AS itu. Kata “tujuan” di sini terdengar manis, seperti janji diet sehat yang diucapkan di awal tahun—indah tapi jarang konsisten. Menteri informasi buru-buru menambahkan bahwa belum ada pembahasan soal tenggat waktu. Mungkin itu cara halus untuk bilang: kami tahu ini bakal meledak—secara harfiah maupun politis—kalau dipaksa buru-buru. Tapi tetap saja, persetujuan terhadap “tujuan” itu sudah cukup bagi Washington untuk mengeluarkan pernyataan sambutan, seakan-akan langkah besar menuju dunia damai baru saja dimulai di Beirut.
Hizbullah, tentu saja, tak menunggu lama untuk menanggapi. Mahmoud Komati, wakil kepala Dewan Politik mereka, menyebut keputusan pemerintah ini sebagai “march in humiliation”—pawai penghinaan—dan menyerah kepada Israel serta AS. Ia mengingatkan bahwa tak ada negara waras yang memerangi kelompok resistensinya sendiri ketika tanahnya masih diduduki dan agresi musuh masih berlangsung setiap hari. Di sini, absurditas itu kembali menonjol: Israel, yang secara resmi terikat gencatan senjata sejak November lalu, masih rutin mengebom wilayah Lebanon, lalu entah bagaimana, masalah utama yang harus diselesaikan justru senjata milik pihak yang dibombardir.
Fenomena ini bukan milik Lebanon saja. Liga Arab, organisasi yang sering mengklaim dirinya punya “pengaruh besar di Timur Tengah”, baru-baru ini menyerukan agar Hamas meletakkan senjata dan menyerahkan kekuasaan di Gaza kepada Otoritas Palestina. Di atas kertas, ini terdengar seperti upaya rekonsiliasi. Di lapangan, ini sama saja seperti menyuruh warga yang rumahnya dibakar untuk menyerahkan ember airnya—demi menghindari keributan, katanya. Sementara itu, di Irak, parlemen sedang menggodok undang-undang untuk menguatkan institusionalisasi Popular Mobilization Units (PMU), sebuah gabungan faksi bersenjata yang pernah memukul mundur ISIS. AS menentang keras, menganggapnya perpanjangan tangan Iran. Legislator Irak yang pro-PMU membalas dengan dingin: urusan ini urusan kami, bukan Washington.
Di titik ini, pola mulai terbentuk. Ada rangkaian upaya yang konsisten untuk mengikis atau melucuti kekuatan bersenjata non-negara yang satu cirinya sama: mereka punya sejarah melawan agresi Israel atau intervensi asing. Di Lebanon, targetnya Hzibullah. Di Gaza, Hamas. Di Irak, PMU. Nama boleh berbeda, konteks bisa unik, tetapi ujungnya seragam: senjata mereka harus hilang. Washington menyebut ini stabilisasi. Sebagian media menyebutnya “membangun kapasitas negara”. Saya menyebutnya narasi yang malas, bahkan nyaris komikal, karena menghapus aktor utama yang memicu semua ini—Israel.
Kesalahan logika ini terlalu vulgar untuk tidak dibicarakan. Agresi Israel terhadap Gaza, Lebanon, dan Suriah terjadi jauh sebelum sebagian besar kelompok perlawanan ini lahir. Hizbullah tidak muncul karena hobi mengoleksi roket. Hamas tidak terbentuk karena ingin mengacaukan pesta damai regional. PMU tidak bangkit untuk mengganggu “stabilitas” yang sudah rapuh—mereka lahir dari kekosongan perlindungan negara ketika ancaman datang, baik dari ISIS maupun dari intervensi militer asing. Menganggap pelucutan senjata akan membawa damai sama saja dengan mengira demam akan sembuh jika termometernya dibuang.
Lihatlah Suriah, jika ingin gambaran masa depan dunia tanpa kelompok perlawanan. Setelah jatuhnya Bashar al-Assad pada Desember tahun lalu, Israel dengan bebas melancarkan invasi militer ke Suriah. Tak ada kecaman berarti dari Liga Arab. PBB, seperti biasa, memilih jalur “keprihatinan mendalam” yang tidak menuntut apa-apa. Barat? Sibuk mempromosikan “transisi politik damai” sambil menutup mata terhadap pasukan Israel yang mondar-mandir di tanah orang. Suriah adalah cermin retak yang seharusnya membuat siapa pun di Beirut, Gaza, atau Baghdad berpikir ulang sebelum membuang senjata terakhirnya.
Tekanan pelucutan senjata ini bukanlah kebijakan spontan. Ini strategi tahap dua setelah tahap satu—perang terbuka—gagal memberi hasil. Israel gagal menaklukkan Hizbullah. Serangan ke Gaza berulang kali hanya membuat Hamas tetap berdiri. Serangan udara ke basis PMU di Irak tidak menghancurkan organisasi itu. Maka, sekarang gilirannya permainan diplomasi, tekanan ekonomi, dan kooptasi elite lokal. Serangan militer frontal diganti dengan serangan narasi: bahwa kelompok perlawanan adalah penghambat perdamaian, bukan penjaga terakhir dari agresi luar.
Bagi saya, yang lebih menggelisahkan adalah betapa banyak pihak di dunia Arab yang ikut mengulang narasi ini, seolah lupa sejarahnya sendiri. Liga Arab yang sekarang lantang menyuruh Hamas menyerah adalah liga yang sama yang gagal mencegah invasi Israel ke Lebanon pada 1982. Negara-negara yang sekarang khawatir soal “senjata di luar kendali negara” sering kali adalah negara yang, ketika rakyatnya diserang, malah mengundang pasukan asing untuk “membantu” menjaga keamanan. Dan kita tahu, bantuan seperti itu selalu datang dengan harga mahal yang dibayar dalam kedaulatan.
Di Indonesia, kita sering mendengar pepatah “jangan sampai ayam mati di lumbung padi”. Tapi di Timur Tengah, pepatahnya bisa diubah: “jangan sampai benteng runtuh saat musuh masih di luar gerbang”. Logikanya sederhana, tapi entah kenapa sulit dipahami di ruang rapat kabinet Beirut atau di gedung pertemuan Liga Arab di Kairo. Kalau kelompok perlawanan meletakkan senjata, siapa yang akan mencegah Israel jika ia memutuskan untuk “menyelesaikan” masalah Lebanon seperti ia melakukan di Suriah? Tentara reguler Lebanon? Sejarah menunjukkan kapasitas mereka terbatas—bukan karena kurang keberanian, tapi karena sumber daya dan dukungan politik yang minim.
Dunia tanpa kelompok perlawanan di Timur Tengah bukanlah dunia damai; itu adalah dunia di mana Israel menjadi satu-satunya kekuatan militer dominan, dengan mandat diam-diam dari Washington dan pembiaran dari sebagian besar dunia Arab. Mereka akan bisa melancarkan serangan ke Gaza tanpa takut roket balasan. Mereka akan bebas menyerang Lebanon tanpa khawatir ada yang membalas di perbatasan. Mereka bisa melanjutkan operasi di Suriah seolah itu halaman belakang mereka sendiri. Dan semua ini akan dibungkus dengan bahasa yang manis: stabilisasi, rekonstruksi, integrasi regional.
Mungkin inilah yang membuat saya tersenyum getir. Narasi ini dijual seakan-akan kelompok perlawanan adalah biang keladi semua kekacauan, dan jika mereka lenyap, kita akan hidup di kawasan yang damai. Padahal, sejarah 70 tahun terakhir menunjukkan kebalikannya: agresi tidak berhenti ketika perlawanan lenyap; ia justru membesar, karena tak ada lagi yang menghalangi.
Kalau ada yang bilang dunia tanpa kelompok perlawanan akan tenang, saya akan bertanya balik: tenang untuk siapa? Untuk rakyat Gaza yang rumahnya diratakan? Untuk keluarga di Lebanon yang hidup di bawah bayang-bayang serangan udara? Atau untuk para pejabat di Washington dan Tel Aviv yang bisa tidur lebih nyenyak karena satu-satunya senjata di kawasan kini berada di tangan mereka? Pertanyaan ini sederhana, jawabannya juga sederhana—tapi kadang, kebenaran yang sederhana adalah yang paling sulit diterima oleh mereka yang sudah nyaman dengan ilusi.
Sumber:
- https://www.aljazeera.com/news/2025/8/7/lebanese-cabinet-holds-more-talks-on-disarming-hezbollah-under-us-pressure
- https://www.skynews.com.au/world-news/global-affairs/arab-league-calls-for-hamas-to-disarm/video/190acdc447d64e226a810acdcb3b2645
- https://thecradle.co/articles/iraqi-mps-reject-us-meddling-in-law-to-institutionalize-anti-isis-resistance-factions