Connect with us

Opini

Diplomasi Nuklir atau Sandiwara Politik?

Published

on

Dalam langkah mengejutkan, pemerintahan Trump—yang selama ini dikenal dengan sikap keras terhadap Iran—melayangkan proposal nuklir baru kepada Tehran, membuka ruang bagi pengayaan uranium terbatas di tanah Persia. Proposal ini, seperti dilaporkan Axios pada 3 Juni 2025 dan disampaikan oleh utusan khusus AS Steven Witkoff, menimbulkan reaksi campur aduk: harapan akan diplomasi baru, namun juga kegelisahan yang nyata di seluruh dunia.

Namun di balik narasi diplomatik dan angka-angka teknis yang terdengar menjanjikan, tersimpan ketimpangan yang menahun. Proposal ini bukanlah bentuk kompromi yang adil, melainkan reproduksi dari ketidakadilan lama yang masih berlanjut. Iran diminta membatasi pengayaan uranium hanya pada level 3%, membongkar infrastruktur penting, menutup situs bawah tanah seperti Fordow, dan menghentikan seluruh riset sentrifugal. Sebagai imbalan? Janji keringanan sanksi yang kabur, bersyarat, dan sepenuhnya berada dalam interpretasi sepihak Washington dan IAEA.

Ini bukan perjanjian yang setara—melainkan paksaan politik yang dikemas dalam retorika damai. Dalam konteks ini, permintaan terhadap Iran terlihat lebih sebagai upaya pelemahan strategis ketimbang upaya membangun kepercayaan jangka panjang.

Iran, melalui Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, menyatakan dengan tegas bahwa mereka tidak akan menyerahkan hak berdaulat untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil sesuai Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). “Iran siap membuktikan sifat damai program nuklirnya,” katanya, “tapi tidak akan tunduk pada tekanan sepihak.” Penolakan ini bukan sekadar sikap keras kepala, melainkan respons rasional terhadap pengalaman diplomatik masa lalu yang penuh pelanggaran, terutama oleh Amerika Serikat sendiri.

Pengalaman pahit dari keluarnya AS secara sepihak dari JCPOA tahun 2018 menjadi luka yang belum sembuh. Kesepakatan multilateral yang saat itu dirancang untuk menjamin stabilitas regional telah dibatalkan begitu saja oleh Washington, tanpa memperhitungkan konsekuensi strategis dan ekonomi yang luas. Padahal Iran sudah mematuhi semua ketentuan, dan IAEA mengonfirmasi hal itu secara berkala. Sanksi dijatuhkan kembali, ekonomi Iran dilumpuhkan, dan kepercayaan hancur.

Maka, jika kini Iran bersikap “nothing to lose“, itu bukan karena keangkuhan, tetapi karena pengalaman yang membuktikan bahwa kepatuhan tidak menjamin perlindungan, apalagi penghargaan. Iran tahu bahwa bahkan ketika bersikap kooperatif, hasilnya tetap berupa penghukuman. Maka jika proposal baru ini tak menjamin komitmen jangka panjang yang terikat secara hukum, tak ada insentif rasional bagi Iran untuk menyerah lebih jauh.

Ketimpangan ini menegaskan adanya ketidakadilan mendalam dalam kerangka diplomasi nuklir global. Amerika Serikat memegang kendali penuh atas sanksi dan mekanisme pelaksanaannya, sementara Iran dipaksa menyerahkan kartu as-nya di awal permainan. Tidak ada mekanisme perlindungan terhadap pelanggaran dari pihak AS. Tidak ada jaminan multilateral yang mampu mengikat Washington agar tidak kembali membatalkan perjanjian secara sepihak. Semuanya berjalan satu arah.

Bahkan lebih jauh, ketika kesepakatan ini gagal atau menimbulkan ketegangan, dunia seolah menyalahkan Iran. Seakan-akan jika eskalasi pecah, maka hanya Iran yang bertanggung jawab. Padahal, tidak adil memandang dunia dari lensa yang mengabaikan agresi ekonomi dan diplomatik AS selama bertahun-tahun. Tanggung jawab untuk mencegah perang tidak berada di pundak Iran semata, tetapi justru harus dipikul oleh mereka yang selama ini memaksakan standar ganda dalam percaturan global.

Iran telah lama bertahan di bawah tekanan maksimal: embargo, sanksi finansial, isolasi perdagangan, dan propaganda internasional. Namun dalam tekanan itu, Iran membangun ketahanan—ekonomi, teknologi, dan solidaritas regional. Program nuklirnya bukan sekadar proyek ilmiah, melainkan simbol perlawanan terhadap tatanan global yang tidak adil. Dalam kerangka ini, Iran tidak melihat banyak hal lagi yang bisa dikorbankan. Maka, menolak proposal yang timpang bukanlah ancaman, tetapi bentuk logis dari upaya mempertahankan martabat nasional.

Perlu dicatat, bahwa jika eskalasi benar-benar terjadi, maka konsekuensinya tidak akan hanya menimpa Iran. Serangan ke fasilitas nuklir Iran, baik oleh AS maupun Israel, bisa memicu konflik regional luas, mengacaukan harga minyak global, dan berdampak langsung pada perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun lagi-lagi, narasi dominan di media internasional hanya menyalahkan Iran. Padahal dunia perlu lebih jujur: aktor utama ketidakstabilan ini justru mereka yang melanggar janji.

Proposal nuklir terbaru, dengan semua kekurangannya, tampak lebih sebagai alat untuk menjaga dominasi sepihak ketimbang memperkuat stabilitas global. Ia bukan perwujudan upaya damai, tetapi instrumen politik untuk menekan musuh strategis. Jika dunia terus membiarkan satu kekuatan memaksakan kehendaknya tanpa pertanggungjawaban, maka tidak akan pernah ada diplomasi yang adil. Dunia akan terus berada dalam siklus curiga dan ancaman.

Bagi Indonesia dan negara-negara Global South lainnya, ini adalah pelajaran penting tentang bagaimana tatanan internasional masih jauh dari prinsip keadilan dan kesetaraan. Kita hanya bisa menyaksikan bagaimana ketegangan geopolitik memengaruhi harga BBM, logistik, dan kebutuhan pokok di negeri kita. Tapi lebih dari itu, kita juga punya hak untuk bersuara: bahwa dunia tidak bisa terus-menerus mentolerir ketidakadilan dalam hubungan internasional.

Apakah kita akan terus membiarkan narasi global menempatkan beban perdamaian sepenuhnya di pundak Iran, sementara aktor-aktor besar bebas dari pertanggungjawaban? Ataukah saatnya kita menuntut akuntabilitas yang setara? Perjanjian yang adil tidak lahir dari tekanan, melainkan dari pengakuan atas hak dan martabat yang sama antara pihak-pihak yang berunding.

Tanpa itu, semua yang disebut kesepakatan hanyalah perpanjangan dari relasi kuasa yang timpang. Iran, dengan seluruh keterbatasan dan tantangannya, kini berdiri dalam posisi yang tidak lagi takut kehilangan. Dunia, sebaliknya, justru memiliki lebih banyak yang dipertaruhkan jika terus mengabaikan prinsip keadilan dalam diplomasi.

Kini saatnya dunia menuntut komitmen dari mereka yang selama ini kebal dari kritik: Amerika Serikat dan sekutunya. Perdamaian tidak akan hadir jika hanya satu pihak yang terus-menerus dituntut berubah. Jika dunia benar-benar ingin menghindari perang, maka dunia harus jujur—dan adil.

Hanya dengan dasar itulah kita dapat membangun tatanan internasional yang benar-benar stabil, saling menghormati, dan berkelanjutan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *