Connect with us

Opini

Di Balik Serangan Israel: Harga yang Harus Dibayar Dunia

Published

on

Udara terasa berat hari ini, bukan? Ketika kabar tentang serangan Israel ke Iran yang belum pernah terjadi sebelumnya merembes masuk ke layar-layar kita, suasana seolah menegang. Keberhasilan awal yang mencengangkan—pesawat tempur menghantam situs militer dan nuklir Iran hampir tanpa perlawanan—seperti sebuah prestasi teknis, namun terasa getir. Tidak lama kemudian, serang an balasan Iran menewaskan dan melukai puluhan warga Israel. Konflik ini, seperti dicatat CNN pada 16 Juni 2025, telah keluar dari rel kalkulasi yang rasional, menyeret kawasan ke dalam ketegangan yang dalam.

Serangan ini bukan hanya tentang dua negara yang bertikai—ia adalah gambaran bagaimana ambisi sering kali berlari lebih cepat dari strategi. Menurut seorang pejabat militer Israel kepada CNN, tujuannya jelas: menghancurkan kemampuan nuklir dan rudal balistik Iran secara permanen. Namun pertanyaan mendasar segera mengemuka: lalu apa setelah itu? Di manakah strategi keluar yang nyata? Kekosongan visi ini menggemakan situasi di Gaza sejak 2023—perang berkepanjangan tanpa arah penyelesaian.

Namun, ini bukan sekadar kisah di belahan dunia yang jauh. Dampaknya terasa di tempat seperti Indonesia, di mana stabilitas harga minyak sangat menentukan denyut ekonomi nasional. Ketika konflik membesar, harga energi pun bergolak. Kota-kota besar dan wilayah pedesaan kita, yang sangat bergantung pada distribusi bahan bakar murah, mulai merasakan getarannya. Di sinilah kita mulai menyadari bahwa apa yang terjadi ribuan kilometer jau hnya bisa dengan mudah merembet ke pasar lokal, anggaran rumah tangga, dan biaya produksi petani kecil.

Laporan CNN menyinggung keraguan Amerika Serikat untuk mendukung penuh operasi Israel. Meskipun AS menyediakan pertahanan terhadap rudal Iran, Presiden Donald Trump menyatakan penolakannya untuk menyeret Amerika kembali ke medan perang Timur Tengah. Dalam sebuah unggahan di Truth Social, ia menyebut konflik itu sebagai arena yang harus dihindari, sembari membandingkannya dengan keberhasilannya memediasi ketegangan antara India dan Pakistan. Ini sikap yang ambigu: di satu sisi menjaga jarak, di sisi lain mengancam. Tapi jika situasi memburuk dan situs strategis seperti Fordow di Iran tetap berdiri, maka ancaman tetap ada—dan tekanan ekonomi global bisa menjadi tidak terhindarkan.

Kenaikan harga minyak mentah, gangguan di Selat Hormuz, atau eskalasi konflik yang meluas akan segera dirasakan oleh keluarga di Jakarta, nelayan di Aceh, atau petani di Jawa. Serangan Israel memang membawa efek langsung ke jantung pertahanan Iran, tetapi apakah hasilnya sepadan dengan gelombang ketidakstabilan yang ia ciptakan?

Bagi Israel, harapan akan solusi diplomatik tetap ada. Pejabat keamanan mereka menyatakan, seperti dikutip CNN, bahwa serangan ini bertujuan melemahkan posisi Iran dalam negosiasi nuklir yang akan datang. Namun logika ini tampak rapuh. Di Gaza, pendekatan serupa telah gagal mengakhiri konflik dengan Hamas. Jika preseden itu dijadikan acuan, mengapa kita harus berharap hasil yang berbeda kali ini? Serangan terhadap ilmuwan nuklir atau fasilitas pengayaan memang bisa memperlambat kemajuan Iran, tapi penghancuran total tampaknya mustahil tanpa dukungan penuh militer Amerika, termasuk penggunaan bom penghancur bunker yang hanya dimiliki AS.

Lebih dari sekadar operasi militer, ini adalah pertaruhan besar yang mengguncang fondasi politik regional dan global. Pernyataan Trump pada 18 Juni 2025, menyiratkan ketegangan mendalam. Ia mengklaim bahwa AS tahu di mana Ayatollah Ali Khamenei bersembunyi dan menyebutnya sebagai “target mudah”—namun, setidaknya untuk saat ini, tidak berniat membunuhnya. Kalimat “kesabaran menipis” menjadi peringatan terbuka yang bisa mengubah arah seluruh krisis ini dalam sekejap.

Sementara itu, laporan Associated Press menunjukkan pergerakan militer AS yang signifikan. Kapal perang seperti USS The Sullivans menembak jatuh rudal Iran, jet tempur AS berpatroli di atas langit Timur Tengah. Namun semua ini masih berada dalam kerangka defensif. Tidak ada langkah ofensif besar sejauh ini. Pertanyaannya, jika Israel gagal, apakah pertahanan saja cukup? Apakah AS akan tetap berdiri di pinggir, atau akhirnya ikut masuk ke dalam pusaran api?

Ketergantungan Israel terhadap logistik dan kekuatan AS terlihat sangat nyata. Tanpa bom penghancur bunker dan dukungan udara AS, situs bawah tanah Iran seperti Fordow tetap sulit ditembus. Ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan juga tentang aliansi. Ketika sekutu tidak sejalan, hasil perangnya pun menjadi pertanyaan. Dan jika harga minyak melonjak akibat jalur pengiriman terganggu, Indonesia pun merasakan dampaknya—mulai dari pelabuhan di Surabaya hingga sawah di Karawang.

Namun bahkan jika setiap situs nuklir Iran berhasil dihancurkan, sebagaimana dikhawatirkan oleh para analis di CNN, Iran kemungkinan besar bisa membangun kembali dengan cepat. Pengetahuan institusional tidak bisa dibom. Rezim di Teheran mungkin justru melihat serangan ini sebagai pembenaran untuk mempercepat program nuklirnya demi bertahan. Inilah dilema klasik: apakah kekuatan militer benar-benar bisa menghentikan ambisi, atau justru memperkuat tekad?

Seruan Perdana Menteri Netanyahu agar rakyat Iran bangkit melawan pemerintah mereka—yang disiarkan melalui CNN—terdengar seperti permintaan terakhir dari pemimpin yang kehabisan pilihan. Tapi sejarah menunjukkan bahwa pemboman intens sering kali memperkuat solidaritas nasional, bahkan di bawah rezim otoriter. Di dalam Iran, sentimen anti-Israel justru meningkat. Warga yang selama ini kritis terhadap pemerintah kini memilih bersatu menghadapi musuh bersama. Reaksi seperti ini tidak asing bagi kita di Indonesia, yang dalam sejarahnya pun pernah menyaksikan rakyat bersatu di bawah tekanan luar, seperti saat krisis moneter 1998.

Jadi, benarkah serangan ini membuka jalan menuju perdamaian, atau malah menutupnya lebih rapat? Apakah diplomasi bisa hidup di atas reruntuhan? Jawabannya masih belum jelas, tapi pola masa lalu menunjukkan bahwa kekerasan jarang menghasilkan solusi jangka panjang.

Kartu liar tetap berada di tangan Trump. Penolakannya terhadap rencana Israel untuk membunuh Khamenei, seperti dilaporkan CNN, kontras dengan retorika kerasnya. Dengan 40.000 tentara AS kini ditempatkan di kawasan—naik dari 30.000 sebelumnya, menurut AP—dan kapal induk seperti USS Carl Vinson bersiaga, kekuatan ada. Tapi kehendak untuk menggunakan kekuatan itu? Belum tentu. Jika Israel runtuh, AS kehilangan batu penjuru pengaruhnya di Timur Tengah, dan ini bisa membuka ruang gerak lebih besar bagi Iran, Rusia, atau bahkan China. Dampaknya akan terasa hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Keseimbangan aliansi bisa bergeser, perdagangan energi bisa terguncang, dan ketergantungan pada mitra ekonomi baru akan meningkat.

Rusia dan China hingga kini memilih diam, tetapi bukan berarti mereka tak bersiap. Rusia, yang memiliki kepentingan di Suriah dan hubungan dekat dengan Iran, kemungkinan akan memperkuat Teheran dengan senjata atau bantuan intelijen. China, yang sangat bergantung pada pasokan minyak dari Iran, mungkin menanggapi dengan dukungan ekonomi dan diplomatik. Jika Iran goyah, posisi geopolitik Rusia dan China ikut terdampak. Dan bagi Indonesia, yang tergantung pada stabilitas harga energi dan kelangsungan perdagangan internasional, guncangan semacam ini bisa sangat terasa.

Associated Press juga menyebut penggunaan bom B-2, pesawat tempur strategis AS yang mampu terbang selama 30 jam nonstop dari Missouri. Skala ini menunjukkan bahwa jika konflik meluas, taruhannya akan benar-benar global. Kita di Indonesia tidak bisa berpura-pura netral di tengah arus yang mengancam. Sawah-sawah kita, pelabuhan, dan pabrik, semuanya bisa terdampak oleh goncangan harga dan pergeseran aliansi global.

Kurang dari seminggu sejak serangan dimulai, situasinya masih cair. Rakyat Iran bisa bangkit, Trump bisa mengubah haluan, atau diplomasi bisa diberi ruang lagi. Namun satu hal yang pasti: ketidakjelasan tujuan akhir perang ini menghantui semua pihak. Di Indonesia, kita telah melalui badai geopolitik di masa lalu, dari embargo minyak tahun 1970-an hingga krisis ekonomi global. Tapi pertanyaannya kini bukan hanya soal siapa menang atau kalah, melainkan bagaimana kita sebagai komunitas dunia bisa menghentikan siklus ini—dan dengan itu, mencegah harga yang terlalu mahal untuk dibayar umat manusia.

 

 

https://apnews.com/article/us-military-middle-east-iran-israel-a4287f29c84b6eee954011ecd8a670d3

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *