Connect with us

Opini

Diplomasi di Ujung Rudal: Ketika Trump Mengira Dunia Akan Ciut

Published

on

Presiden Donald Trump dulu berkampanye dengan satu janji: tak akan menyeret Amerika Serikat ke dalam perang asing yang sia-sia. Rakyat bersorak, para veteran mengangguk haru, dan dunia—walau skeptis—diam sejenak, mungkin berharap akan benar-benar lahir seorang pemimpin konservatif yang damai. Tapi sepertinya, satu hal yang lebih kuat dari janji kampanye adalah godaan untuk menekan tombol merah, menyalakan mesin B-2 Stealth Bomber, dan membisikkan perintah ke kapal selam agar melepaskan Tomahawk ke fasilitas nuklir Iran. Ya, negosiasi memang sedang berlangsung, tapi siapa bilang meja perundingan tak bisa dibumbui ledakan?

Serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran yang dilakukan pada 22 Juni itu, oleh Trump dan Pentagon, dibungkus sebagai tindakan strategis yang terukur. Sebuah “pukulan terbatas”, kata mereka, yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang 12 hari antara Iran dan Israel. Tapi tentu, kata “terbatas” menjadi relatif jika diucapkan sambil menjatuhkan bom penghancur bunker dan mengirim sinyal keras ke Korea Utara, Rusia, dan tentu saja, China. Dunia menyaksikan, sekali lagi, bagaimana “penjaga perdamaian dunia” mempraktikkan seni diplomasi dengan ledakan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tapi mari kita beri penghargaan pada kejujuran gaya Trump: ia tak menyembunyikan niatnya di balik jargon idealis macam “freedom” atau “human rights.” Ia realistis, bahkan brutal. Seolah berkata, “Jika negosiasi tak cukup, mungkin rudal akan memperjelas maksud kami.” Tentu ini bukan praktik baru. Tapi yang membuatnya memusingkan sekaligus menggelikan adalah bahwa tindakan ini dilakukan sambil berbicara. Bayangkan seseorang yang menawarkan perdamaian sambil menodongkan pistol ke kening lawannya. Inilah diplomasi versi baru: bukan sekadar carrot and stick—melainkan dialogue and detonation.

Respons dunia tidak mengejutkan, meski nadanya tetap diplomatis. China menyebutnya pelanggaran hukum internasional. Rusia menyebutnya agresi tanpa provokasi. Korea Utara, tak mau ketinggalan, menegaskan bahwa ini adalah penghinaan terhadap integritas teritorial negara berdaulat. Ironis, negara-negara yang juga gemar menunjukkan otot militernya kini memberi kuliah tentang kedaulatan dan hukum. Dunia diplomasi memang panggung teater besar: semua aktor tahu naskahnya penuh kebohongan, tapi tetap saja melafalkannya dengan penuh penghayatan.

Di Asia-Pasifik, gemanya lebih subtil. Para sekutu Amerika mencoba membaca arah angin. Beberapa ahli dari Australia hingga Seoul menyebut serangan itu sebagai sinyal positif. Sebuah bukti bahwa Trump—walau tak bisa diprediksi—ternyata tidak takut menekan pelatuk. Hebat bukan? Ketegasan kini diukur dari seberapa besar kehancuran yang bisa kita sebabkan tanpa menyeret terlalu banyak kantong mayat. Ini adalah logika deterrence modern: jangan berpikir terlalu panjang, asal serangannya rapi dan kameranya HD.

Namun mari kita jujur: serangan Trump, sekeras dan serapih apa pun, tidak membuat Iran bertekuk lutut. Tak ada pengakuan kalah, tak ada pembatalan program nuklir, tak ada isyarat tunduk. Iran malah membalas—simbolik, memang, tapi tetap balasan. Dan dua hari kemudian, dunia mendengar kata yang terlalu sering dipakai untuk menutup kebingungan: gencatan senjata. Tapi bedanya, kali ini AS yang tampak menginginkannya lebih dulu. Setelah meledakkan tiga fasilitas nuklir, setelah menciptakan eskalasi regional, Trump berbalik arah, menawarkan jeda. Dari ancaman ke permohonan damai—transformasi yang cepat, bahkan untuk standar seorang Trump.

Di sinilah justru kegagalan paling telanjang itu terlihat. Serangan militer yang diniatkan untuk memukul, menggertak, dan menundukkan, justru menyulut semangat bertahan dan siaga di kalangan musuh-musuh Amerika. China, Rusia, dan Korea Utara bukan hanya mengutuk—mereka juga mencatat, menganalisis, dan memperbarui strategi. Mereka belajar: jika Iran bisa bertahan dari serangan frontal AS dan tetap utuh secara politik dan teritorial, maka mereka pun harus bersiap dari sekarang, bukan menyerah—melainkan bersiap untuk giliran.

Trump mungkin membayangkan bahwa langkahnya akan mengembalikan “deterrence” Amerika yang sempat luntur. Tapi realitanya, deterrence itu malah berubah bentuk. Kini lawan-lawan AS berpikir: jadi kapan pun kami bisa diserang, maka kami harus selalu siap menyerang balik. Serangan bukan lagi alat untuk mencegah perang, tapi menjadi alarm bahwa perang bisa meletus sewaktu-waktu—tanpa aba-aba, tanpa resolusi PBB, bahkan tanpa kesalahan fatal dari pihak lawan.

Yang lebih mengkhawatirkan: strategi ini bukan hanya gagal, tapi membocorkan kelemahan mentalitas kekuasaan itu sendiri. Ketika kekuatan militer digunakan sebagai ganti diplomasi yang sabar, maka sebenarnya yang diperlihatkan bukan keperkasaan, melainkan kegugupan. Bukan dominasi, melainkan panik yang dibungkus retorika maskulin. Seolah Trump tidak percaya pada daya tawarnya sendiri, sehingga perlu menjatuhkan bom agar tetap dianggap relevan.

Inilah paradoks kekuatan di era Trump: semakin sering digunakan, semakin lemah efek kejutnya. Jika setiap ketegangan bisa dibalas bom, maka setiap negara akan membangun bunker. Dan begitulah, seiring gemuruh bom yang katanya akan mengakhiri perang, justru lahir perang-perang baru—yang belum dimulai, tapi telah dirancang, dipetakan, dan siap meledak dengan lebih kompleks dari sebelumnya.

Jadi kalau benar Trump ingin menunjukkan bahwa dia bukan pemimpin yang bisa dianggap enteng, ia memang berhasil. Tapi yang ia dapatkan bukan rasa takut—melainkan waspada. Dan dunia yang waspada bukanlah dunia yang lebih tenang. Dunia seperti itu adalah dunia yang setiap pagi bangun dengan daftar target baru dan simulasi konfrontasi di atas meja.

Begitulah, kadang kekuatan tak membuat orang tunduk. Kadang, ia justru membuat orang bangkit, belajar, dan membalas dengan cara yang lebih canggih dari sebelumnya. Dan ketika bom sudah tak cukup untuk menakuti, maka siapa yang sebenarnya sedang gentar?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer