Connect with us

Opini

Dua Wajah Amerika dalam Penegakan HAM Palestina

Published

on

Kekerasan oleh pasukan dan pemukim ilegal zionis di Tepi Barat mencapai rata-rata harian tertinggi sejak PBB mulai mencatat pada 2005. Begitu bunyi laporan HAM Departemen Luar Negeri AS 2024. Data yang seharusnya menampar kesadaran global ini terdengar seperti sirene darurat yang memekakkan telinga. Tetapi anehnya, di tangan sang “penegak demokrasi dunia”, sirene itu justru disetel lebih pelan, bahkan beberapa bunyi sengaja dihilangkan.

Dalam laporannya, AS mengakui kekerasan itu nyata, sistematis, dan semakin memburuk. Mereka menyebut Mahkamah Agung Israel sampai harus mengingatkan pemerintahnya agar melindungi warga Palestina. Jika pengadilan tertinggi sebuah negara harus turun tangan untuk perkara yang mestinya menjadi kewajiban rutin negara, bukankah itu sudah cukup menjadi alarm besar? Namun rupanya, alarm besar itu dibiarkan berbunyi di lorong yang hanya sedikit orang bisa dengar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kasus penembakan Aysenur Ezgi Eygi—aktivis HAM Turki-Amerika—hanya menambah bab gelap. Seorang perempuan berdiri di tengah demonstrasi damai, melawan pendudukan ilegal, lalu peluru menembus kepalanya. IDF mengatakan, “kemungkinan besar dia terkena tembakan tidak langsung dan tidak disengaja.” Ah, kalimat pembelaan yang terdengar seperti kaset kusam, selalu diputar setiap kali peluru menghentikan napas orang yang tak bersenjata. Tidak disengaja? Betapa sering kata itu menjadi perisai empuk bagi kekerasan yang disengaja sistem.

Laporan itu juga mengungkap pembatasan kebebasan pers dan ekspresi. Jurnalis dipukul, ditahan, dicegah meliput. Lima penahanan, 13 serangan fisik, dan banyak lagi ancaman terselubung. Namun yang lebih menarik—atau memuakkan—adalah fakta bahwa versi final laporan untuk Israel jauh lebih pendek dari tahun-tahun sebelumnya. Dari seratus halaman lebih, kini hanya 25 halaman. Beberapa isu sensitif—kasus korupsi Netanyahu, upaya merombak peradilan, dan pembatasan pergerakan warga Palestina—hilang begitu saja, seolah tak pernah menjadi bagian dari kenyataan.

Di sini kita menemukan wajah kedua Amerika: wajah yang berhitung dingin, penuh kalkulasi geopolitik. Wajah ini lihai memilih kata, memotong paragraf, dan menghapus fakta demi menjaga hubungan dengan sekutu strategis. Bagi mereka, HAM adalah bendera yang dikibarkan tinggi di lapangan lawan, tetapi bisa diturunkan separuh tiang di halaman rumah teman. Ironi ini begitu telanjang sehingga sulit untuk tidak merasa muak.

Fenomena ini bukan kejutan bagi yang sudah lama mengikuti pola politik luar negeri AS. Dalam isu lain—dari Arab Saudi hingga Mesir—mereka tak segan menutup mata terhadap pelanggaran jika pelaku berada di kubu yang “berguna”. Palestina hanyalah etalase terbaru dari kebijakan dua wajah ini. Namun tetap saja, ketika ini terjadi di isu HAM, yang seharusnya menjadi moral high ground mereka, rasa getirnya lebih pekat.

Bayangkan jika logika ini dibawa ke kehidupan sehari-hari. Ada seorang tokoh masyarakat di kampung yang terkenal suka menegur anak muda karena membuang sampah sembarangan. Tapi ketika sahabat karibnya melempar sampah ke sungai, ia pura-pura sibuk menatap langit. Itulah kira-kira bagaimana AS memperlakukan isu Palestina. Mereka lantang menegur pelanggaran di Myanmar atau Rusia, tetapi memilih bisu ketika pelaku adalah “teman dekat” bernama Israel.

Dan ini bukan sekadar soal moralitas, tapi juga soal dampak nyata. Ketika laporan resmi negara sebesar AS menghapus bagian-bagian penting, itu memberi sinyal kepada pelaku bahwa mereka bisa terus melakukan pelanggaran tanpa khawatir akan konsekuensi serius. Lebih parah lagi, publik internasional yang hanya membaca versi “aman” laporan itu akan menganggap situasi tidak separah kenyataan di lapangan. Itulah bahaya dari penghalusan fakta—ia bukan hanya membohongi pembaca, tapi juga membiarkan korban tenggelam di bawah permukaan kesadaran global.

Bagi warga Palestina, ini hanyalah bab lain dalam sejarah panjang pengkhianatan dunia. Dari janji perlindungan internasional yang tak pernah tiba, hingga laporan-laporan resmi yang hanya menjadi arsip di laci. Dan di tengah itu semua, mereka harus tetap hidup—atau mencoba hidup—di bawah pendudukan, sambil melihat negara-negara besar memegang pena, lalu memutuskan untuk menghapus kalimat yang menceritakan penderitaan mereka.

Saya kadang berpikir, mungkin AS harus mengganti nama “Laporan HAM” mereka menjadi “Laporan HAM Versi Diplomatik”. Dengan begitu, kita tidak perlu terkejut saat menemukan bahwa yang ditulis hanyalah sebagian cerita. Bukankah lebih jujur mengakui bahwa prinsip hanya berlaku penuh jika tidak mengganggu kepentingan politik?

Namun tentu saja, sebagai publik, kita tidak boleh sekadar tertawa pahit lalu melupakan. Karena diam di hadapan manipulasi semacam ini berarti ikut mengukuhkan sistem dua wajah itu. Kita harus membaca laporan-laporan seperti ini bukan hanya dari baris yang tercetak, tetapi juga dari spasi kosongnya—apa yang hilang, siapa yang dihapus, dan mengapa. Di situlah cerita sebenarnya bersembunyi.

Amerika mungkin akan terus memainkan peran ganda ini, sebab mereka tahu banyak pihak di dunia akan tetap menganggap mereka sebagai kiblat HAM. Tapi bagi yang mau berpikir kritis, laporan ini sudah cukup untuk membongkar mitos itu. Tidak perlu jadi aktivis veteran untuk melihat bahwa komitmen mereka hanyalah setebal kertas laporan—dan bahkan kertas itu pun kini dipotong-potong.

Dan ya, di negeri ini kita juga tidak asing dengan politik dua wajah. Ada pejabat yang berapi-api bicara soal keadilan sosial, tapi punya daftar panjang kasus korupsi yang tidak pernah tersentuh. Ada tokoh publik yang lantang menyerukan kebebasan berpendapat, tapi buru-buru menutup ruang diskusi ketika topik yang dibahas menyinggung kepentingannya. Mungkin ini sebabnya kita bisa dengan mudah memahami apa yang sedang terjadi di Washington: politik dua wajah adalah bahasa universal kekuasaan.

Pada akhirnya, “dua wajah” bukan sekadar istilah sarkastik. Ia adalah refleksi dari sistem yang rela memutarbalikkan narasi demi menjaga kenyamanan hubungan politik. Palestina, dengan segala luka dan perjuangannya, hanyalah panggung di mana drama ini dipentaskan. Dan selama penonton dunia masih mau bertepuk tangan untuk penampilan sang aktor, naskah ini akan terus dimainkan, tahun demi tahun.

Mungkin yang paling menyedihkan adalah kesadaran bahwa kita sudah terbiasa dengan semua ini. Laporan HAM yang dipangkas? Biasa. Fakta yang dihapus? Sudah sering. Kekerasan yang dibungkus kata “tidak disengaja”? Terlalu sering. Tapi di balik kebiasaan itu, ada manusia yang kehilangan nyawa, keluarga, dan tanah airnya. Mereka yang namanya tidak tercantum di laporan—karena dipotong, dihapus, atau dianggap “tidak relevan”—tetap ada, tetap menderita, dan tetap menunggu keadilan yang entah kapan akan datang.

Dan di situlah, mungkin, satu-satunya hal yang tidak memiliki dua wajah: penderitaan yang nyata, dan kebisuan yang disengaja.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer